KABARBURSA.COM - Harga batu bara dunia kembali merangkak naik pada perdagangan Kamis waktu setempat, 23 Oktober 2025. Kenaikan hari ini memperpanjang tren positif, namun sayangnya belum bisa lepas dari zona bearish.
Sentimen positif yang menopang reli ini datang dari berbagai arah. Mulai dari penurunan produksi di China, kekhawatiran pasokan global yang mulai mengetat, hingga lonjakan harga minyak dunia akibat sanksi baru AS terhadap Rusia. Belum lagi keputusan beberapa negara Eropa, termasuk Rumania, untuk menunda rencana penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara.
Semua faktor ini menciptakan kombinasi fundamental yang kuat bagi kenaikan harga batu hitam tersebut.
Harga batu bara Newcastle untuk kontrak Oktober 2025 naik 0,5 dolar menjadi 104,2 dolar AS per ton. Kontrak November melonjak lebih tinggi, dari 1,3 dolar ke 108 dolar AS per ton. Sementara kontrak Desember meningkat 1,3 dolar ke 109,55 dolar AS per ton.
Di pasar Eropa, harga batu bara Rotterdam juga mencatat kenaikan serupa, masing-masing naik antara 0,7 hingga 1,1 dolar per ton untuk kontrak Oktober hingga Desember. Kenaikan simultan di dua bursa utama ini menandakan pergeseran sentimen investor yang kembali optimistis terhadap prospek pasar batu bara global.
China, sebagai produsen dan konsumen batu bara terbesar di dunia, menunjukkan produksi pada September hanya mencapai 411,51 juta t. Angka produksi ini turun 1,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Meski lebih tinggi dari Agustus, penurunan tahunan tersebut mempertegas dampak dari kebijakan pembatasan produksi yang masih diterapkan pemerintah. Untuk diketahui, Beijing kini tengah menjalankan kampanye “anti-involution”, yang menargetkan sektor energi intensif seperti batu bara dan baja untuk mengendalikan kelebihan kapasitas produksi.
Namun, kebijakan ini menimbulkan kekhawatiran baru tentang pasokan global, terutama ketika permintaan energi tetap tinggi di banyak negara menjelang musim dingin.
Penggunaan dan Permintaan Batu Bara Masih Tinggi
Ya, laporan terbaru dari International Energy Agency (IEA) menegaskan bahwa batu bara masih menjadi tulang punggung pembangkitan listrik dunia. Bahkan tahun ini, sekitar 35 persen pasokan listrik global masih bersumber dari batu bara, dengan lebih dari 2.500 pembangkit masih beroperasi di seluruh dunia.
Beruntung, kapasitas baru masih bermunculan, terutama di China, India, dan Amerika Serikat. Artinya, meskipun ada tekanan besar untuk beralih ke energi bersih, ketergantungan terhadap batu bara belum bisa dihapus sepenuhnya, setidaknya dalam jangka menengah.
Sementara itu, di Eropa, kebijakan energi menghadapi dilema besar. Di satu sisi, Uni Eropa tetap berkomitmen memangkas emisi karbon hingga 90 persen pada tahun 2040. Namun di sisi lain, banyak negara anggota kini mulai memperlambat laju transisi energi demi melindungi industri dan daya beli masyarakat dari lonjakan biaya energi.
Salah satunya terlihat dari pernyataan Perdana Menteri Denmark Mette Frederiksen, dan Menteri Keuangan Jerman Lars Klingbeil. Mereka gelisah karena dekarbonisasi tidak boleh mengorbankan industri dan lapangan kerja.
Keputusan Rumania untuk menunda penutupan lima unit pembangkit batu bara hingga 2026 dan 2029 menjadi cerminan nyata kompromi antara kebutuhan energi dan target lingkungan.
Batu Bara Masih Belum Move On, Terjerat di Zona Bearish
Dari sisi teknikal, harga batu bara masih berada di zona bearish secara harian, dengan Relative Strength Index (RSI) di level 41. Posisi RSI di bawah 50 menandakan tekanan jual masih dominan.
Namun, indikator Stochastic RSI yang kini turun ke 11, di mana jauh di bawah ambang oversold 20, menunjukkan bahwa harga sudah sangat jenuh jual. Inilah yang kemudian membuka peluang untuk rebound teknikal dalam waktu dekat.
Dengan kondisi seperti ini, analis memperkirakan harga batu bara akan bergerak terbatas dalam perdagangan harian, dengan area resistance terdekat di kisaran 105–107 dolar AS per ton, dan resistance lanjutan di sekitar 108 dolar AS.
Di sisi lain, support kuat berada di 101 dolar AS, dan penembusan di bawah level ini bisa membuka peluang koreksi lebih dalam menuju 97–98 dolar AS per ton.
Secara keseluruhan, tren harga batu bara dunia menunjukkan fase konsolidasi yang cenderung menguat. Kenaikan harga minyak global dan ketegangan geopolitik memberikan tambahan dorongan pada pasar komoditas energi. Sementara, kebijakan pembatasan produksi di China serta keterlambatan transisi energi di Eropa membuat pasokan global tetap ketat.
Dalam jangka menengah, outlook harga batu bara masih positif, meski pergerakannya kemungkinan akan lebih volatil. Permintaan tetap kuat karena kebutuhan energi yang tinggi di negara berkembang dan musim dingin yang semakin dekat di belahan bumi utara.
Dengan latar belakang geopolitik yang tidak menentu, batu bara masih memiliki ruang untuk mempertahankan posisinya sebagai sumber energi utama meskipun dunia sedang bergerak menuju era energi hijau.
Singkatnya, pasar batu bara saat ini sedang berdiri di persimpangan antara tekanan kebijakan lingkungan dan kebutuhan energi global yang mendesak. Selama pasokan tetap ketat dan harga energi lain seperti minyak terus meningkat, batu bara akan tetap menjadi komoditas yang hangat diperbincangkan bukan hanya di bursa, tetapi juga di meja-meja perundingan kebijakan energi dunia.(*)