KABARBURSA.COM - Harga batu bara kembali menguat signifikan dan menembus level psikologis USD100 per ton pada perdagangan Selasa waktu setempat, 29 April 2025 atau Rabu WIB, 30 April 2025. Mengacu pada data Refinitiv, harga batu bara tercatat naik 1,46 persen ke posisi USD100/ton dibandingkan sehari sebelumnya yang berada di level USD99/ton.
Kenaikan ini memperpanjang tren positif yang telah terjadi selama lima hari beruntun sejak 23 April, menjadikan batu bara sebagai salah satu komoditas energi dengan performa paling impresif dalam sepekan terakhir.
Dalam lima hari terakhir, harga batu bara telah mencatatkan apresiasi sebesar 6,7 persen atau hampir 7 persen, setelah sebelumnya sempat terpuruk hingga minus 6,4 persen. Pemulihan harga ini tidak hanya menjadi kabar baik bagi investor dan emiten pertambangan batu bara, tetapi juga menegaskan bahwa energi fosil ini masih memiliki peran vital dalam peta energi global meski transisi menuju energi terbarukan terus digalakkan.
Pendorong utama di balik kebangkitan harga batu bara ini tidak lepas dari dinamika global, khususnya yang melibatkan China. Meskipun negara tersebut telah menyatakan komitmen dalam forum internasional untuk menghentikan dukungan terhadap proyek pembangkit listrik tenaga batu bara di luar negeri sejak 2021, kenyataannya pembangunan proyek baru justru masih berlangsung di sejumlah negara berkembang.
Menurut laporan Global Energy Monitor (GEM), hingga kini perusahaan-perusahaan asal China terlibat dalam 88 persen dari total kapasitas pembangkit batu bara baru di negara-negara anggota baru BRICS.
Sebanyak 7,7 gigawatt (GW) kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara baru kini sedang dibangun, dan mayoritas proyek tersebut berada di Indonesia. Fakta ini menimbulkan pertanyaan tentang sejauh mana komitmen transisi energi dari salah satu ekonomi terbesar dunia.
Meski demikian, China juga aktif dalam mendukung kapasitas pembangkit energi bersih, tercermin dari proyek tenaga angin dan surya yang sedang dikembangkan di beberapa negara BRICS baru. Tercatat, sekitar 947 megawatt (MW) dari proyek tenaga surya dan 601 MW dari tenaga angin sedang dibangun dengan dukungan China.
Anggota baru BRICS—yakni Indonesia, Belarus, Bolivia, Kazakhstan, Kuba, Malaysia, Thailand, Uganda, Uzbekistan, dan Nigeria—menjadi fokus utama dari investasi China, terutama dalam sektor energi. Total kapasitas pembangkit berbasis bahan bakar fosil (minyak, gas, dan batu bara) yang sedang dibangun di negara-negara ini mencapai 25 GW. Di sisi lain, kapasitas pembangkit dari tenaga angin dan surya hanya berjumlah sekitar 2,3 GW, menunjukkan dominasi proyek berbasis hidrokarbon yang masih sangat besar.
Hampir dua pertiga dari seluruh proyek pembangkit yang sedang dikembangkan di blok BRICS baru dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan milik negara asal China. Menurut Global Energy Monitor, ini menjadi sinyal kuat bahwa negara-negara berkembang masih sangat tergantung pada dukungan eksternal dalam membangun infrastruktur energi, dan sering kali arah kebijakan energi mereka dipengaruhi oleh negara-negara mitra, terutama dalam hal pendanaan dan teknologi.
Namun, GEM juga memperingatkan risiko jangka panjang dari strategi ini. Ketergantungan terhadap energi fosil bisa menjadi penghalang utama bagi negara-negara BRICS baru untuk mencapai target dekarbonisasi dan transisi energi yang berkelanjutan. Walaupun China, Brasil, dan India kini tercatat sebagai pemimpin global dalam pengembangan energi terbarukan, situasi ini tidak terjadi di mayoritas anggota BRICS baru yang justru masih mengandalkan batu bara, minyak, dan gas sebagai sumber energi utama.
Meski demikian, secara agregat, blok BRICS tetap mencatatkan pertumbuhan pesat dalam pembangunan energi ramah lingkungan. Total kapasitas pembangkit tenaga angin dan surya yang sedang dibangun dan direncanakan mencapai dua kali lipat dibandingkan kapasitas berbasis hidrokarbon.
Kembalinya harga batu bara ke level USD100 per ton serta dinamika geopolitik dan energi ini akan menjadi faktor penting bagi pasar komoditas energi dan kebijakan energi global. Indonesia sebagai negara eksportir utama batu bara berpotensi kembali mencetak keuntungan ekspor dan menghidupkan kembali saham-saham sektor energi di pasar modal.
