KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah global merosot lebih dari dua persen pada perdagangan Kamis, 15 Mei 2025 waktu setempat setelah muncul kabar bahwa Amerika Serikat dan Iran semakin dekat ke arah kesepakatan nuklir.
Kabar ini langsung menguatkan dugaan pasar bahwa sanksi terhadap Teheran bisa segera dilonggarkan, yang artinya pasokan minyak dari Iran berpeluang kembali membanjiri pasar dunia.
Presiden AS Donald Trump, yang tengah menjalani tur diplomatik di Timur Tengah, mengungkap bahwa kesepakatan dengan Iran "hampir tercapai". Ia bahkan menyebut Teheran sudah “semacam” menyetujui sejumlah syarat utama.
Sementara itu, Ali Shamkhani, penasihat senior Pemimpin Tertinggi Iran, menegaskan dalam wawancara dengan NBC bahwa negaranya tidak akan memproduksi senjata nuklir dan siap membuang cadangan uranium yang diperkaya tinggi.
Langkah menuju deeskalasi ini langsung memukul harga minyak. Brent, acuan global, ditutup melemah tajam, seiring dengan kekhawatiran bahwa pasar akan kelebihan pasokan di tengah pemulihan permintaan yang belum solid.
Menurut Paul Hollingsworth, ekonom di BNP Paribas, penurunan ini justru mempertegas tekanan deflasi di sejumlah kawasan, termasuk Eropa, yang masih diliputi ketidakpastian akibat kebijakan tarif dari Washington.
Pasar Masih Mencari Arah
Pergerakan harga minyak mentah WTI di pasar belakangan ini menunjukkan sinyal yang beragam. Data teknikal per Kamis malam, 15 Mei 2025, memperlihatkan pasar belum benar-benar menentukan arah.
Secara keseluruhan, kondisi masih netral. Bahkan, beberapa indikator menunjukkan potensi penguatan, tapi tekanan jual dari tren jangka menengah hingga panjang masih cukup terasa.
Dari indikator teknikal, mayoritas memberi sinyal beli. Indikator seperti Stochastic, Stochastic RSI, Williams %R, hingga Ultimate Oscillator mengindikasikan bahwa harga punya peluang untuk naik dalam jangka pendek. CCI dan Bull/Bear Power juga mendukung pandangan ini.
Namun demikian, RSI berada di level 49, posisi yang menggambarkan pasar masih ragu, belum jenuh beli maupun jenuh jual. Sementara indikator MACD dan ROC justru menunjukkan kecenderungan turun, memberi sinyal bahwa masih ada tekanan yang membayangi dari sisi tren.
ADX yang berada di bawah angka 20 menandakan bahwa kekuatan tren saat ini cenderung lemah. Artinya, belum ada dorongan kuat yang mengarahkan harga secara konsisten, apakah naik atau turun. Volatilitas juga tergolong rendah, tercermin dari nilai ATR yang cukup kecil, memperkuat gambaran bahwa pasar sedang bergerak dalam kisaran sempit.
Sementara itu, jika melihat dari sisi rata-rata pergerakan harga (moving average), tekanan jual lebih dominan. Dari 12 indikator MA, delapan di antaranya memberi sinyal jual, terutama pada periode yang lebih panjang seperti MA50, MA100, dan MA200.
Ini menunjukkan bahwa tren jangka menengah hingga panjang masih dalam fase koreksi. Sebaliknya, MA jangka pendek seperti MA10 dan MA20 masih berada di zona beli, menandakan adanya potensi teknikal rebound dalam waktu dekat.
Level pivot point harian berada di sekitar 63,19. Ini menjadi titik kunci yang bisa menjadi penentu arah pergerakan selanjutnya. Jika harga mampu menembus level resistance di 63,63 atau bahkan 64,12, maka ada ruang untuk kenaikan lebih lanjut.
Namun, jika harga tergelincir di bawah support 62,70 atau lebih rendah, peluang koreksi ke area 62,26 terbuka lebar.
Kesimpulannya, pasar saat ini sedang berada di fase wait and see. Secara teknikal, memang ada peluang untuk bergerak naik dalam jangka pendek. Tapi tren besar belum mendukung sepenuhnya.
Pelaku pasar perlu ekstra hati-hati dan menanti konfirmasi arah yang lebih jelas, terutama dalam beberapa sesi perdagangan mendatang. Dalam situasi seperti ini, kehati-hatian dan disiplin menjadi kunci utama.
The Fed dan Risiko Fiskal Mulai Mendominasi Narasi
Ketua The Fed Jerome Powell dalam pidatonya di konferensi ekonomi menyampaikan bahwa bank sentral kini perlu mengevaluasi ulang pendekatannya terhadap inflasi dan ketenagakerjaan. Powell juga mengingatkan bahwa dunia bisa memasuki era baru yang ditandai oleh guncangan pasokan yang lebih sering dan berkepanjangan.
Pasar obligasi langsung merespons. Imbal hasil (yield) obligasi AS bertenor 10 tahun turun hampir 10 basis poin ke 4,437 persen, mencerminkan kekhawatiran terhadap lonjakan utang federal jika paket anggaran besar-besaran yang diusulkan pemerintahan Trump benar-benar dijalankan. Sinyal serupa muncul di Eropa, dengan yield obligasi Jerman ikut melemah ke 2,614 persen.
“Pasar baru saja berpesta besar, dan sekarang sedang pusing menunggu pesta berikutnya,” ujar Tony Sycamore, analis pasar dari IG, menggambarkan situasi dengan jujur namun lugas.
Secara keseluruhan, perdagangan Kamis menjadi cerminan dari kondisi global yang kompleks. Dari ketegangan geopolitik, potensi kesepakatan nuklir, data ekonomi yang bercampur, hingga kekhawatiran fiskal—semuanya membuat investor memilih langkah hati-hati. Tidak ada kepastian dalam waktu dekat, namun jelas bahwa pasar akan terus bergerak mengikuti irama perkembangan besar berikutnya.(*)