Logo
>

Harga Batu Baru Suram Lagi, IEA Berikan Prediksi ini

Harga batu bara tertekan akibat turunnya produksi dan lonjakan stok India, sementara IEA memproyeksikan puncak permintaan baru terjadi pada 2030 di tengah transisi energi global.

Ditulis oleh Yunila Wati
Harga Batu Baru Suram Lagi, IEA Berikan Prediksi ini
Petugas memantau operasional alat berat di area tambang batu bara milik PT Bukit Asam Tbk (PTBA). Perusahaan pelat merah ini menjadi salah satu kontributor utama dalam produksi batu bara nasional yang terus meningkat. (Foto: ptba.co.id)

KABARBURSA.COM – Harga batu bara global lagi-lagi mengalami tekanan. Pada perdagangan Rabu, 19 November 2025, pergerakan harganya terpecah antara kontrak Newcastle dan Rotterdam. Ada dinamika pasar yang dipengaruhi oleh sentimen fundamental dari India, yang merupakan salah satu konsumen batu bara terbesar dunia. 

Kontrak batu bara Newcastle, yang menjadi acuan utama pasar Asia, turun seragam pada berbagai tenor. Kontrak November 2025 melemah ke USD111 per ton, sementara kontrak Desember dan Januari mengalami koreksi lebih dalam, masing-masing turun ke USD113,4 dan USD113,95 per ton. 

Sebaliknya, harga batu bara Rotterdam sedikit menguat. Kondisi ini mencerminkan dinamika permintaan yang lebih stabil di Eropa.

Sumber pelemahan batu bara Newcastle berasal dari kondisi industri batu bara non-coking India yang semakin menurun. Data BigMint menunjukkan, produksi Oktober merosot 8,5 persen secara tahunan, turun ke 77,43 juta ton. 

Secara akumulatif, produksi April–Oktober 2025 masih lebih rendah 2 persen dibanding tahun lalu. Hal ini bukan disebabkan kendala operasional, melainkan langkah defensif untuk menyesuaikan diri dengan permintaan listrik yang jauh di bawah proyeksi.

Diketahui, konsumsi listrik puncak India hanya mencapai 240–245 gigawatt, jauh dari estimasi pemerintah sebesar 277 gigawatt. Hal ini berdampak langsung pada sektor energi, di mana produksi listrik nasional anjlok 11 persen pada Oktober. Penggunaan batu bara untuk pembangkit pun turun 14 persen. 

Keadaan ini menjadi tekanan tambahan, terutama ketika stok batu bara meningkat drastis. Persediaan di pembangkit listrik melonjak 42 persen menjadi 52,05 juta ton, setara kebutuhan 17 hari. Stok di pelabuhan utama juga naik, lantaran distribusi terhambat oleh minimnya permintaan industri.

Catatan produksi menurun, konsumsi melemah, dan stok berlebih ini menunjukkan bahwa pemulihan energi pasca-musim monsoon, berlangsung sangat lambat. Industri di India yang biasanya menjadi penyokong utama konsumsi listrik masih bergerak di bawah kapasitas. Akibatnya, pasar domestik tidak mampu menyerap pasokan batu bara seperti biasanya.

Lonjakan Permintaan Baru Akan Terjadi pada 2030

Sementara itu, International Energy Agency (IEA) memberi gambaran lebih besar mengenai perubahan struktural pasar batu bara global. IEA memperkirakan permintaan puncak batu bara akan terjadi pada 2030. Penentu utama arah pasar adalah China, India, Indonesia, serta negara-negara Asia Tenggara, yang saat ini menyumbang setengah dari konsumsi batu bara dunia untuk pembangkitan listrik.

Menurut laporan terbaru IEA, penguatan kapasitas energi baru terbarukan (EBT) di negara-negara berkembang, yang lebih dari 600 gigawatt per tahun hingga 2035, menjadi faktor kunci penurunan permintaan batu bara secara konsisten. 

Namun, skenario dapat berubah apabila transisi ke EBT dan gas tidak berjalan sesuai rencana, atau stagnan karena adanya kendala teknis dan ekonomi. 

Di sisi lain, fokus pemerintah pada keamanan energi menuntut keseimbangan antara adopsi energi bersih dan stabilitas harga serta akses energi bagi masyarakat.

IEA juga mencatat dinamika berbeda di sektor minyak dan gas. Permintaan minyak diprediksi tetap naik hingga 2050, yang didorong oleh kebijakan energi Amerika Serikat dan harga gas yang tetap kompetitif. 

Pasokan minyak global dalam jangka pendek dinilai masih aman karena adanya kontribusi besar dari Amerika Serikat, Kanada, Guyana, Brasil, dan Argentina. Namun, penurunan produksi dari ladang minyak lama diperkirakan cepat menyerap surplus pasar. 

Proyeksi IEA menyebut perlunya tambahan pasokan baru sebesar 25 juta barel per hari hingga 2035. Tambahan pasokan itu hanya dapat tercapai jika harga minyak kembali meningkat untuk mendorong investasi hulu.

Sementara, permintaan gas juga diperkirakan menguat, meski pasar masih mencemaskan kemampuan menyerap produksi LNG baru yang terus bertambah. Ketidakpastian ini menegaskan bahwa transisi energi global masih jauh dari stabil, dan batu bara tetap berada dalam posisi strategis meski tekanan jangka panjang semakin besar.

Dengan kondisi produksi India yang memburuk, stok yang membengkak, serta perubahan kebijakan energi global yang semakin progresif, pasar batu bara saat ini terkonfirmasi berada dalam fase rentan. 

Harga mungkin masih menemukan dukungan dari sentimen global dan pergerakan harga energi lain, namun tekanan dari sisi fundamental, khususnya permintaan Asia, membuat arah harga dalam waktu dekat cenderung bergerak hati-hati.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79