Logo
>

Harga Minyak Bergerak Naik Tipis di Tengah Ketegangan Iran-Israel

Minyak mentah Brent ditutup naik 25 sen ke level USD76,70 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) AS naik 30 sen ke USD75,14.

Ditulis oleh Yunila Wati
Harga Minyak Bergerak Naik Tipis di Tengah Ketegangan Iran-Israel
Ilustrasi: Pemandangan udara industri minyak dan gas. (Foto: Adobe Stock)

KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia ditutup menguat tipis pada Rabu waktu setempat atau Kamis WIB, 19 Juni 2025. Dalam perdagangan yang bergerak liar, kenaikan harga minyak diwarnai kekhawatiran pasar atas kemungkinan terganggunya pasokan akibat memanasnya konflik Iran-Israel, serta potensi keterlibatan langsung Amerika Serikat dalam eskalasi tersebut.

Minyak mentah Brent ditutup naik 25 sen ke level USD76,70 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) AS naik 30 sen ke USD75,14. 

Padahal, sepanjang sesi perdagangan, harga sempat tertekan hingga turun sekitar 2 persen, sebelum akhirnya berbalik arah. Sehari sebelumnya, harga sempat melonjak lebih dari 4 persen. Kondisi ini mencerminkan betapa sensitifnya pasar terhadap dinamika geopolitik saat ini.

Pemicunya? Pernyataan Presiden AS Donald Trump yang menyulut spekulasi besar di pasar. Saat berbicara di depan Gedung Putih, Trump enggan memberikan jawaban pasti ketika ditanya apakah AS akan ikut bergabung dalam serangan Israel terhadap Iran. 

“Saya mungkin lakukan, mungkin tidak. Tidak ada yang tahu apa yang akan saya lakukan,” ujar Trump. 

Ia juga mengungkapkan bahwa pejabat Iran sempat menghubungi untuk membuka jalur negosiasi, termasuk peluang pertemuan di Gedung Putih. Namun, Trump menilai pendekatan itu datang “terlalu terlambat”.

Pernyataan Trump yang ambigu langsung mengundang spekulasi luas. Seorang sumber yang mengetahui isi diskusi internal Gedung Putih menyebutkan bahwa tim Trump tengah mempertimbangkan kemungkinan untuk ikut dalam serangan terhadap fasilitas nuklir Iran. Jika skenario ini terjadi, pasar minyak dipastikan akan memasuki fase gejolak baru.

Harga Minyak Bergantung pada Dinamika Geopolitik

Analis energi dari Ritterbusch and Associates bahkan memproyeksikan dua kemungkinan ekstrem: jika konflik meluas, Brent bisa melonjak hingga USD83 per barel. Sebaliknya, jika tensi mereda, harga bisa anjlok ke kisaran USD68. Dengan kata lain, arah harga saat ini sepenuhnya bergantung pada dinamika geopolitik.

Yang paling dikhawatirkan pasar adalah potensi gangguan di Selat Hormuz, jalur sempit di Teluk Persia yang dilalui sekitar sepertiga dari perdagangan minyak laut dunia. 

Analis dari ING menyebut, bila terjadi penutupan atau gangguan signifikan di selat tersebut, harga minyak bisa melonjak ke level USD120 per barel. Iran, sebagai produsen minyak terbesar ketiga di OPEC, memompa sekitar 3,3 juta barel per hari. Angka ini cukup untuk menjadikan setiap perkembangan di kawasan tersebut krusial bagi pasokan global.

Iran pun tak tinggal diam. Dalam pernyataan yang disampaikan melalui perwakilannya di PBB di Jenewa, Teheran mengingatkan bahwa mereka siap memberikan respons “keras dan tegas” bila AS memutuskan terlibat langsung dalam konflik bersenjata di wilayahnya.

Pasar Juga Cermati Langkah The Fed

Sementara itu dari sisi makroekonomi, pasar juga mencermati langkah Federal Reserve yang pada hari yang sama memutuskan untuk menahan suku bunga acuan. Meski The Fed masih memproyeksikan pemangkasan suku bunga sebesar 50 basis poin hingga akhir tahun ini, proyeksi jangka menengah justru diperlambat. 

Bank sentral AS hanya memperkirakan satu kali pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin masing-masing pada tahun 2026 dan 2027.

Langkah tersebut mencerminkan kehati-hatian The Fed dalam menghadapi inflasi yang diprediksi akan tetap tinggi, sebagian besar dipicu oleh kebijakan tarif dari pemerintahan Trump sendiri. 

Meski suku bunga tetap tinggi dapat menahan pertumbuhan ekonomi dan permintaan energi, ekspektasi pelonggaran kebijakan tetap menjadi kabar positif bagi pasar minyak dalam jangka menengah.

Di sisi lain, laporan mingguan dari Energy Information Administration (EIA) memberi sentimen tambahan. Data menunjukkan penurunan stok minyak mentah AS sebesar 11,5 juta barel menjadi 420,9 juta barel. Penurunan tersebut jauh lebih besar dari ekspektasi analis yang hanya memperkirakan terjadi sebanyak 1,8 juta barel. 

Penurunan stok ini mengindikasikan peningkatan permintaan atau pengurangan pasokan domestik, keduanya menjadi penopang harga di tengah ketidakpastian global.

Pasar minyak dunia kini bergerak di antara dua kutub: ancaman konflik bersenjata yang bisa memicu lonjakan harga, dan harapan atas stabilitas makroekonomi yang perlahan kembali ke jalurnya. 

Satu hal yang pasti, para pelaku pasar sedang mengawasi setiap pernyataan dari Gedung Putih dan setiap manuver dari Teheran. Karena di tengah dinamika global seperti saat ini, harga minyak bisa berubah drastis hanya dengan satu kalimat.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79