Logo
>

Emiten dengan Diversifikasi Bisnis Tinggi

Daftar emiten Indonesia dengan diversifikasi bisnis lintas sektor, dari migas dan tambang hingga media dan investasi strategis.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Emiten dengan Diversifikasi Bisnis Tinggi
Daftar emiten Indonesia dengan diversifikasi bisnis tinggi, dari Astra, Saratoga, hingga Medco. Mana yang paling tahan krisis dan tetap menguntungkan? Gambar dibuat oleh AI untuk KabarBursa.com.

KABARBURSA.COM – Tidak semua perusahaan sanggup berdiri tegak saat badai datang dari segala arah. Tapi ada sekelompok emiten yang terbukti tahan banting karena mereka punya banyak kaki untuk berjalan dan banyak kantong untuk menyimpan untung. Inilah emiten dengan diversifikasi bisnis tinggi—perusahaan yang tidak menggantungkan nasib pada satu jenis usaha saja.

Strategi ini dilakukan tak hanya untuk bertahan hidup. Di tengah ekonomi yang naik-turun karena efek global maupun domestik, diversifikasi menjadi jurus sakti untuk menjaga arus kas tetap stabil dan memoles valuasi saham. Dari Astra yang menanam dari otomotif hingga infrastruktur, sampai Saratoga yang menjelajah dari tambang ke rumah sakit, daftar perusahaan seperti ini makin relevan bagi investor yang ingin bermain aman tapi tetap tumbuh.

Mengenal Emiten dengan Diversifikasi Bisnis Tinggi

Dalam dunia pasar modal, diversifikasi bisnis bukan sekadar jargon manajemen. Diversifikasi alias penganekaragaman adalah strategi penting yang dijalankan perusahaan agar tidak tergantung pada satu bisnis atau satu sumber pendapatan saja. Emiten dengan diversifikasi bisnis tinggi menjalankan lebih dari satu lini usaha—bahkan lintas sektor—untuk menjaga keberlanjutan bisnis dan mengurangi risiko kerugian.

Ambil contoh emiten besar seperti Astra International. Perusahaan ini tak hanya menjual mobil, tapi juga mengelola perkebunan sawit, layanan keuangan, infrastruktur, hingga teknologi digital. Pendapatan yang datang dari banyak sektor memberi ruang bagi perusahaan untuk tetap tumbuh meski satu bidang usaha sedang lesu.

Bagi investor, keberagaman usaha seperti ini ibarat sabuk pengaman. Risiko bisa ditanggulangi dan potensi imbal hasil tetap terjaga. Emiten dengan portofolio usaha beragam cenderung lebih tahan menghadapi guncangan ekonomi karena punya banyak jalur pemasukan. Ini menjadikan mereka menarik untuk dijadikan bagian dari strategi investasi jangka panjang.

Diversifikasi bukan berarti asal merambah ke mana saja. Di tangan manajemen yang cermat, strategi ini menjadi kekuatan yang menopang performa. Namun jika keliru dikelola, bisa pula menjadi beban. Maka penting bagi investor untuk memahami model diversifikasi yang dijalankan emiten sebelum memutuskan menanam dana.

Alasan Emiten Melakukan Diversifikasi Bisnis

Tak ada sektor yang abadi berjaya. Pasar bergerak cepat, selera konsumen berubah, dan regulasi bisa datang tanpa aba-aba. Dalam situasi seperti itu, bertumpu pada satu lini usaha ibarat bertaruh seluruh hidup di satu meja judi. Karena itu, banyak emiten memilih jalan diversifikasi dengan memperluas cakupan bisnis untuk bertahan dan berkembang. Beberapa alasan perusahaan melakukan diversifikasi bisnis antara lain:

1. Menyebar Risiko dari Satu Keranjang

Fluktuasi harga komoditas, gejolak geopolitik, atau sekadar perlambatan ekonomi bisa dengan mudah menggoyang kinerja emiten yang hanya hidup dari satu sektor. Perusahaan migas misalnya, bisa megap-megap saat harga minyak ambles. Tapi kalau ia juga punya unit pembangkit listrik atau properti, masih ada peluang menambal kerugian dari sisi lain.

