Logo
>

Government Shutdown AS Tak Hentikan Reli Pasar Saham, ini Alasannya

Meski penutupan pemerintah AS menunda rilis data ekonomi, indeks saham utama tetap mencetak rekor baru.

Ditulis oleh Syahrianto
Government Shutdown AS Tak Hentikan Reli Pasar Saham, ini Alasannya
Ilustrasi: Suasana dalam New York Stock Exchange atau Wall Street. (Foto: Wikimedia Commons)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Jika penutupan pemerintah (government shutdown) Amerika Serikat (AS) kali ini tidak mampu menghentikan reli pasar saham, lalu apa yang bisa?

    Harga saham terus naik meskipun shutdown menunda publikasi laporan ekonomi penting yang biasanya menjadi panduan perdagangan. Indeks S&P 500 dan Dow Jones Industrial Average (DJIA) mencetak rekor tertinggi baru pada Jumat.

    Kenaikan pasar bukan hanya ditopang oleh saham-saham teknologi besar seperti tahun-tahun sebelumnya. Saham Nvidia dan perusahaan lain yang terkait dengan tren kecerdasan buatan masih menguat, namun hampir semua sektor di Wall Street juga mencatatkan keuntungan. Indeks Russell 2000 yang berisi saham-saham berkapitalisasi kecil menembus rekor baru setelah hampir empat tahun. Harga emas juga mencapai level tertinggi, sementara dana obligasi terbesar di AS berada di jalur untuk mencatatkan kinerja terbaiknya dalam sedikitnya lima tahun terakhir.

    Penutupan pemerintah sebelumnya hanya berdampak kecil terhadap pasar saham maupun ekonomi, dan pelaku pasar kembali bertaruh bahwa hal yang sama akan terjadi kali ini. Banyak investor profesional memperkirakan pasar masih berpotensi naik lebih tinggi, bahkan setelah reli 35 persen sejak posisi terendah pada April.

    Namun, risiko tetap ada. Optimisme saat ini sangat bergantung pada ekspektasi tertentu, dan bila harapan itu tidak terwujud, tren positif di Wall Street bisa berbalik arah.

    Salah satu kekhawatiran terbesar muncul dari valuasi saham yang melonjak lebih cepat dibandingkan pertumbuhan laba perusahaan. Dalam jangka panjang, harga saham biasanya mengikuti pergerakan laba korporasi, namun saat ini valuasi pasar sudah jauh melampaui fundamentalnya.

    Sebuah ukuran populer yang dikembangkan ekonom peraih Nobel, Robert Shiller, menunjukkan valuasi S&P 500 mendekati level termahal sejak gelembung dot-com tahun 2000. Beberapa pengamat bahkan membandingkan situasi sekarang dengan euforia saham berbasis AI.

    Kekhawatiran tidak hanya datang dari saham besar di indeks S&P 500. Ann Miletti, Kepala Investasi Ekuitas di Allspring Global Investments, menyoroti kenaikan tajam harga saham spekulatif seperti perusahaan kecil yang belum mencetak laba. Dalam beberapa bulan terakhir, saham jenis ini justru mengungguli perusahaan yang sudah menguntungkan.

    Miletti mengaku tetap optimistis terhadap prospek saham menuju 2026, namun ia memperingatkan, “Gelembung-gelembung kecil seperti ini yang membuat saya khawatir. Saat pola ini muncul, biasanya itu bukan pertanda baik.”

    Meski begitu, sinyal pasar yang menunjukkan valuasi mahal sering kali gagal memprediksi titik balik secara tepat. Saham dapat tetap mahal selama investor masih bersedia membayar harga tinggi.

    Agar valuasi kembali normal, harga saham perlu turun atau laba perusahaan harus naik. Karena itu, musim laporan keuangan mendatang menjadi sangat penting.

    Sejumlah perusahaan akan memulai periode pelaporan laba musim panas, dimulai dengan PepsiCo dan Delta Air Lines pada Kamis, diikuti JPMorgan Chase dan bank-bank besar lainnya.

    Menurut data FactSet, analis memperkirakan perusahaan di indeks S&P 500 akan melaporkan pertumbuhan laba per saham sebesar 8 persen dari tahun sebelumnya. Namun mereka tidak hanya perlu memenuhi target itu, tetapi juga memberikan proyeksi pertumbuhan berkelanjutan untuk sisa tahun ini hingga 2026.

    Kondisi ini terjadi di tengah tantangan seperti tarif impor, inflasi tinggi, dan ketidakpastian ekonomi global.

    Salah satu alasan utama lonjakan pasar saham adalah ekspektasi bahwa Federal Reserve akan memangkas suku bunga beberapa kali dalam waktu dekat.

    Suku bunga yang lebih rendah memberi dorongan pada ekonomi karena membuat biaya pinjaman lebih murah bagi rumah tangga dan perusahaan. Kondisi ini juga membuat investor lebih bersedia membayar harga tinggi untuk saham, obligasi, dan aset lainnya.

    Data dari CME Group menunjukkan pelaku pasar memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga setidaknya tiga kali lagi hingga pertengahan musim panas mendatang. Pejabat The Fed sendiri telah memberi sinyal akan menurunkan suku bunga karena pasar tenaga kerja mulai melambat.

    Namun Ketua The Fed, Jerome Powell, menegaskan bahwa kebijakan tersebut bisa berubah sewaktu-waktu. Alasannya, inflasi masih bertahan di atas target 2 persen dan penurunan suku bunga berpotensi memicu tekanan harga baru.

    “Saya rasa suku bunga dan ekspektasi terhadap langkah The Fed saat ini memengaruhi segalanya,” kata Miletti. “Jika The Fed tidak memangkas suku bunga sebanyak yang diharapkan, sektor-sektor spekulatif yang tidak didukung fundamental akan menghadapi masalah serius.”

    Yung-Yu Ma, Kepala Strategi Investasi di PNC Asset Management Group, menyebut situasi ini sebagai “pertanyaan terbesar dalam dekade ini.”

    Ma menilai saham-saham terkait AI belum terlalu mahal, asalkan pertumbuhan pendapatan dan penjualan sektor tersebut tetap kuat.

    Ia menambahkan bahwa harapan terhadap kemajuan AI juga membantu menekan suku bunga jangka panjang dan meredam kekhawatiran inflasi. Teknologi AI dinilai perlu meningkatkan produktivitas ekonomi agar dapat menyeimbangkan tekanan inflasi dan suku bunga yang disebabkan oleh utang besar yang ditanggung AS dan banyak negara lain.

    “Jika manfaat ini benar-benar tercapai bagi perusahaan dan masyarakat, kondisi positif bisa bertahan selama bertahun-tahun,” kata Ma. “Saya rasa semua orang kini menambatkan harapan mereka pada kapal yang sama, entah mereka menyadarinya atau tidak.” (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.