KABARBURSA.COM - Harga batu bara global akhirnya naik ke permukaan setelah tiga hari mengalami tekanan, akibat lemahnya aktivitas pasar Asia. Kenaikan tersulut aktivitas China yang mulai Kembali usai libur Panjang Golden Week.
Berdasarkan data Refinitiv, harga batu bara kontrak acuan ditutup menguat 0,47 persen ke USD106,25 per ton pada Kamis, 9 Oktober 2025, setelah sebelumnya anjlok lebih dari 2 persen dalam tiga sesi berturut-turut.
Kenaikan ini menjadi sinyal bahwa pasar mulai merespons faktor fundamental baru, terutama dari China dan Eropa, yang bisa menjadi katalis penguatan dalam jangka pendek hingga menengah.
Pemulihan harga batu bara terjadi seiring berakhirnya libur panjang Golden Week di China, yang selama sepekan membuat aktivitas perdagangan energi di negeri tersebut nyaris stagnan. Setelah liburan berakhir pada 8 Oktober, pasar berharap permintaan akan kembali pulih, terutama dari sektor industri dan pembangkit listrik.
Namun, di lapangan, kondisi pasca-liburan masih menunjukkan ketidakseimbangan. Di beberapa pelabuhan besar seperti Qinhuangdao dan Caofeidian, aktivitas perdagangan masih lesu karena banyak pembeli menahan diri menunggu harga stabil.
Sementara di pelabuhan lain, tekanan harga sempat muncul akibat pasokan yang pulih lebih cepat daripada permintaan.
Meski demikian, optimisme mulai terlihat dari proyeksi permintaan jangka menengah. Peningkatan aktivitas industri setelah liburan biasanya diikuti oleh kenaikan kebutuhan energi, terutama batu bara termal untuk pembangkit listrik dan industri berat.
China, sebagai konsumen terbesar batu bara dunia, diperkirakan akan kembali meningkatkan pembelian ketika suhu mulai turun dan kebutuhan energi meningkat menjelang musim dingin. Hal ini bisa menjadi faktor penopang harga dalam beberapa pekan mendatang, terutama bila cuaca ekstrem terjadi lebih awal.
Pergerakan Batu Bara Kokas Lebih Tenang
Dari sisi pasar batu bara kokas (coking coal), aktivitas masih terbilang tenang dengan tren harga bervariasi. Permintaan dari industri hilir seperti baja belum menunjukkan pemulihan yang kuat karena masih adanya tekanan dari regulasi tambang dan meningkatnya stok di level produsen.
Inventori di sejumlah tambang utama bahkan meningkat akibat minimnya pembelian dari sektor pengguna, seperti produsen baja dan kokas.
Pembeli besar di sektor tersebut cenderung menunggu kepastian harga dan pasokan sebelum kembali masuk pasar, menciptakan kondisi wait and see yang membuat likuiditas perdagangan batu bara China belum sepenuhnya pulih.
Namun, katalis positif juga datang dari Eropa, di mana sejumlah proyeksi menunjukkan potensi kenaikan konsumsi batu bara untuk pembangkit listrik pada kuartal keempat. Hal ini disebabkan oleh kombinasi antara cuaca dingin yang mulai mendekat dan berkurangnya pasokan gas alam dari beberapa jalur impor utama.
Eropa, yang selama dua tahun terakhir berusaha mengurangi ketergantungan pada batu bara, kini kembali menggunakannya sebagai sumber energi cadangan di tengah ketidakpastian geopolitik dan harga gas yang masih berfluktuasi.
Kondisi ini membantu menopang harga batu bara global dan mencegah penurunan lebih dalam.
Perhatikan ADRO, PTBA, INDY, dan BUMI
Bagi pasar saham domestik, penguatan harga batu bara global menjadi katalis positif bagi emiten sektor energi dan pertambangan, terutama yang memiliki eksposur ekspor besar ke pasar Asia dan Eropa.
Saham-saham seperti PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), PT Indika Energy Tbk (INDY), dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) menjadi fokus utama investor. ADRO dan PTBA berpotensi mencatatkan rebound karena memiliki fundamental kuat serta posisi biaya produksi yang relatif rendah, sehingga lebih mampu mempertahankan margin di tengah fluktuasi harga komoditas.
Sementara BUMI, yang cenderung sensitif terhadap pergerakan harga batu bara, bisa menjadi pilihan trading buy jangka pendek jika harga terus menunjukkan sinyal stabilisasi di atas USD 105 per ton.
Selain itu, saham-saham kontraktor tambang seperti PT Petrosea Tbk (PTRO) dan PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID) juga layak diperhatikan karena memiliki eksposur terhadap volume produksi mitra tambang besar.
Jika harga batu bara bertahan atau naik, permintaan jasa tambang dan kontrak baru bisa meningkat, memperbaiki outlook laba kuartal IV-2025.
Secara teknikal, kenaikan harga batu bara ini bisa menjadi fase technical rebound setelah penurunan tiga hari sebelumnya. Namun, reli yang lebih berkelanjutan masih memerlukan konfirmasi berupa peningkatan permintaan riil dari China, perbaikan arus perdagangan pasca-liburan, serta penguatan konsumsi energi Eropa.
Selama faktor-faktor tersebut berjalan sesuai ekspektasi, harga batu bara berpotensi bergerak dalam tren naik terbatas menuju kisaran USD108–110 per ton dalam jangka pendek.
Dengan demikian, kebangkitan harga batu bara kali ini lebih bersifat sebagai pemulihan alami dari tekanan sebelumnya, namun diperkuat oleh ekspektasi fundamental yang membaik.
Jika momentum ini berlanjut, sektor pertambangan di Bursa Efek Indonesia berpeluang menjadi salah satu penopang utama IHSG dalam beberapa sesi perdagangan ke depan.(*)