Logo
>

Harga Minyak Anjlok, Tergelincir Kelebihan Pasokan dan Kurangnya Permintaan

Harga minyak dunia turun lagi di bawah USD64 per barel, tertekan kelebihan pasokan OPEC+ dan lemahnya permintaan AS. Pasar kini terjebak antara surplus suplai dan risiko geopolitik.

Ditulis oleh Yunila Wati
Harga Minyak Anjlok, Tergelincir Kelebihan Pasokan dan Kurangnya Permintaan
Ilustrasi kilang minyak lepas pantai. Foto: Pexels/Umar Affan

KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia kembali tergelincir pada Kamis waktu New York. Tergelincirnya harga minyak global ini disebabkan oleh kekhawatiran pasar atas potensi kelebihan pasokan global dan lemahnya permintaan dari Amerika Serikat sebagai konsumen minyak terbesar di dunia. 

Diketahui, Brent turun 0,22 persen menjadi USD63,38 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) melemah 0,29 persen ke USD59,43 per barel. Penurunan ini juga menandai tren bearish yang telah berlangsung tiga bulan berturut-turut sejak Agustus. Sekaligus memperkuat sinyal bahwa fundamental pasar minyak sedang kehilangan penopangnya.

Sumber tekanan utama datang dari sisi suplai. OPEC dan sekutunya dalam aliansi OPEC+ terus meningkatkan produksi di tengah membanjirnya output dari produsen non-OPEC seperti Amerika Serikat, Brasil, dan Guyana. 

Menurut John Kilduff dari Again Capital, kali ini pasokan emas menjadi yang paling banyak dan menjadi momok bagi pergerakan harga. Rencana produksi OPEC+ yang begitu transparan membuat pasar kehilangan unsur kejutan, sehingga investor lebih memilih bersikap hati-hati.

Permintaan Minyak Menyusut, Hanya 8.500 Barel per Hari

Namun, bukan hanya pasokan yang menjadi persoalan. Dari sisi permintaan, pasar minyak juga dihadapkan pada kenyataan bahwa konsumsi global tak sekuat proyeksi sebelumnya. Data JPMorgan menunjukkan bahwa hingga awal November, permintaan minyak dunia hanya naik 850.000 barel per hari, lebih rendah dari perkiraan awal 900.000 barel. 

Indikator aktivitas ekonomi berfrekuensi tinggi seperti perjalanan udara dan volume pengiriman kontainer di AS pun menunjukkan pelemahan. Dengan kata lain, faktor permintaan yang biasanya menjadi penyerap surplus kini justru ikut mengendur, memperparah keseimbangan yang sudah rapuh.

Laporan terbaru dari Energy Information Administration (EIA) AS memperkuat gambaran suram itu. Persediaan minyak mentah Amerika naik 5,2 juta barel menjadi 421,2 juta barel dalam sepekan terakhir, seiring rendahnya tingkat pengolahan di kilang. 

Musim pemeliharaan (refinery turnaround) yang panjang ini menekan aktivitas kilang dan menandakan lemahnya kebutuhan industri terhadap pasokan minyak mentah. 

“Tidak ada permintaan kuat untuk crude di AS saat ini,” ujar Kilduff, menegaskan lemahnya dorongan konsumsi domestik.

Arab Saudi Pangkas Harga Jual Resmi untuk Asia

Dari sisi strategi produsen besar, Arab Saudi terlihat mengambil langkah defensif. Negeri itu memangkas harga jual resmi (OSP) minyaknya untuk pasar Asia pada Desember. Tindakan ini menjadi sebuah sinyal bahwa pasar regional kini dibanjiri pasokan dan daya tawar pembeli menguat. 

Langkah ini secara tidak langsung mempertegas realitas kompetisi harga antar-produsen, yang berpotensi menahan setiap upaya kenaikan harga dalam jangka pendek.

Lembaga riset Capital Economics bahkan memperkirakan tekanan harga ini akan berlanjut. Mereka menargetkan harga minyak hanya USD60 per barel pada akhir 2025, bahkan bisa merosot ke USD50 per barel pada 2026. 

Pandangan ini merefleksikan perubahan paradigma, dari pasar yang dulu sensitif terhadap gangguan suplai, kini lebih tertekan oleh kelebihan produksi dan permintaan yang tak bertumbuh sesuai harapan.

Meski demikian, potensi gangguan tetap ada. Sanksi baru terhadap perusahaan minyak besar Rusia seperti Lukoil menimbulkan kekhawatiran akan terganggunya pasokan global. Namun, pengaruhnya sejauh ini masih terbatas.

Jorge Montepeque dari Onyx Capital Group menilai dampaknya belum sebesar yang seharusnya secara teoritis. 

“Pasar masih butuh bukti nyata bahwa sanksi itu akan benar-benar mempengaruhi pasokan,” ujarnya.

Kombinasi faktor-faktor ini menciptakan situasi yang paradoks, seperti suplai melimpah, permintaan lesu, tetapi risiko geopolitik tetap menghantui. Akibatnya, harga minyak kini berada di persimpangan, terlalu rendah untuk membangkitkan optimisme produsen, namun belum cukup terpuruk untuk memicu intervensi besar. 

Selama pasar belum melihat perubahan signifikan pada konsumsi energi global atau kebijakan OPEC+, harga minyak kemungkinan akan terus bergerak dalam kisaran USD55–65 per barel. Ini merupakan refleksi dari pasar yang kelebihan pasokan tetapi kekurangan keyakinan.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79