Logo
>

Goldman Sach: Risiko Resesi AS Tembus 35 Persen

Goldman Sachs menaikkan proyeksi risiko resesi Amerika Serikat jadi 35 persen imbas ancaman tarif dari Presiden Donald Trump.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Goldman Sach: Risiko Resesi AS Tembus 35 Persen
Gedung Capitol Amerika Serikat di Washington D.C., simbol kekuasaan legislatif negara tersebut. Ketidakpastian kebijakan pemerintahan Presiden Trump, termasuk ancaman tarif impor, membuat gedung ini kembali jadi sorotan pasar global. Foto: Center for American Progress.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Goldman Sachs mulai mewanti-wanti soal risiko resesi Amerika Serikat. Dalam laporan terbaru, lembaga keuangan itu menaikkan probabilitas resesi AS tahun depan jadi 35 persen, dari prediksi sebelumnya yang cuma 20 persen. Biang keladinya? Siapa lagi kalau bukan Donald Trump—dengan ancaman tarif dagang model ‘balas dendam’ yang bikin pasar global waswas.

    Tak cuma itu, Goldman juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi AS tahun 2025 dari semula dua persen jadi tinggal satu setengah persen saja. Lembaga ini bahkan memprediksi bakal ada tiga kali pemangkasan suku bunga oleh The Fed, masing-masing pada Juli, September, dan November. Padahal sebelumnya mereka cuma memperkirakan dua kali pemangkasan di Juni dan Desember.

    Goldman memproyeksikan ekonomi zona euro malah lebih buruk daripada AS. Kawasan ini diperkirakan akan masuk ke fase ‘resesi teknikal’ tahun ini. Prediksi pertumbuhan non-tahunan untuk kuartal II, III, dan IV di Eropa masing-masing cuma 0,1 persen, nol persen, dan 0,2 persen. Loyo banget.

    Lembaga ini juga menurunkan target akhir tahun untuk indeks S&P 500 dari 6.200 ke 5.700—terendah di antara para broker Wall Street. Sebagai pembanding, Barclays pasang target 5.900. Semua ini dipicu oleh kekhawatiran bahwa tarif Trump yang akan diumumkan 2 April nanti bakal berlaku ke semua negara mitra dagang AS, rata-rata sebesar 15 persen. Naik lima poin dari skenario awal.

    “Nyaris seluruh revisi tarif ini berasal dari asumsi bahwa Trump akan ngotot menerapkan tarif ‘resiprokal’ secara agresif,” tulis Goldman dalam catatannya, dikutip dari Reuters di Jakarta, Rabu, 2 April 2025.

    Kini, Eropa jadi sasaran utama berikutnya. Jika benar Trump memberlakukan tarif 15 persen terhadap Uni Eropa, tarif efektif kawasan itu bisa naik sampai 20 poin persentase. Goldman memperkirakan ekonomi zona euro bakal kehilangan 0,7 persen dari PDB pada akhir 2026 dibanding skenario tanpa tarif. Kalau skenario terburuk terjadi, dampaknya bisa sampai 1,2 persen. Ini bisa bikin Eropa benar-benar jatuh ke resesi teknikal pada 2025.

    Sebagai respons, Goldman memprediksi Bank Sentral Eropa (ECB) bakal menambah satu kali pemangkasan suku bunga di bulan Juli. Langkah ini berarti melengkapi dua pemangkasan lain yang sudah diproyeksikan terjadi di April dan Juni.

    Singkatnya, ekonomi global sedang menghadapi tekanan bertubi-tubi. Kalau tarif Trump jadi diberlakukan serempak ke seluruh dunia, maka bukan cuma pasar yang gonjang-ganjing. Bank sentral pun dipaksa berjibaku, suku bunga diturunkan, sementara pertumbuhan ekonomi makin terseret.

    Di tengah semua ini, yang paling rentan adalah negara-negara berkembang seperti Indonesia yang sebagian besar impornya masih berasal dari China.

    Ekonomi AS Kian Rapuh, Resesi Mulai Mengintai

    Kalau Goldman Sachs sudah angkat tangan dan bilang resesi tinggal sejengkal, laporan-laporan lain juga tak kalah bikin merinding. Bahkan, kekhawatiran soal ekonomi AS yang ‘masuk angin’ sudah lama dikumandangkan—dan kini makin keras bunyinya.

    Saat kampanye tahun lalu, Donald Trump janji akan bawa Amerika masuk ke era kemakmuran baru. Tapi baru dua bulan menjabat, nadanya mulai berubah. Ia mulai mewanti-wanti bahwa menurunkan harga bukan urusan gampang, dan rakyat AS harus siap menghadapi sedikit ‘gangguan’ sebelum kemakmuran itu benar-benar datang.

    Meski data resmi terakhir menunjukkan inflasi AS mulai turun, para analis justru melihat tanda-tanda perlambatan ekonomi kian nyata dan akar masalahnya lagi-lagi mengarah ke kebijakan Trump sendiri.

    Di Amerika Serikat, resesi artinya penurunan aktivitas ekonomi secara menyeluruh dan berlangsung lama, biasanya ditandai dengan lonjakan pengangguran dan pendapatan masyarakat yang menyusut.

    Belakangan, makin banyak analis yang angkat suara soal bahaya ini. Laporan JP Morgan menaikkan peluang resesi menjadi 40 persen, naik dari 30 persen di awal tahun. Alasannya adalah arah kebijakan AS sudah menjauh dari pertumbuhan. Ekonom Moody’s, Mark Zandi, juga ikut menaikkan proyeksi dari 15 ke 35 persen, dan lagi-lagi alasannya karena tarif.

    Sinyal-sinyal resesi itu juga tercermin di pasar saham. Indeks S&P 500—yang mencerminkan kinerja 500 perusahaan terbesar AS—terjun bebas dan kini menyentuh level terendah sejak September. Pasar mulai panik karena prospek masa depan makin suram.

    Indeks saham S&P 500 merosot ke level terendah sejak September 2024. Grafik menunjukkan penurunan signifikan usai pemilihan presiden AS pada November 2024, seiring kekhawatiran pasar atas kebijakan tarif dan risiko resesi.

    Pemicunya tak lain adalah gelombang tarif impor yang diluncurkan Trump sejak ia duduk di kursi presiden. Ia sudah memukul barang-barang dari tiga mitra dagang terbesar AS dan berencana memperluasnya. Para analis sepakat, kebijakan ini akan bikin harga naik dan pertumbuhan melambat.

    Padahal, data Februari menunjukkan inflasi memang sedikit melandai—harga naik 2,8 persen dalam setahun, turun dari 3 persen di Januari. Tapi Trump dan tim ekonominya justru makin gencar memperingatkan rakyat soal potensi ‘sakit’ ekonomi ke depan. Aneh memang, mengingat dulu ia sering pamer pasar saham sebagai tolak ukur keberhasilannya.

    “Perubahan dan penyesuaian itu pasti ada,” ujar Trump beberapa waktu lalu, merespons permintaan dunia usaha yang meminta kepastian.

    Tapi alih-alih menenangkan, pernyataan ini justru bikin pelaku pasar makin was-was. Goldman Sachs menyebut kebijakan Trump sebagai risiko utama ekonomi. Namun mereka juga mencatat, Gedung Putih masih punya ‘rem darurat’ kalau situasi memburuk. Tapi jika Trump tetap keukeuh dengan jurus tarifnya meski data ekonomi makin amburadul, risiko resesi bisa makin meledak.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Moh. Alpin Pulungan

    Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

    Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).