Diversifikasi memungkinkan risiko dibagi. Ketika satu segmen tertekan, segmen lain bisa menopang. Emiten dengan diversifikasi bisnis tinggi ibarat kapal dengan banyak sekat: satu ruang bocor belum tentu bikin tenggelam.

2. Menjaga Arus Pendapatan Tetap Mengalir

Dalam bisnis, kestabilan pendapatan adalah jantung perusahaan. Tanpa arus kas yang sehat, ekspansi jadi tertunda, operasional tersendat, dan utang bisa jadi jerat. Emiten yang punya lini usaha beragam cenderung lebih aman secara finansial. Satu lini boleh melemah, tapi pendapatan dari lini lain bisa menyeimbangkan neraca. Ini yang bikin investor lebih percaya menanam saham di perusahaan yang punya banyak sumber cuan.

3. Menangkap Peluang Pertumbuhan Baru

Pasar utama bisa menua. Produk andalan bisa ditinggalkan konsumen. Emiten yang jeli akan melihat ini sebagai tanda untuk bergerak. Diversifikasi bukan semata untuk bertahan, tapi juga untuk membuka jalan baru. Dengan masuk ke sektor lain—baik yang beririsan maupun yang sepenuhnya berbeda—emiten bisa memperluas sayap bisnis dan memperbesar potensi pertumbuhan jangka panjang.

Contohnya adalah PT Medco Energi International Tbk (MEDC) tak hanya main di migas, tapi juga masuk ke sektor tambang dan energi terbarukan lewat afiliasinya. Saratoga lebih ekstrem lagi, bisnisnya menjalar dari rumah sakit, tambang, sampai pendidikan.

4. Membangun Sinergi Lintas Bisnis

Diversifikasi yang cerdas tidak hanya memecah risiko, tapi juga membangun kekuatan baru. Emiten yang punya lini usaha saling terkait bisa mendorong efisiensi biaya, memperkuat distribusi, atau bahkan menciptakan produk baru dari kombinasi sumber daya yang dimiliki. Sinergi seperti ini bukan cuma bikin laba tambah tebal, tapi juga memperkuat posisi perusahaan dalam persaingan.

Risiko dari Diversifikasi Bisnis

Diversifikasi memang menawarkan perlindungan dan peluang. Tapi seperti halnya membuka banyak cabang warung, tantangan yang datang juga tak sedikit. Tak semua emiten mampu mengelola kompleksitas yang muncul. Kalau salah langkah, strategi yang dimaksudkan untuk memperkuat justru bisa jadi beban.

1. Manajemen Makin Rumit, Beban Bertambah

Semakin banyak lini bisnis, semakin kompleks pula manajemennya. Emiten yang tadinya fokus di satu sektor kini harus mengatur berbagai model operasional, regulasi, hingga kultur kerja yang bisa sangat berbeda satu sama lain. Ini bukan sekadar soal membagi perhatian, tapi juga soal memastikan semua unit usaha jalan dalam satu arah yang sama.

Manajemen yang tidak adaptif bisa kewalahan. Ketika proses pengambilan keputusan melambat dan koordinasi tersendat, efisiensi pun terkikis. Tidak jarang, perusahaan terjebak dalam birokrasi internalnya sendiri. Diversifikasi yang tidak dibarengi dengan penguatan tata kelola justru membuat perusahaan seperti kapal besar yang lamban bermanuver.

2. Efek Konglomerasi Negatif: Makin Besar, Makin Tidak Lincah

Ada masa ketika perusahaan besar dianggap otomatis tangguh. Tapi semakin ke sini, dunia usaha sadar bahwa ukuran bukan segalanya. Diversifikasi bisa membuat emiten tumbuh cepat, tetapi di titik tertentu justru memunculkan apa yang disebut diseconomies of scale—situasi di mana biaya operasional justru membengkak karena struktur organisasi yang terlalu besar dan kurang efisien.

