KABARBURSA.COM - Harga batu bara global menutup perdagangan Jumat, 24 Oktober 2025, dengan sedikit pelemahan. Di pasar ICE Newcastle, kontrak pengiriman bulan depan terkoreksi tipis 0,1 persen ke posisi USD104,1 per ton.
Meski demikian, secara akumulatif harga masih menguat 0,63 persen dalam sepekan terakhir. Sementara dalam jangka waktu satu bulan terakhir, batu bara masih mencatat penurunan 0,9 persen. Sementara, sepanjang tahun berjalan (year-to-date) harga sudah longsor hampir 17 persen.
Sentimen negatif yang menekan harga batu bara global ini muncul dari sektor teknologi. Isu terkait kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang sebelumnya digadang-gadang akan meningkatkan konsumsi energi, kini berbalik arah.
Laporan dari Wall Street menunjukkan bahwa perkembangan AI mulai berorientasi pada efisiensi. Sistem komputasi yang lebih ringan, hemat energi, dan berdaya komputasi rendah kini tengah menjadi fokus utama.
Kajian ini menimbulkan kekhawatiran bahwa lonjakan permintaan energi akibat ekspansi pusat data (data center) berbasis AI mungkin tidak akan sebesar yang diantisipasi beberapa bulan lalu.
Kabar serupa datang dari GE Vernova Inc, produsen turbin pembangkit listrik besar. Mereka menilai investasi di sektor pembangkitan energi kemungkinan akan melambat. Reaksi pasar terlihat cepat, sehingga saham-saham perusahaan utilitas dan pembangkit listrik mengalami koreksi tajam.
Indeks UBS, yang melacak kinerja emiten sektor tersebut, anjlok sekitar 12 persen dalam lima hari perdagangan. Ketika prospek ekspansi kapasitas listrik melemah, permintaan terhadap energi primer seperti batu bara otomatis ikut tertekan.
Lagi-lagi hal ini memperlihatkan bahwa sentimen makro kini lebih banyak dipengaruhi oleh proyeksi jangka menengah, bukan hanya fluktuasi pasokan atau faktor cuaca seperti pada tahun-tahun sebelumnya.
Ada Potensi Rebound Usai Muncul Titik Jenuh Jual
Namun, dari sisi teknikal, terdapat indikasi bahwa harga batu bara mulai mendekati titik jenuh jual dan berpotensi mengalami rebound teknis dalam waktu dekat.
Berdasarkan grafik mingguan (weekly time frame), tren masih menunjukkan dominasi bearish. Hal ini tercermin dari nilai Relative Strength Index (RSI) di level 42, berada di bawah ambang 50 yang menandakan kecenderungan turun.
Meski demikian, indikator Stochastic RSI berada di level 23, mengartikan batu bara sudah berada di area oversold atau jenuh jual. Kondisi seperti ini sering kali diikuti oleh fase pemulihan jangka pendek, terutama jika muncul katalis teknikal atau fundamental yang mendukung.
Untuk pekan depan, peluang penguatan harga tetap terbuka meski ruangnya terbatas. Target resisten terdekat berada di kisaran USD108 hingga USD110 per ton. Jika harga berhasil menembus area tersebut, momentum beli (buying momentum) dapat meningkat signifikan dan mendorong harga menuju target berikutnya di kisaran USD123 per ton.
Sebaliknya, jika tekanan jual kembali menguat dan harga menembus area support di USD101 per ton, risiko koreksi lebih dalam ke rentang USD97 hingga USD81 per ton menjadi sangat mungkin.
Dengan kondisi pasar global yang masih dibayangi ketidakpastian arah permintaan energi, pergerakan batu bara dalam waktu dekat kemungkinan akan didominasi oleh faktor teknikal dan psikologis investor.
Secara fundamental, belum ada katalis besar yang bisa mendorong lonjakan permintaan, terutama karena transisi energi bersih masih terus berjalan dan prospek permintaan dari sektor industri serta teknologi belum menunjukkan akselerasi baru.
Namun, jika harga mampu bertahan di atas level psikologis USD100 per ton dan didukung oleh rebound pasar energi secara umum, batu bara bisa saja menapaki fase konsolidasi menuju penguatan moderat menjelang akhir tahun.
Dengan kata lain, pekan depan berpotensi menjadi periode penentuan: apakah batu bara akan benar-benar menemukan pijakan baru di kisaran US$100 per ton, atau justru melanjutkan pelemahannya di tengah sentimen global yang kian hati-hati terhadap komoditas energi fosil.(*)