KABARBURSA.COM - Pemerintah melalui Perum Bulog mulai menyalurkan Cadangan Beras Pemerintah (CBP) ke masyarakat, namun penyaluran yang mestinya menjadi solusi justru tersendat.
Sekadar informasi, distribusi CBP dilakukan melalui dua skema, yakni bantuan pangan langsung kepada 18,3 juta keluarga dan penyaluran beras stabilitas pasokan dan harga pangan (SPHP).
Namun, pelaksanaannya baru dimulai pertengahan Juli 2025 akibat kendala anggaran, padahal semestinya dijalankan sejak Juni. Total target distribusi SPHP tahun ini mencapai 1,5 juta ton, lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Pengamat pertanian Ahmad Khudori menilai, keterlambatan penyaluran di tengah kenaikan harga beras dan ancaman inflasi sebagai persoalan serius yang dapat berdampak luas terhadap daya beli dan stabilitas ekonomi rumah tangga.
Menurutnya, CBP yang disimpan terlalu lama tidak banyak membawa manfaat bagi publik. “Perut rakyat perlu harga beras terjangkau, bukan rekor,” ujar Khudori dalam keterangannya, Minggu, 27 Juli 2025.
Sekadar informasi, harga beras medium dan premium telah melampaui harga eceran tertinggi (HET) selama berbulan-bulan di seluruh zona distribusi. Bahkan, sejak Mei 2025, beras premium juga tak lagi terkendali.
Khudori menyayangkan beluma danya sinyal intervensi dari pemerintah. Padahal, menurutnya, seharusnya intervensi sudah harus dilakukan sejak lama. “Jika HET adalah alarm bagi pemerintah untuk intervensi, sejatinya alarm sudah lama menyala,” tuturnya.
Kenaikan Harga Beras Tingkatkan Kemiskinan
Beras merupakan komoditas dengan partisipasi konsumsi hampir sempurna di Indonesia, yakni mencapai 98,35%. Selain itu, proporsinya dalam pengeluaran rumah tangga miskin relatif besar. Ketika harga beras naik, bukan hanya konsumsi yang terganggu, tapi juga struktur pengeluaran masyarakat dan angka kemiskinan secara nasional.
“Kenaikan 10 persen harga beras membuat kemiskinan naik 1,3 persen,” kata Khudori.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang semester I-2025, beras menjadi penyumbang inflasi selama lima dari enam bulan. Bahkan, pada pekan ketiga Juli, harga beras naik di 205 kabupaten/kota.
Ironisnya, tahun ini distribusi SPHP justru dibarengi dengan pengetatan aturan. Beras hanya bisa disalurkan dalam kemasan 5 kg di sebagian besar wilayah, dan mitra penyalur diwajibkan menggunakan aplikasi digital "Klik SPHP" untuk pemesanan. Bahkan, setiap penjualan harus didokumentasikan menggunakan KTP pembeli.
Khudori menilai pendekatan ini terlalu birokratis dan berdampak pada ketersediaan beras di pasar. “Akibat persyaratan ini, sejumlah calon pengecer mundur teratur,” katanya.
Pengetatan juga berlaku dalam bentuk ancaman sanksi pidana hingga miliaran rupiah jika pengecer melanggar ketentuan, termasuk menjual di atas HET.
Praktik seperti ini, meski bertujuan untuk menjaga integritas distribusi, justru menciptakan efek ketakutan yang berujung pada minimnya penyaluran.
Dari 12 hingga 26 Juli, SPHP baru tersalur 2.591 ton. Jumlah yang amat kecil dibanding target dan kebutuhan pasar. Sementara itu, di lapangan, pedagang dan penggilingan mengaku kesulitan mendapatkan stok. Dengan harga gabah yang menyentuh Rp8.000/kg, mereka tak sanggup menjual beras sesuai HET tanpa mengalami kerugian.
“Kalau menjual di atas HET akan digaruk Satgas Pangan,” ujar Khudori
Ketergantungan terhadap aliran stok BULOG semakin tinggi, apalagi swasta mengurangi suplai ke pasar. Namun dengan skema distribusi yang ketat dan lambat, alih-alih menyelesaikan masalah, distribusi SPHP justru belum mampu mengimbangi kekosongan pasokan.
Lebih jauh, Khudori mengingatkan bahwa semakin lama stok CBP disimpan, risiko turun mutu dan membengkaknya biaya pengelolaan akan semakin besar. Dari 4,19 juta ton stok di BULOG, sebanyak 1,81 juta ton (43,5 persen) telah berumur lebih dari empat bulan, melewati batas ideal penyimpanan.
Dalam situasi seperti ini, ia mendesak agar pemerintah fokus pada penyaluran, bukan penyerapan. “Jangan sampai muncul pemeo: kalau (penyaluran) bisa dipersulit, mengapa dipermudah,” ujarnya.(*)