Konglomerasi juga cenderung menciptakan lapisan manajemen tambahan, memperpanjang rantai keputusan, dan mengurangi kecepatan inovasi. Emiten yang terlalu sibuk mengurusi banyak cabang bisa kehilangan fokus pada lini usaha inti, dan akhirnya tidak unggul di mana pun. Dalam banyak kasus, valuasi pasar mereka bahkan dikenai diskon karena dianggap terlalu gemuk dan tidak fokus.

3. Risiko Overexpansion dan Saling Menggerogoti

Emiten yang terlalu agresif berekspansi kadang terjebak dalam jebakan pertumbuhan semu. Mereka masuk ke sektor-sektor yang tidak sepenuhnya dipahami, hanya karena tergiur tren pasar atau potensi jangka pendek. Hasilnya lini usaha baru tidak memberi nilai tambah, bahkan bisa menambal lubang dengan lubang.
Selain itu, ada risiko cannibalization—saat satu produk atau layanan dari unit bisnis baru justru menggerus pasar dari lini usaha yang sudah ada. Alih-alih menambah pangsa pasar, emiten malah menciptakan kompetisi di rumah sendiri. Kalau tidak dikendalikan, strategi ini malah menjadi kontra-produktif.

Studi Kasus Emiten dengan Diversifikasi Bisnis Tinggi

Di pasar modal, emiten dengan banyak kaki bisnis punya satu keunggulan: mereka jarang terpeleset hanya karena satu sektor limbung. Di bawah ini, lima perusahaan publik Indonesia yang berhasil membangun kerajaan bisnis lintas sektor. Masing-masing menyusun portofolio seperti permainan catur: penuh perhitungan, dan jarang sekadar ikut tren.

1. ASII

Kalau ada satu nama yang bisa bertahan dari guncangan sektor otomotif, lalu tetap tenang saat batu bara berdebu dan sawit lesu, itu adalah Astra. Bagi perusahaan ini, diversifikasi bukan strategi dadakan. Ia warisan panjang sejak masa industri Indonesia masih dibangun lewat pinjaman IMF.

Struktur bisnis ASII seperti jaring laba-laba. Saat roda empat melambat, segmen alat berat lewat United Tractors (UNTR) tetap menggali laba dari tambang. Ketika pembiayaan kendaraan seret, bisnis agribisnis dan jalan tol mampu menambal kas. Kombinasi inilah yang membuat laporan keuangannya tak mudah goyah.

Sepanjang 2024, Astra membukukan laba bersih Rp34,05 triliun—naik tipis 0,62 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pendapatan bersih tumbuh 4,5 persen ke angka Rp330,9 triliun. Padahal, kalau hanya mengandalkan otomotif, hasilnya mungkin jauh berbeda: laba segmen mobil justru turun 2 persen. Bahkan segmen andalan lain seperti alat berat juga ikut melemah 5 persen.

Tapi tenang dulu. Di tengah penurunan itu, jasa keuangan tetap menyetor. Agribisnis malah naik 20 persen. Polanya jelas, ketika satu kaki terpeleset, yang lain menopang tubuh tetap tegak.

Stabilitas ini membuat ASII tetap masuk radar investor konservatif. Analis Mirae Asset, Christopher Rusli, menilai kemampuan Astra menjaga pangsa pasar di tengah penurunan industri mobil adalah keunggulan tak semua konglomerat punya. Dengan portofolio yang tersebar, Astra bisa menjaga ritme bahkan saat pasar bergerak tak tentu arah.

Meski begitu, pasar tak selalu merespons manis. Harga saham ASII sering kali tak melompat tinggi meski labanya stabil. Ada sentimen konglomerat semacam ini sulit bergerak agresif. Tapi bagi mereka yang mencari nafas panjang, bukan sensasi jangka pendek, ASII tetap jadi pelabuhan yang nyaman.

Tahun ini, Astra bersiap menggelontorkan Rp25 triliun untuk belanja modal. Energi baru, kesehatan, infrastruktur—semuanya digarap. Kalau ini berhasil, ASII bukan cuma bertahan, tapi bisa tumbuh di sektor-sektor yang jadi prioritas ekonomi masa depan.