Namun dalam jangka panjang, keberlanjutan dan strategi transisi energi tetap menjadi sorotan, terutama bagi negara-negara berkembang yang berada di persimpangan antara kebutuhan energi jangka pendek dan komitmen iklim global.
Nasib Emiten Batu Bara: Berpeluang Rebound Jangka Panjang
Prospek industri batu bara tengah berada di titik tarik menarik antara tekanan global untuk dekarbonisasi dan realitas kebutuhan energi yang masih tinggi. Di tengah transisi energi global yang semakin masif, permintaan batu bara justru diproyeksikan masih tetap terjaga, terutama karena meningkatnya kebutuhan listrik yang didorong oleh tren kecerdasan buatan (AI).
Surya Rianto dari Mikirduit menjelaskan, beberapa negara besar, alih-alih menghentikan penggunaan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan batu bara, justru mempertahankannya demi menjamin stabilitas pasokan listrik nasional.
Jepang, misalnya, menjadi satu-satunya negara maju dalam G7 yang belum menyatakan komitmen penuh untuk menghentikan penggunaan batu bara. Komitmen Jepang baru sebatas mengakhiri konsumsi batu bara secara penuh pada 2035, artinya penggunaan batu bara masih akan berlanjut setidaknya selama satu dekade ke depan.
Tak hanya Jepang, Amerika Serikat di era Presiden Donald Trump juga menunjukkan arah kebijakan yang condong pada pemanfaatan pembangkit listrik batu bara sebagai sumber daya murah untuk mendukung industrialisasi baru, termasuk pengembangan teknologi AI. Dalam konteks ini, batu bara masih dianggap sumber energi paling ekonomis, terutama untuk industri berat dan infrastruktur digital yang menyerap daya besar.
Namun demikian, potensi pertumbuhan permintaan ini tidak diimbangi dengan kesiapan dari sisi pasokan. Risiko keterbatasan supply batu bara menjadi ancaman nyata. Saat ini, aktivitas eksplorasi tambang batu bara terus menurun tajam. Banyak perusahaan besar lebih memilih mengakuisisi tambang yang sudah berada pada tahap produksi dibandingkan menggelar eksplorasi baru. Penyebabnya adalah pembatasan pembiayaan dari sektor perbankan terhadap proyek batu bara, terutama yang masih dalam fase eksploratif dan membutuhkan modal besar dengan risiko tinggi.
Jika tren ini berlanjut, ketidakseimbangan antara supply dan demand akan terjadi, yang pada akhirnya dapat mendorong kenaikan harga batu bara di masa depan. Fenomena serupa pernah terjadi pada periode 2021, ketika industri China pulih lebih cepat dari ekspektasi sementara pasokan batu bara tidak mampu mengejar lonjakan permintaan. Akibatnya, harga batu bara melonjak tajam dan menciptakan krisis energi domestik di negara tersebut.
Untuk saat ini, tren harga batu bara masih berisiko melemah dalam jangka pendek, terutama bila pemulihan ekonomi China—sebagai konsumen sekaligus produsen batu bara terbesar dunia—tidak kunjung menunjukkan sinyal positif. Namun, jika siklus ekonomi global kembali ekspansif, terutama setelah suku bunga turun secara signifikan dan mendorong aktivitas industri, harga batu bara berpotensi bangkit kembali dalam siklus jangka menengah.
Ekspektasi paling cepat untuk pemulihan pasar batu bara global secara signifikan diproyeksikan terjadi pada tahun 2026, dan paling lambat sekitar 2028 hingga 2029. Periode ini berpotensi menjadi titik balik apabila permintaan melonjak namun pasokan tidak memadai karena terbatasnya investasi baru di sektor tambang.
Setelah periode tersebut, nasib emiten batu bara akan sangat ditentukan oleh seberapa kuat realisasi dari komitmen global pengurangan konsumsi batu bara yang secara umum mulai diprediksi akan terasa dampaknya mulai 2030. Jika agenda transisi energi berjalan konsisten, maka peluang batu bara akan semakin menyempit, kecuali bila teknologi penangkapan karbon (carbon capture) berkembang cukup pesat untuk memperpanjang umur batu bara sebagai energi transisi.
Dengan demikian, prospek saham emiten batu bara masih menyisakan ruang spekulatif menarik, terutama bagi investor jangka menengah yang berani bermain dalam siklus komoditas. Namun risiko jangka panjang tetap besar, sehingga strategi akumulasi harus diimbangi dengan kewaspadaan terhadap arah kebijakan energi global dan tren investasi hijau.(*)