KABARBURSA.COM - Harga batu bara global bergerak beragam pada perdagangan Kamis, 20 November 2025. Pasokan dan permintaan di Kawasan Asia terus berubah, terutama akibat pergerakan impor China.
Pasar mencatat bahwa Mongolia kembali muncul sebagai pemasok yang diuntungkan. Posisi ini diperkuat oleh tingginya harga global dan penurunan produksi domestik China.
Sebaliknya, negara-negara pemasok utama seperti Indonesia, Rusia, dan Australia justru mengalami kontraksi volume pengiriman. Hal ini terjadi karena mengikuti tren penurunan total impor batu bara China pada Oktober.
Di pasar berjangka, harga batu bara Newcastle untuk kontrak November 2025 tercatat stabil di USD111 per ton. Stabilitas ini menunjukkan pasar yang relatif seimbang menjelang akhir bulan.
Sementara, Kontrak Desember 2025 naik USD0,85 menjadi USD114,25 per ton. Suatu penanda adanya ekspektasi permintaan yang lebih kuat menjelang musim dingin. Namun, kontrak Januari 2026 justru terkoreksi tipis USD0,1 ke USD113,85 per ton. Sepertinya pasar melihat adanya potensi normalisasi permintaan setelah periode puncak musim dingin berlalu.
Pergerakan harga di pasar Rotterdam juga menunjukkan pola yang serupa namun dengan volatilitas terbatas. Kontrak November turun tipis USD0,15 ke USD96,1 per ton, sementara kontrak Desember menguat USD0,85 ke USD98,65, dan Januari 2026 naik USD0,55 ke USD99,05.
Kenaikan harga untuk kontrak mendatang di kedua pasar mencerminkan ekspektasi permintaan energi yang meningkat di Eropa dan Asia, khususnya sepanjang musim dingin, serta kondisi pasokan yang ketat.
Impor Batu Bara Mongolia Melonjak Tajam
Beralih ke faktor fundamental. Data bea cukai China memaparkan, Mongolia mencatat lonjakan impor batu bara sebesar 20 persen secara tahunan pada Oktober 2025, dengan total 7,76 juta ton.
Meski turun dari rekor September sebesar 9,29 juta ton, angka tersebut menegaskan bahwa Mongolia kini menjadi pemasok strategis di tengah tekanan pasokan domestik China.
Pembatasan produksi dan pemeriksaan keselamatan tambang yang berlangsung sejak pertengahan tahun, terus menahan kapasitas produksi China. Akibatnya, impor menjadi solusi jangka pendek yang tak terhindarkan.
Yang menarik, kenaikan impor dari Mongolia justru terjadi di saat total impor batu bara China menyusut 10 persen secara tahunan, pada periode yang sama. Penurunan paling tajam dialami impor dari Rusia yang merosot 18 persen menjadi 6,79 juta ton.
Penurunan impor dari Rusia ini merupakan dampak dari pembatasan logistik, penurunan kualitas pengiriman, serta hambatan geopolitik. Sedangkan impor dari Indonesia—sebagai pemasok utama China—jatuh 12 persen, menjadi 18,7 juta ton.
Penurunan dari tiga pemasok besar ini memperlihatkan bagaimana ketergantungan China terhadap Mongolia semakin meningkat.
Jadi, sentimen pasar mencerminkan kekhawatiran bahwa ketatnya pasokan domestik China akan terus membayangi pasar batu bara global dalam beberapa bulan ke depan.
Dengan permintaan energi yang meningkat menuju musim dingin serta kebijakan pembatasan produksi yang belum menunjukkan tanda-tanda pelonggaran, China diperkirakan akan mempertahankan impor tinggi dari pemasok yang paling efisien secara logistic, dan dalam hal ini adalah Mongolia.
Gambaran keseluruhan menunjukkan bahwa pasar batu bara global tengah berada dalam fase penyesuaian, dengan kontrak-kontrak berjangka masih mencerminkan ekspektasi permintaan yang kokoh namun terukur.
Sentimen investor tetap waspada terhadap potensi guncangan pasokan, sementara dinamika permintaan China terus menjadi variabel penentu arah harga dalam jangka pendek.(*)