KABARBURSA.COM – Harga batu bara global semakin melemah. Pada perdagangan Selasa, 9 Desember 2025, harga batu bara Newcastle kontrak Desember turun menjadi USD110,1 per ton. Begitu pula dengan kontrak Januari dan Februari 2026, yang masing-masing tertekan hingga ke level USD109,3 dan USD109,8 per ton.
Hal yang sama terjadi pada batu bara Rotterdam, yang saat ini berada di bawah USD97 per ton untuk kontrak terdekat. Ketakberdayaan ini disebabkan oleh permintaan China yang melambat dan pasokan global yang masih ketat, terutama dari Indonesia dan Australia.
Jika dilihat dari sisi permintaan, dari data impor batu bara China, sepertinya saat ini pasar sedang memasuki fase normalisasi setelah ledakan permintaan pada tahun lalu. Impor China pada November 2024 sebanyak 54,98 juta ton, mencetak rekor bulanan.
Namun tahun ini, di November 2025, permintaan itu merosot hingga 20 persen, menjadi 44,05 juta ton. Penurunan signifikan ini disebabkan oleh berkurangnya kebutuhan pembangkit listrik serta meningkatnya pasokan domestik China.
Walau begitu, permintaan China sempat naik 6 persen di Oktober 2025. Hanya saja, kenaikan tersebut tidak sepenuhnya menjawab keresahan global akan penurunan permintaan sepanjang tahun berjalan.
Selisih Harga hingga Masalah Cuaca
Sementara itu, Asosiasi CCTD menjelaskan, selisih harga antara batu bara impor dan domestik semakin menipis. Ini yang kemudian menjadi salah satu alasan, kenapa impor dalam dua bulan terakhir 2025 diperkirakan tidak akan menyamai level tahun lalu.
Faktor lainnya Aaalah masalah cuaca. Curah hujan yang tinggi di Indonesia menahan ekspor. Produksi sejumlah tambang juga terhenti, karena kuota tahunan sudah terpenuhi. Di Australia pun demikian, hingga ekspor ke Rusia yang terganggu cuaca dingin ekstrem.
Secara agregat, impor China untuk periode Januari – November 2025, turun 12 persen secara tahunan, menjadi 432 juta ton. Penurunan ini sejalan dengan prediksi CCTD bahwa tahun ini menjadi tahun pertama penurunan konsumsi batu bara China.
Sektor pembangkit listrik menjadi penyumbang koreksi terbesar, lantaran penetrasi energi baru terbarukan dan efisiensi operasional pembangkit thermal.
Tidak hanya di sektor pembangkit listrik, di sektor baja dan konstruksi pun mengalami hal serupa. Tetapi berbeda dengan industri kimia batu bara yang masih mampu memberikan bantalan pertumbuhan.
Di sini, CCTD memperkirakan konsumsi akan Kembali tumbuh moderat di tahun depan, tetapi tidak cukup kuat untuk membawa impor ke level 2024.
Rencana Tarif Bea Ekspor Satu Sampai Lima Persen
Kondisi di Indonesia pun kian merana. Rencana pemerintah mengenakan tarif bea ekspor batu bara sebesar 1-5 persen, membuat pasar meraba-raba, ke mana kebijakan ini akan dibawa. Yang pasti, batu bara kalori tinggi yang selama ini diekspor perusahaan besar seperti Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) dan Alamtri Resources Indonesia Tbk (ADRO) menjadi yang paling terdampak.
Jika melihat simulasi yang berkembang di pasar, ada potensi koreksi laba bersih emiten batu bara Indonesia antara 7 hingga 27 persen di 2026. Hal itu bergantung pada besaran tarif dan porsi ekspor masing-masing perusahaan.
PT Bukit Asam Tbk (PTBA), misalnya, yang memiliki porsi ekspor paling kecil, diperkirakan akan mengalami tekanan laba sekitar 7 persen, jika tarif dipatok sebesar 1 persen. Sementara ITMG, yang memang sangat bergantung pada pasar ekspor dan memiliki ASP tinggi, bisa mengalami koreksi hingga 27 persen jika tarif diterapkan secara penuh (5 persen).
Regulasi Devisa Hasil Ekspor Beri Tambahan Tekanan
Belum selesai dengan tarif ekspor, revisi regulasi devisa hasil ekspor (DHE SDA) menambah kompleksitas. Penurunan batas konversi valas ke rupian, dari 100 persen menjadi maksimal 50 persen, menahan lebih banyak likuiditas dolar di sistem keuangan domestik, terutama di bank-bank himbara.
Memang, hal ini berpotensi menstabilkan nilai rupiah, tetapi di sisi lain justru menekan likuiditas valas di bak swasta. Kelonggaran ini memang memberi ruang bagi eksportir untuk mengelola arus kas, namun pengetatan konversi tetap menjadi faktor yang mengurangi fleksibilitas.
Jika ditarik dalam satu garis besar, pasar batu bara dunia saat ini tengah berhadapan dengan kombinasi faktor yang saling bertolak belakang. Di satu sisi, permintaan China melemah dan konsumsi batu bara negara tersebut sedang dalam tren penurunan struktural.
Di sisi lain, pasokan global sedang tertekan. Namun, kedua faktor itu kini dibayangi kebijakan domestik Indonesia yang berpotensi mengubah peta biaya dan margin industri batu bara secara signifikan pada 2026.
Kondisi inilah yang membuat harga batu bara bergerak tidak stabil. Pelemahan terbaru bukan sekadar respons terhadap satu data impor China, melainkan refleksi dari pasar yang sedang mencari keseimbangan baru di tengah perubahan struktural global dan regulasi domestik yang semakin ketat.
Investor kini berhadapan dengan pasar komoditas yang bukan hanya sensitif terhadap data fundamental, tetapi juga terhadap kebijakan pemerintah yang dapat menggeser proyeksi keuntungan industri secara cepat.(*)