KABARBURSA.COM - Harga batu bara global kembali melanjutkan tren penguatan pada perdagangan Rabu, 17 September 2025, meski pasar masih dibayangi berbagai kabar negatif.
Merujuk data Refinitiv, harga batu bara ditutup di level USD106,55 per ton, naik 1 persen dalam sehari. Kenaikan ini memperpanjang reli tiga hari berturut-turut dengan akumulasi penguatan mencapai 5,8 persen. Momentum ini menunjukkan bahwa meskipun ada tekanan dari sisi permintaan, faktor pasokan yang terganggu tetap menjadi penopang utama pergerakan harga.
Dari Tiongkok, sentimen sempat membebani pasar setelah laporan kinerja China Shenhua Energy Co., anak usaha raksasa China Energy Investment Corporation, menunjukkan penurunan penjualan pada Agustus. Volume penjualan tercatat hanya 37,5 juta ton, turun 0,8 persen dibanding Juli dan merosot 3,1 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Pelemahan ini dipicu turunnya permintaan listrik rumah tangga karena suhu udara mulai mendingin di wilayah utara, sehingga kebutuhan pendingin ruangan berkurang. Dengan permintaan listrik menurun, penggunaan batu bara termal dari perusahaan utilitas otomatis ikut tertekan.
Kondisi ini menegaskan tren pelemahan permintaan domestik di pasar terbesar dunia, yang juga diperkuat dengan kebijakan energi Beijing untuk mengarahkan konsumsi ke sumber energi alternatif.
Di Afrika Selatan, harga batu bara justru melemah karena perdagangan yang lesu. Penjual terpaksa memangkas penawaran demi mengurangi stok, tetapi pembeli masih memilih menunggu di luar pasar menjelang tenggat penerapan Goods and Services Tax (GST) pada 22 September.
Dinamika ini menambah kesan bahwa dari sisi permintaan global, pasar masih menghadapi resistensi.
Namun, faktor pasokan kembali menjadi penggerak utama harga. Pemerintah Tiongkok memutuskan menghentikan operasi sejumlah tambang di Mongolia Dalam, tepatnya di wilayah Ordos, setelah ditemukan praktik kelebihan produksi lebih dari 10 persen pada paruh pertama tahun ini.
Langkah penegakan regulasi ini menargetkan tambang dengan kapasitas tahunan sekitar 34,6 juta ton yang kini wajib menjalani inspeksi ketat sebelum bisa kembali beroperasi. Mongolia Dalam sendiri menyumbang sepertiga dari total produksi batu bara nasional Tiongkok, sehingga penghentian produksi di wilayah tersebut berpotensi mengurangi pasokan dalam jumlah signifikan.
Dengan rantai pasok energi domestik yang terganggu, harga batu bara internasional pun mendapat sokongan meski sisi permintaan melemah.
ESDM Tetapkan HBA Periode Kedua September
Di Indonesia, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tetap konsisten mengatur harga batu bara domestik melalui kebijakan harga batu bara acuan (HBA). Untuk periode kedua September, HBA ditetapkan turun 1,75 persen menjadi USD103,49 per ton, dari USD105,33 per ton pada periode sebelumnya.
Penyesuaian ini mencerminkan mekanisme respons terhadap dinamika pasar global dan kondisi pasokan-permintaan domestik. Penurunan HBA menunjukkan upaya pemerintah menjaga keseimbangan harga di dalam negeri, sekaligus memberi sinyal kepada pelaku industri bahwa fluktuasi global tetap diperhitungkan dengan hati-hati dalam menentukan patokan harga nasional.
Dengan situasi saat ini, pasar batu bara bergerak di antara tarik-menarik permintaan yang melemah dan pasokan yang terhambat. Kabar penurunan penjualan dari Shenhua dan pelemahan harga di Afrika Selatan memberi gambaran lemahnya konsumsi, tetapi kebijakan penghentian produksi di Mongolia Dalam justru memberi penopang kuat bagi harga internasional.
Di sisi lain, kebijakan ESDM menjaga stabilitas melalui penyesuaian HBA, yang menjadi instrumen penting untuk menyeimbangkan dinamika global dengan kebutuhan energi nasional.
Tren penguatan harga tiga hari terakhir menegaskan bahwa batu bara tetap berada dalam fase sensitif terhadap perubahan pasokan. Selama gangguan di Mongolia Dalam belum terselesaikan, harga berpotensi bertahan tinggi, meski secara fundamental permintaan menunjukkan tanda-tanda melambat.
Indonesia melalui kebijakan HBA berperan penting dalam memastikan stabilitas di pasar domestik, agar volatilitas global tidak sepenuhnya mengguncang industri dalam negeri.(*)