KABARBURSA.COM - Harga batu bara kembali merosot pada perdagangan Rabu, 24 September 2025, memperpanjang penurunan selama empat hari berturut-turut di tengah tekanan fundamental pasar global.
Merujuk Refinitiv, kontrak Oktober ditutup turun 0,72 persen di posisi USD104,65 per ton, sehingga total koreksi dalam empat sesi mencapai 3,02 persen.
Meski ada kabar positif dari Amerika Serikat soal rencana pemerintah Donald Trump menahan laju penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara, sentimen itu belum mampu menahan tren pelemahan harga.
Pernyataan Menteri Energi AS Chris Wright bahwa Gedung Putih tengah menyiapkan mekanisme berbasis pasar untuk mempertahankan pembangkit batu bara sempat memberi secercah optimisme. Wright menekankan kebutuhan energi yang melonjak akibat ledakan pusat data berbasis kecerdasan buatan (AI) berpotensi memberi ruang baru bagi peran batu bara.
Namun realitas di lapangan menunjukkan keterbatasan. Batu bara kini hanya menyumbang sekitar 15 persen pembangkitan listrik AS, jauh menurun dari lebih dari 50 persen pada awal 2000-an. Sementara, penutupan 120 PLTU batu bara tambahan sudah dijadwalkan dalam lima tahun ke depan.
Pasar global menilai inisiatif Trump, meskipun berpotensi menahan penutupan sebagian fasilitas, tidak akan membalik tren struktural penurunan permintaan batu bara termal. Selain persoalan regulasi lingkungan yang kian ketat, isu kesehatan publik seperti polusi udara, penyakit pernapasan, hingga kematian dini akibat pembakaran batu bara, menjadi faktor yang semakin memperlemah dukungan terhadap komoditas ini.
Kondisi ini membuat emiten-emiten batu bara dunia, baik penambang maupun utilitas berbasis batu bara, berada dalam tekanan. Harga saham sektor energi fosil diperkirakan tertekan, terutama perusahaan yang bergantung pada ekspor termal sebagai sumber utama pendapatan.
Batu Bara Metalurgi Lebih Menjanjikan
Namun, berbeda dengan batu bara termal, outlook batu bara metalurgi atau kokas relatif lebih menjanjikan. Australia masih mendominasi pasar ekspor global dengan pangsa 52 persen, tiga kali lipat dari AS yang menjadi eksportir terbesar kedua.
Meski harga kokas sempat melemah sepanjang 2025 akibat perlambatan produksi baja global, proyeksi jangka menengah tetap positif.
India diperkirakan akan melipatgandakan produksi baja menjadi lebih dari 300 juta ton dalam satu dekade mendatang, dan sebagian besar pabrik yang dibangun menggunakan teknologi Basic Oxygen Furnace (BOF) yang membutuhkan batu bara metalurgi.
Permintaan dari negara-negara berkembang Asia, termasuk Vietnam, akan memperkuat pasar kokas. Sementara dari sisi suplai, terbatasnya proyek tambang baru menandakan ketatnya ketersediaan.
Menurut data Pembroke Resources, hanya ada tiga tambang baru yang dipastikan beroperasi sebelum 2030. Hal ini berpotensi menciptakan ketidakseimbangan antara permintaan dan pasokan dalam jangka panjang, yang pada gilirannya bisa menopang harga kokas.
Secara keseluruhan, performa batu bara hari ini mencerminkan dualitas pasar. Batu bara termal terus menghadapi tekanan dari tren dekarbonisasi dan lemahnya permintaan global, membuat emiten berbasis termal sulit keluar dari bayang-bayang pelemahan harga.
Sebaliknya, batu bara metalurgi masih menawarkan prospek cerah seiring lonjakan permintaan baja di Asia dan terbatasnya pasokan baru. Perbedaan fundamental ini akan menjadi penentu arah investasi di sektor batu bara global dalam beberapa tahun ke depan.(*)