Logo
>

Harga Batu Bara Semakin Tenggelam: Seret Performa AADI, ABMM, ADMR?

Harga batu bara global kembali tertekan akibat lemahnya permintaan Asia dan dinamika regional, menyeret emiten lokal yang bergerak stagnan di tengah fase konsolidasi pasar.

Ditulis oleh Yunila Wati
Harga Batu Bara Semakin Tenggelam: Seret Performa AADI, ABMM, ADMR?
Ilustrasi tambang batu bara Indonesia. (Foto: Dok ESDM)

KABARBURSA.COM – Harga batu bara dunia semakin tergerus, performanya kian tenggelam dan menyeret pergerakan sejumlah saham lokal andalan. Baik batu bara Newcastle maupun Roterdam mengalami tekanan fundamental, baik dari sisi permintaan serta dinamika regional.

Kontrak Newcastle Desember 2025 turun menjadi USD109,4 per ton, sementara kontrak Januari terkoreksi lebih dalam ke USD108,1. Kontrak Februari juga melemah ke USD108,65. Pola serupa muncul pada harga Rotterdam yang bergerak turun pada seluruh tenor. 

Kemunduran harga yang serempak ini menunjukkan bahwa tekanan pasar bukan bersifat temporer, melainkan bagian dari penyesuaian struktur permintaan yang lebih luas.

Faktor utama pelemahan berasal dari Asia, terutama China, yang hingga kini belum menunjukkan permintaan musim dingin yang biasa menjadi pendorong volume pembelian. Stok batu bara di pelabuhan China meningkat, mendorong pelaku pasar lokal melakukan likuidasi posisi, sehingga makin menekan harga. 

Di pasar spot, transaksi terbatas, dengan penawaran cenderung agresif hanya muncul pada kargo batu bara kalori rendah. Minimnya aktivitas pembelian dari utilitas China membuat pasar kehilangan katalis penggerak utama.

Sementara itu, pasar Atlantik menunjukkan wajah yang berbeda. Likuiditas memang terlihat lebih terbuka, namun tekanan penurunan tetap nyata seiring koreksi harga gas. Pasar fisik Afrika Selatan sangat sepi, hanya diwarnai oleh bid tanpa penawaran, mengindikasikan kekhawatiran pasar terkait keterbatasan kargo Januari. 

India, sebagai konsumen besar lain, masih menahan pembelian karena pasokan domestik cukup stabil. Ekspektasi bahwa harga akan lebih lemah membuat impor batu bara termal tertunda, meski beberapa transaksi petcoke sporadis muncul sebagai alternatif bahan bakar industri.

Secara keseluruhan, pasar global berada dalam fase menunggu. Pelaku pasar mengamati perkembangan permintaan musim dingin, dinamika stok China, serta arah harga gas di Eropa. Selama ketiga faktor ini belum memberikan sinyal pemulihan, harga batu bara kemungkinan masih berada dalam tekanan.

Emiten Lokal Masih ‘Jinak’

Di dalam negeri, pergerakan emiten batu bara mencerminkan kondisi pasar global tersebut. Emiten besar seperti Adaro Andalan Indonesia (AADI), Adaro Minerals (ADMR), dan ABM Investama (ABMM) terlihat stagnan, tidak mengalami perubahan harga pada sesi terakhir. 

AADI berada di level Rp7.375 dengan kapitalisasi pasar Rp57,4 triliun, ADMR berada di Rp1.405 dengan kapitalisasi serupa Rp57,4 triliun, sementara ABMM berada di Rp2.860 dengan kapitalisasi Rp7,87 triliun. Stagnasi ini mencerminkan sikap wait-and-see investor terhadap sektor ini.

Walau begitu, likuiditas AADI dan ADMR, yang masing-masing berada di Rp80 miliar dan Rp62 miliar, menunjukkan minat pasar yang masih cukup terjaga di dua emiten tersebut. Namun, tidak adanya kenaikan harga menandakan bahwa pelaku pasar memilih bertahan sambil memantau perkembangan harga komoditas. 

Untuk ABMM, likuiditas yang lebih kecil menandakan volume transaksi yang terbatas, konsisten dengan pola investor yang menghindari aksi agresif pada fase koreksi komoditas.

Jika harga batu bara terus melemah, margin produsen berpotensi tertekan, terutama bagi emiten yang bergantung pada pasar ekspor dengan indeks Newcastle. ADMR yang fokus pada batu bara metalurgi lebih terlindungi, namun pasar tetap mencermati risiko penurunan permintaan global. 

Sedangkan AADI dan ABMM, yang memiliki struktur bisnis lebih terdiversifikasi, cenderung menghadapi tekanan moderat tetapi tidak langsung.

Dengan kondisi seperti ini, pergerakan harga emiten batu bara di BEI diperkirakan tetap jinak hingga muncul katalis kuat dari pasar global. Investor domestik kemungkinan menunggu sinyal pemulihan harga komoditas atau data permintaan energi dari China sebelum mengambil posisi yang lebih agresif. Untuk sementara, arah sektor lebih mengarah ke konsolidasi dengan volatilitas yang terjaga.(*)

Disclaimer:
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79