2. Saratoga (SRTG)

Saratoga tahu betul cara bermain di pasar. Ia bukan pabrik, bukan penggali tambang, bukan juga penyedia layanan. SRTG adalah pemodal yang lihai membaca momentum. Perusahaan ini hidup dari ketepatan menanam, bukan dari sibuk mengurus produksi. Pendekatannya seperti private equity, tapi dengan akses publik yang terbuka—investor ritel bisa ikut menunggang lewat saham SRTG.

Strategi ini membuahkan hasil manis di 2024. Saratoga membalikkan kerugian Rp10 triliun tahun sebelumnya menjadi laba bersih Rp3,29 triliun. Nilai aset bersih (NAV) mereka ikut naik 10,5 persen menjadi Rp53,9 triliun. Mesin utamanya adalah PT AlamTri Resources Indonesia Tbk ADRO yang sebelumnya bergerak di sektor pertambangan batu bara, PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) di menara telekomunikasi, dan MPMX di sektor otomotif.

Sumber uang tunainya juga tak kalah kencang. Dividen yang diterima SRTG dari anak-anak investasinya naik 36 persen menjadi Rp3,8 triliun. Belum termasuk hasil dari aksi jual sebagian kepemilikan yang memberi tambahan arus kas Rp712 miliar. Total, sepanjang tahun lalu Saratoga mengantongi arus kas bersih hingga Rp4,5 triliun—uang segar untuk melanjutkan perburuan investasi baru.

Tapi pasar punya logika sendiri. Meski kinerja solid, saham SRTG tetap diperdagangkan dengan diskon sekitar 40 persen dari NAV-nya. Valuasi rendah ini mencerminkan tantangan klasik emiten investasi: tidak semua nilai bisa langsung terbaca di layar harga. Kompleksitas portofolio dan kurangnya visibilitas monetisasi membuat investor menahan diri.
Meski begitu, SRTG tetap melangkah. Tahun ini, mereka menyiapkan dana investasi segar sebesar USD100–150 juta untuk menambah portofolio baru dalam satu hingga dua tahun ke depan. Targetnya bukan sembarang perusahaan, tapi entitas yang bisa tumbuh eksponensial, dan tentunya, bisa menyetor cuan yang konsisten dalam jangka panjang.

3. Diversifikasi Tambang MIND ID

Kalau bicara soal emiten dengan diversifikasi sektor yang komplet, MIND ID layak duduk di baris depan. Holding tambang pelat merah ini tak hanya mengelola satu jenis komoditas. Ia memayungi berbagai perusahaan strategis dari lini nikel, emas, tembaga, batu bara, hingga aluminium—dengan aset tersebar dari pegunungan Papua sampai pesisir Sulawesi.

Diversifikasi itu bukan tempelan semata. MIND ID memayungi ANTAM, Bukit Asam (PTBA), Freeport Indonesia, INALUM, hingga Vale Indonesia. Masing-masing menyumbang peran berbeda, dan ketika digabung, mereka membentuk tulang punggung industri pertambangan nasional.

Di tengah gempuran harga komoditas yang naik-turun, MIND ID tampil sebagai pemain yang konsisten naik kelas. Holding ini menutup tahun buku 2024 dengan kinerja yang solid: laba bersih menembus Rp36 triliun—naik 28 persen dibanding tahun sebelumnya. Lompatan ini memperkuat posisi MIND ID sebagai salah satu BUMN paling moncer dari sisi profitabilitas.

Kinerja bukan hanya terjadi di level laba. Pendapatan grup juga melonjak menjadi Rp145 triliun, naik tajam dari Rp108 triliun pada tahun sebelumnya. Dalam empat tahun terakhir, pertumbuhan pendapatan tahunan gabungan (CAGR) MIND ID tercatat di angka 15,6 persen—bukan angka ecek-ecek di sektor ekstraktif yang terkenal volatil.

Dari sisi profitabilitas, margin bersih perusahaan masih terjaga, dengan rerata pertumbuhan tahunan (CAGR) sebesar 17,6 persen. Artinya, MIND ID tidak hanya tumbuh di atas kertas, tapi juga efisien dalam menjaga marjin di tengah ekspansi.

