KABARBURSA.COM – Selamat tinggal, masa-masa belanja hemat. Dunia mungkin sedang bersiap masuk ke babak baru: harga barang naik terus, dan tarif impor bisa jadi biang kerok utamanya.
Kalau sebelumnya kita bisa menikmati barang murah dari luar negeri tanpa mikir panjang, tren itu perlahan mulai pudar bahkan sebelum Presiden Donald Trump kembali melempar ancaman tarif anyar. Ia sudah menetapkan tarif baja dan aluminium sebesar 25 persen, ditambah tarif tambahan 20 persen untuk barang dari China, serta tarif 25 persen untuk barang dari Kanada, Meksiko, hingga semua mobil impor mulai 3 April. Belum cukup, Trump juga berencana menambah lagi daftar tarif besar-besaran mulai 2 April—semacam balas dendam dagang demi ‘keadilan’ global, katanya.
Padahal, selama 20 tahun sebelum pandemi, harga barang-barang fisik di keranjang belanja masyarakat nyaris tidak bergerak. Barang-barang kebutuhan pokok (di luar makanan dan energi) dalam indeks harga konsumen (CPI) malah turun 1,7 persen antara Desember 2011 sampai Desember 2019. Di saat yang sama, harga jasa seperti tempat tinggal, layanan kesehatan, dan pendidikan naik rata-rata 2,7 persen per tahun.
Dua arus itu bertabrakan dan menghasilkan inflasi inti yang cukup moderat, yakni sekitar 2 persen per tahun. Tapi, masa tenang itu sekarang tinggal kenangan.
Begitu pandemi menerjang, harga barang fisik langsung melonjak. Titik puncaknya terjadi pada musim panas 2023. Setelah itu sempat turun selama setahun, tapi mulai September, harga barang-barang ini kembali naik tipis: 0,1 persen per bulan, dan bahkan 0,2 persen pada Februari.
“Sekarang kita melihat inflasi barang yang tinggi, setelah sekian lama hampir nol,” kata Ketua The Fed Jerome Powell dalam konferensi pers bulan ini, dikutip dari The Wall Street Journal di Jakarta, Rabu, 2 April 2025.
Powell mengakui, lonjakan itu kemungkinan datang dari kombinasi tarif dan faktor lain. Artinya jangan berharap harga barang bakal seperti era 2010-an lagi.
Ekonom utama AS di TSLombard, Steven Blitz, bilang dampak inflasi barang kali ini bisa mendorong inflasi keseluruhan jadi sekitar 3 persen tahun ini—melebihi target The Fed yang cuma 2 persen. Padahal, setelah turun drastis dari puncaknya pada 2022, inflasi inti kini ‘nanggung’ di antara 2,6 sampai 3 persen.
Masa Emas Barang Murah
Sebenarnya, deflasi itu bukan berita bagus kalau melanda seluruh ekonomi. Tapi kalau deflasi hanya terjadi di sektor tertentu—seperti barang konsumsi—itu bisa jadi berkah buat konsumen. Biasanya artinya teknologi dan produktivitas meningkat, bikin barang makin canggih tapi harganya tetap bersahabat. Lihat saja komputer, makin keren, makin murah.
Selain teknologi, perdagangan global juga pegang peran. Ekonom Ryan Monarch dari Universitas Syracuse menjelaskan, masuknya China ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) tahun 2001 jadi ‘pintu ajaib’ ekspor besar-besaran ke AS. Nilainya naik lebih dari 500 persen antara 1998 sampai 2014.
Studi Monarch dan koleganya dari The Fed menunjukkan, harga barang impor turun rata-rata 0,6 persen lebih rendah per tahun dibanding seandainya tanpa China. Sayangnya, era itu sudah nyaris habis. “Tak ada China kedua yang menunggu dilepas ke pasar global,” ujar Monarch.
Harga energi global pun sempat bersahabat. Harga minyak dunia pada 2019 justru lebih murah dibanding awal 2010-an, berkat booming fracking di AS. Ini bikin ongkos produksi dan pengiriman barang jadi ringan, baik lokal maupun impor.
Tapi sekarang, harapan itu mulai memudar. Bukan cuma karena harga impor tak lagi turun, tapi juga karena tarif Trump bisa bikin semuanya makin mahal.
Kalau dulu kita bisa santai belanja barang luar negeri dengan harga bersahabat, sekarang kita harus siap hadapi kenyataan baru: tarif makin tinggi, harga makin tak ramah di kantong. Dan buat sebagian orang, ini bukan soal ekonomi semata, tapi soal hidup sehari-hari. Karena di balik setiap lonjakan harga, selalu ada dompet masyarakat yang kian menipis.
Jalan Terjal di Depan Mata
Kalau harga-harga dirasa sudah mulai ‘naik diam-diam’, bersiaplah, karena jalan ke depan tampaknya bakal makin terjal. Ekonom Goldman Sachs memperkirakan tarif baru akan mendorong inflasi inti—yang jadi acuan utama The Fed—kembali mendekati 3 persen tahun ini, naik dari 2,8 persen pada Februari lalu.
Dampaknya mulai terasa. Baru sebulan sejak tarif impor diberlakukan untuk barang dari Kanada dan Meksiko, ongkos pengiriman barang antar perbatasan di Amerika Utara langsung melonjak. “Sepertinya belum pernah ada kebijakan dagang yang menimbulkan kepanikan, kebingungan, dan perubahan pola bisnis sebesar ini,” kata Breanna Leininger, Wakil Presiden Operasional AS di PCB Global Trade Management yang berbasis di Kanada.
