KABARBURSA.COM - Harga batu bara global kembali melanjutkan tren pelemahannya. Dalam tiga hari perdagangan terakhir, komoditas ini terkoreksi hingga lebih dari 3 persen.
Pada Rabu waktu setempat, 16 Juli 2025, harga batu bara di pasar global ditutup pada level USD111,5 per ton, turun 0,45 persen dibandingkan hari sebelumnya. Ini merupakan harga penutupan terendah dalam sepekan terakhir, menandai tekanan yang belum sepenuhnya mereda.
Pelemahan harga tak lepas dari lonjakan produksi batu bara di China. Negara tersebut, yang merupakan salah satu produsen dan konsumen terbesar di dunia, melaporkan kenaikan produksi sebesar 5 persen pada semester pertama tahun ini dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Meningkatnya pasokan ini terjadi di saat permintaan belum menunjukkan pemulihan yang konsisten, sehingga menimbulkan tekanan tambahan pada harga.
Sejumlah pelaku pasar sempat berharap cuaca ekstrem yang melanda beberapa wilayah pertambangan di China akan memicu penguatan harga akibat gangguan logistik. Namun, kenyataannya, limpahan pasokan tampaknya cukup untuk menutup celah tersebut.
Pemerintah China bahkan telah meminta pembangkit listrik di dalam negeri untuk meningkatkan cadangan batu bara hingga 215 juta ton per 10 Juni lalu, demi menjaga kestabilan harga di pasar domestik.
Kendati demikian, efektivitas kebijakan tersebut masih diperdebatkan. Sejumlah pedagang dan analis memandang langkah itu belum cukup untuk mengimbangi tekanan dari sisi produksi yang terus bertambah.
Di tengah kondisi cuaca yang mendukung konsumsi, harga batu bara termal di pasar lokal China memang cenderung bertahan. Namun, tekanan di pasar internasional masih terasa.
Dari India, kabar lain menambah beban sentimen negatif. Negeri Bollywood tersebut tercatat mencatatkan kemajuan pesat dalam pengembangan energi surya.
Meski batu bara masih mendominasi sistem kelistrikan India, menyumbang sekitar 73 persen dari kapasitas pembangkitan harian, tenaga surya kini menjadi sumber utama pemenuhan listrik di siang hari.
Ini mulai menggeser peran batu bara, terutama dalam jam-jam dengan beban puncak yang bergeser ke malam hari.
Dalam laporannya, Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) menyebut bahwa lonjakan permintaan listrik malam hari memunculkan kebutuhan baru dalam sistem energi India. Kebutuhan tersebut adalah sistem penyimpanan energi yang andal, pengembangan proyek hibrida energi terbarukan, serta manajemen permintaan dari sisi konsumen.
Analis dari IEEFA Asia Selatan Saloni Sachdeva Michael, menegaskan bahwa pola konsumsi energi India mulai berubah, dan dalam jangka menengah, hal ini bisa menekan permintaan terhadap batu bara secara bertahap.
Secara keseluruhan, pasar batu bara kini berada dalam tekanan ganda: produksi berlimpah di sisi suplai, dan tren transisi energi di sisi permintaan.
Meskipun faktor cuaca ekstrem dan peningkatan konsumsi domestik di China bisa memberi sedikit penopang dalam waktu dekat, tekanan struktural dari transformasi energi di pasar-pasar utama seperti India akan menjadi tantangan jangka panjang yang tak bisa diabaikan.
Bagi pelaku pasar, situasi ini bukan hanya soal harga hari ini, tetapi juga soal menyiapkan strategi untuk menghadapi arah baru dalam lanskap energi global.(*)