Tak berhenti di sana, total aset MIND ID mencapai Rp290 triliun dengan pertumbuhan rata-rata tahunan 12,3 persen. Sementara itu, ekuitas melonjak ke Rp157 triliun dengan CAGR 21,6 persen, memperkuat struktur modal mereka. Tingkat pengembalian ekuitas (Return on Equity) pun mencatat rerata pertumbuhan 13,5 persen, mencerminkan kinerja manajemen yang makin matang.

Kontribusi ke negara juga makin terasa. Sepanjang 2024, total setoran dalam bentuk pajak dan PNBP—di luar dividen—menembus Rp66,48 triliun. Ini naik signifikan dibanding dua tahun sebelumnya. Untuk royalti saja, MIND ID menyetorkan Rp12,73 triliun, melonjak dari Rp9,93 triliun di 2023 dan Rp9 triliun di 2022.
Dividen juga ikut membengkak.

Sepanjang 2024, grup menyetorkan Rp11,2 triliun ke negara, naik dari Rp7,5 triliun pada tahun sebelumnya. Jika dihitung total dividen untuk kinerja tahun buku 2023, jumlahnya tembus Rp18,6 triliun masuk kas negara.

Lompatan ini tak datang dari satu entitas saja. Kontribusi datang dari seluruh anggota holding—dari tambang emas di Papua hingga batu bara di Tanjung Enim. Diversifikasi sektor, komoditas, dan aset geografi inilah yang menjaga napas panjang MIND ID, dan memperkuat posisi mereka sebagai penjaga ketahanan mineral nasional.

4. MEDC

Dulu dikenal sebagai perusahaan migas murni, kini Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) telah bertransformasi menjadi konglomerasi energi yang mencakup minyak, gas, listrik, hingga tambang emas dan tembaga. Diversifikasi ini bukan sekadar strategi, melainkan fondasi yang menjaga stabilitas perusahaan di tengah fluktuasi harga komoditas.

Sepanjang 2024, MEDC mencatat laba bersih sebesar USD367 juta, meningkat 10,99 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Pendapatan perusahaan mencapai USD2,4 miliar, naik 6,57 persen dari tahun sebelumnya. EBITDA juga mengalami kenaikan tipis sebesar 1 persen menjadi USD1,3 miliar.

Kontributor utama pertumbuhan ini adalah kinerja positif dari PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) dan kontribusi penuh dari Blok 60 Oman. Produksi minyak dan gas mencapai 152 mboepd, didorong oleh peningkatan penyaluran gas dari aset Sumatera Selatan dan Corridor. Biaya produksi tetap stabil di level USD8,2 per boe.

Di sektor ketenagalistrikan, MEDC mencatat penjualan listrik sebesar 4.108 GWh, dengan 20 persen berasal dari sumber energi terbarukan. Investasi di sektor ini mencakup pengembangan proyek PLTP Ijen dan PLTS Bali Timur.

Dari sisi keuangan, MEDC menunjukkan disiplin dalam pengelolaan utang. Rasio utang bersih terhadap EBITDA membaik menjadi 1,8x pada akhir 2024, didorong oleh pelunasan utang dan peningkatan kas dari operasional. Total dividen sekitar USD70 juta telah dibayarkan pada 2024, dengan rencana pembagian dividen final pada RUPST Juni 2025.

5. BMTR

BMTR alias Global Mediacom punya segalanya. Mereka menguasai televisi nasional, media daring, layanan broadband, sampai dompet digital. Dari RCTI sampai MotionBank, dari sinetron sampai e-money, semua berada dalam satu genggaman. Sayangnya, diversifikasi itu belum tentu langsung berbuah manis.

Tahun buku 2024 jadi bukti. Laba bersih BMTR turun 20,68 persen secara tahunan, tinggal Rp537 miliar dari sebelumnya Rp677 miliar. Pendapatan juga turun tipis menjadi Rp10,05 triliun, meski segmen iklan dan konten justru naik ke Rp8,07 triliun. Penurunan terbesar datang dari sektor TV berbayar dan broadband, yang hanya menyumbang Rp1,67 triliun—turun dari tahun sebelumnya.

