KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah dunia kembali merangkak naik, didorong sanksi baru dari Amerika Serikat yang secara langsung membidik pendapatan minyak Iran—salah satu tulang punggung ekonomi negeri para mullah.
Pada akhir perdagangan, minyak Brent melonjak 99 sen atau 1,45 persen, ditutup di level USD69,14 per barel. Sementara minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) mencatat kenaikan lebih tajam, yakni USD1,58 atau 2,47 persen, menjadi USD65,59 per barel. Sebelumnya, pasar WTI libur memperingati Labor Day di AS.
Peningkatan harga ini terjadi setelah Departemen Keuangan AS resmi menjatuhkan sanksi kepada jaringan pelayaran internasional yang dikomandoi oleh seorang pengusaha asal Irak yang juga memegang kewarganegaraan Saint Kitts dan Nevis. Jaringan tersebut dituduh mengangkut minyak Iran secara ilegal dengan menyamarkannya sebagai ekspor dari Irak.
Langkah ini menandai kelanjutan tekanan strategis dari pemerintahan Donald Trump, yang kembali memainkan kartu sanksi ekonomi di tengah kebuntuan pembicaraan nuklir pasca-konflik bersenjata selama 12 hari pada Juni lalu.
“Dorongan hari ini datang dari aksi AS yang menekan ekspor minyak Iran,” ungkap Phil Flynn, analis senior Price Futures Group. Seperti dilansir reuters.
OPEC+ Jadi Pusat Perhatian
Pasar kini mengalihkan pandangan ke pertemuan OPEC dan mitra-mitranya (OPEC+) yang dijadwalkan berlangsung pada Minggu 7 September 2025. Banyak yang meyakini bahwa aliansi produsen ini akan mempertahankan kebijakan pemangkasan produksi sukarela—terutama dari dua raksasa minyak dunia, Arab Saudi dan Rusia.
“Kelompok ini kemungkinan menunggu data permintaan terbaru setelah berakhirnya musim liburan berkendara di AS,” kata analis energi independen, Gaurav Sharma. Ia menambahkan bahwa kekhawatiran akan surplus pasokan di kuartal IV masih menjadi pertimbangan utama.
Di luar itu, gejolak pasokan menambah aroma ketidakpastian. Saudi Aramco dan perusahaan migas Irak, SOMO, disebut menghentikan pengiriman ke Nayara Energy—sebuah kilang India yang didukung oleh modal Rusia—setelah sanksi baru Uni Eropa dijatuhkan pada Juli lalu.
John Kilduff dari Again Capital mengungkapkan kekhawatiran pasar akan ketersediaan pasokan dari sumber yang tidak terkena sanksi. “Pasar abu-abu kian menyempit. Bila sanksi diperketat, alternatif pembelian makin terbatas,” ujarnya.
Geopolitik Memanas, Pasar Bergejolak
Sorotan investor juga tertuju pada Konferensi Tingkat Tinggi Organisasi Kerja Sama Shanghai (SCO) 2025 di China yang berlangsung pada akhir Agustus hingga awal September. Pertemuan strategis ini mempertemukan Presiden Xi Jinping, Vladimir Putin, dan PM Narendra Modi dalam upaya membentuk arsitektur ekonomi-politik yang lebih mengakomodasi kepentingan negara-negara Selatan Global.
Menurut Kilduff, KTT ini berpotensi mendorong Washington mengambil langkah balasan berupa sanksi sekunder, terutama terhadap India. Ini dapat menambah tekanan pada pasokan dan menopang harga lebih lanjut.
Ironisnya, India tengah menjajaki perjanjian dagang bilateral dengan AS, meski hubungan kedua negara sempat memanas akibat keputusan Washington menggandakan tarif impor atas produk India, sebagai respons atas sikap New Delhi yang tetap membeli minyak Rusia.
Stok Menurun, Serangan Drone, dan Produksi Kazakhstan
Pasar juga menantikan data terbaru dari Amerika Serikat, dengan ekspektasi akan adanya penurunan signifikan dalam stok minyak mentah.
“Prediksi penarikan stok menambah sentimen positif terhadap harga,” terang Giovanni Staunovo, analis komoditas dari UBS.
Di sisi lain, konflik bersenjata antara Ukraina dan Rusia kembali berdampak pada pasar energi. Serangan drone Ukraina dilaporkan menonaktifkan fasilitas penyulingan di Rusia, yang menyumbang sekitar 17 persen dari total kapasitas penyulingan negara tersebut—setara 1,1 juta barel per hari.
Sementara dari Asia Tengah, produksi minyak Kazakhstan (tidak termasuk kondensat gas) mengalami peningkatan tipis. Pada Agustus, produksi harian naik menjadi 1,88 juta barel per hari, dibandingkan 1,84 juta pada Juli. Kenaikan 2 persen secara bulanan ini menjadi tambahan catatan dalam lanskap suplai global.
Dengan sanksi yang diperketat, risiko geopolitik yang membara, dan OPEC+ yang belum memberi sinyal longgar, harga minyak dunia bergerak dalam arus deras ketidakpastian—namun justru di sanalah peluang pasar terus mengemuka.(*)