Sebuah survei terhadap 400 Chief Financial Officer (CFO) yang dirilis oleh Fed Richmond, Fed Atlanta, dan Universitas Duke menunjukkan gambaran serupa. Perusahaan yang tidak bergantung pada impor dari Kanada, Meksiko, atau China memprediksi kenaikan harga sekitar 2,9 persen tahun ini. Tapi bagi perusahaan yang sangat bergantung pada tiga negara itu—yang kini kena tarif—kenaikan harga bisa tembus 5,1 persen.
Scott Moran, Presiden Sutker Moran—perusahaan penyedia jasa keuangan korporat—bilang banyak kliennya saat ini masih menjual stok barang lama yang disimpan sebelum tarif diberlakukan. Tapi seiring stok makin menipis, mereka mulai merasakan tekanan biaya dan mempertimbangkan menaikkan harga dalam waktu dekat. “Kamu cuma bisa bertahan sekian lama,” ujarnya.
Secara teori, tarif seharusnya cuma menaikkan harga sekali saja—sekali lonjakan, lalu selesai. Inflasi memang naik sementara, tapi akan turun kembali setelah tarif berlaku selama setahun atau lebih.
Masalahnya, tarif juga bisa memicu tekanan inflasi lewat jalur lain. Dengan menurunkan kompetisi dari luar negeri, produsen di AS bisa seenaknya menaikkan harga. Lihat saja harga baja di AS yang kini jauh lebih mahal dibanding harga global sejak tarif diberlakukan. Dan karena tekanan dari pesaing asing berkurang, banyak produsen lokal di sana jadi malas berinovasi atau meningkatkan produktivitas. Akibatnya biaya produksi naik pelan tapi pasti.
Awal bulan ini, para pejabat The Fed juga mulai angkat bicara. Mereka mengakui tarif jadi salah satu penyebab tekanan harga dan merevisi proyeksi inflasi 2025 jadi lebih tinggi. Meski begitu, mereka masih menyisakan ruang optimisme—buktinya, rencana pemangkasan suku bunga sebesar setengah persen tahun ini tetap dipertahankan.
Namun, harga barang yang lebih mahal belum tentu bikin inflasi jangka panjang jadi horor. Kepala Ekonom JPMorgan, Bruce Kasman, bilang bahwa bank sentral seperti The Fed tetap punya ‘senjata’ ampuh buat mengendalikan tren harga. Tapi, tanpa bantuan dari kekuatan global yang menekan harga barang—seperti yang dulu dilakukan oleh ekspor China atau harga minyak rendah—mereka harus bekerja lebih keras.
“Mau tak mau kita akan berhadapan dengan tantangan ini,” kata Kasman. “The Fed bisa memilih untuk menekan permintaan lebih dalam, atau membiarkan inflasi tetap tinggi.”
Bagaimana Efek ke Indonesia?
Jangan pikir tarif impor ala Trump cuma urusan Amerika Serikat dan China. Kalau dua raksasa ekonomi dunia itu ‘ribut dagang’, negara berkembang seperti Indonesia bisa ikut masuk angin. Bukan cuma soal ekspor yang tersendat, tapi juga soal belanja barang dari luar negeri yang bisa makin mahal.
Coba cek data Badan Pusat Statistik. Sepanjang 2023, Indonesia impor barang dari China senilai USD62,88 miliar. Barang-barang ini bukan sekadar mainan atau baju murah. Mesin dan peralatan mesin saja nilainya USD14,64 miliar, disusul elektronik USD13,56 miliar, lalu baja, plastik, dan bahan kimia organik. Hampir semua adalah barang yang dipakai industri dalam negeri buat produksi, bukan konsumsi langsung.
Ini belum masuk ke biaya logistik. Tarif baru bikin ongkos kirim barang ke Amerika Utara melonjak. Artinya, perusahaan global yang biasa operasional di banyak negara—termasuk yang punya cabang di Indonesia—bisa ikut merombak harga.
Lalu bagaimana dengan negara lain? Kanada misalnya. Ekspor mereka ke Indonesia mencapai USD2,01 miliar pada 2023. Barang andalannya adalah gandum (USD889 juta). Artinya, kalau tarif bikin barang Kanada jadi mahal di pasar global, bisa saja mereka banting harga ke Asia, termasuk ke Indonesia. Sekilas enak, tapi jika terlalu banyak produk impor masuk murah, industri lokal bisa ikut gigit jari.
Impor dari Meksiko memang tidak sebesar China atau Kanada. Pada 2017, nilai impor dari Meksiko berada di angka USD219,6 juta. Angka ini naik cukup stabil hingga 2022, saat nilai impor tercatat USD338 juta. Tahun 2023, nilainya kembali naik menjadi USD370,1 juta—level tertinggi sepanjang tujuh-delapan tahun terakhir. Meski tergolong kecil, barang-barang dari Meksiko bukan sembarangan, dari mesin listrik, suku cadang kendaraan, sampai alat medis presisi. Kalau tarif bikin harga-harga itu naik, industri otomotif dan kesehatan kita juga bisa kena dampak.
Intinya, jika tarif bikin harga barang global naik, Indonesia tidak akan jadi penonton netral. Kita belanja banyak dari China, dan cukup aktif ambil barang dari Kanada dan Meksiko. Harga bahan baku dan barang modal naik, ujung-ujungnya bisa tekan industri lokal, naikkan biaya produksi, lalu menular ke harga barang di pasar. Inflasi bisa ikut terdorong, apalagi kalau nilai tukar ikut terguncang.
Jadi, meski Indonesia jauh dari Gedung Putih, efek kebijakan dagang Trump tetap bisa bikin pusing. Apalagi jika perang tarif ini makin luas dan lama. Karena kalau biaya hidup makin mahal tapi pendapatan tidak ikut naik, masyarakat Indonesia yang harus menanggung bebannya.(*)