Di sisi lain, beban keuangan meningkat, mencapai hampir Rp800 miliar. Meski total aset perusahaan naik menjadi Rp36,24 triliun dan ekuitas menyentuh Rp29,07 triliun, tekanan dari sisi utang dan efisiensi operasional belum sepenuhnya mereda.

Tapi di tengah tantangan itu, ada satu nama besar yang ikut nimbrung: Lo Kheng Hong. Investor legendaris yang dikenal jeli mencari saham undervalued ini tercatat menggenggam 1,07 miliar saham BMTR atau setara 6,53 persen. Kehadirannya bukan tanpa alasan. Valuasi BMTR memang terbilang murah dibanding potensi dan struktur asetnya. Di pasar, ini disebut saham diskon—harga tak mencerminkan nilai.

Struktur pemegang saham juga cukup tersebar. Mayoritas masih dikuasai PT MNC Asia Holding Tbk (45,99 persen) dan publik (47,45 persen). Sisanya terbagi antara Lo dan saham treasury. Tapi yang menarik, jumlah investor ritel dalam lima bulan terakhir justru turun terus: dari 31.474 pada November 2024 menjadi 30.102 per akhir April 2025. Artinya, pemegang jangka pendek mulai keluar, sementara yang sabar—seperti Lo—bertahan.

Dari kelima studi kasus ini, terlihat jelas bahwa diversifikasi bukan soal banyaknya bisnis, tapi bagaimana masing-masing disusun dalam satu strategi yang menyeluruh. Emiten dengan diversifikasi bisnis tinggi memang lebih siap menghadapi badai, tapi hanya jika nahkodanya tahu ke mana arah berlayar.

Kesimpulan dan Outlook

Di pasar yang makin kompetitif, diversifikasi bukan cuma pilihan strategi, tapi juga pertanyaan fundamental, mau jadi perusahaan yang tahan banting di banyak cuaca atau jagoan di satu musim?
ASII adalah contoh klasik emiten yang berhasil menjaga ritme lewat diversifikasi. Saat mobil stagnan, alat berat bergerak. Ketika sawit tersendat, pembiayaan konsumen menyala. Kestabilan macam ini nggak lahir dari kebetulan, tapi dari manajemen risiko yang dijalankan bertahun-tahun.

SRTG juga jadi contoh unik. Ia bukan operator, tapi investor lintas sektor yang memilih duduk di belakang kemudi. Portofolionya lebar, tapi tetap terarah. Return naik, arus kas deras, meski sahamnya kadang masih didiskon pasar. Sinyal bahwa valuasi tak selalu menang cepat, tapi bisa pelan-pelan dihargai.

Di sisi lain, MIND ID membuktikan bahwa diversifikasi ala negara bisa berhasil asalkan didukung struktur solid dan misi nasional yang jelas. Meski bukan perusahaan publik murni, kinerjanya yang menanjak dan kontribusinya ke negara jadi bukti bahwa mengelola banyak komoditas bisa tetap efisien.

Sementara MEDC menawarkan narasi transisi energi, disamping masih beroperasi dengan minyak, gas, dan pertambangan minerak. Ia tumbuh meski harga minyak tak selalu bersahabat. Pendapatan dari listrik dan kontribusi AMMN bikin bisnis tetap hidup, meski satu segmen lesu.

Tapi diversifikasi juga bukan jaminan sukses. BMTR membuktikan, lini bisnis yang terlalu beragam tanpa sinergi yang kuat bisa bikin arah perusahaan kabur. Ketika ekspansi lebih cepat dari kemampuan konsolidasi, hasil akhirnya bisa jadi berat.

Sebaliknya, emiten spesialis seperti BBCA tetap kinclong justru karena fokus. Dengan satu lini bisnis yang digarap serius, mereka bisa menjaga efisiensi, penguasaan pasar, dan kepercayaan investor.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).