KABARBURSA,COM – Harga minyak dunia terkoreksi, merosot lebih dari 1 persen. Pelemahan ini terjadi lantaran bobot risiko geopolitik sedang turun. Termasuk, prospek perdamaian antara Rusia-Ukraina yang mulai memasuki babak baru.
Pada perdagangan Jumat, 12 Desember 2025, Brent melemah ke level USD61,28 per barel. Sementara, untuk WTI berada di level USD57,60 per barel.
Kabar penyitaan kapal tanker minyak oleh Amerika Serikat di perairan Venezuela ternyata tidak memberikan dampak langsung pada suplai global dalam jangka pendek. Hal ini ditegaskan oleh analis LSEG, yang menyatakan bahwa belum ada gangguan nyata pada arus minyak Venezuela.
Insiden tersebut dianggap bukan katalis yang langsung mempengaruhi keseimbangan pasokan.
Perhatian pasar kemudian bergeser pada potensi diplomasi Rusia-Ukraina. Analis Price Futures Group Phil Flynn menjelaskan, pergerakan ini yang menjadi alasan meredanya dukungan harga.
Begitu pula dengan pernyataan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, bahwa ada potensi penyelesaian sejumlah kesalahpahaman dengan Amerika. Hal yang sama disampaikan para pemimpin Inggris, Prancis, dan Jerman, saat melakukan pembicaraan dengan Presiden Trump.
Pernyataan ini yang kemudian menggiring opini bahwa risiko eskalasi konflik sedang mengalami pelemahan. Mereka menyebut fase ini sebagai momen kritis.
Serangan Drone hanya Bersifat Lokal
Terkait dengan serangan drone Ukraina terhadap rig minyak Rusia di Laut Kaspia, yang menargetkan infrastruktur migas di wilayah tersebut, kini dianggap sebagai gangguan yang bersifat lokal. Dampaknya tidak meluas pada ekspor Rusia, sehingga tidak menciptakan premis kenaikan harga baru.
Di sisi lain, ada perubahan pola permintaan minyak Venezuela di pasar Asia. Pembeli sedang meminta diskon lantaran pasar dibanjiri pasokan minyak berisiko tinggi dari Rusia dan Iran. Akibatnya, minyak Venezuela kehilangan daya tawar.
Risiko pengapalan dari kawasan Karibia juga meningkat, sehingga menuntut adanya potongan harga. Perubahan pola inilah yang kemudian memperlebar jarak harga antara minyak risiko tinggi dengan minyak utama seperti Brent dan WTI.
Sementara itu, data dari International Energy Agency (IEA) dan OPEC menunjukkan hal yang berbeda. IEA menaikkan proyeksi pertumbuhan minya global untuk 2026, sekaligus memangkas perkiraan pertumbuhan pasokan. Artinya, surplus pasar kemungkinan menyempit di tahun depan.
Sedangkan OPEC, mempertahankan proyeksi permintaan untuk 2025 dan 2026. Di sini, pasar tidak mendapatkan sinyal baru terkait kebijakan dari kedua kelompok produsen utama tersebut.
Penurunan Biaya Pinjaman Naikkan Prospek Permintaan Minyak
Faktor makro ikut mempengaruhi reaksi pasar. Keputusan Federal Reserve untuk kembali memangkas suku bunga acuan, menciptakan ruang bagi aktivitas ekonomi yang lebih kuat. Penurunan biaya pinjaman dapat meningkatkan konsumsi dan memperbaiki prospek permintaan minyak.
Secara keseluruhan, pelemahan harga minyak ini menggambarkan reposisi pasar terhadap kombinasi faktor geopolitik dan fundamental. Kabar diplomasi Rusia–Ukraina menjadi faktor dominan yang menghilangkan sebagian premi risiko yang sebelumnya menjaga harga tetap stabil.
Insiden serangan drone dan penyitaan kapal tidak cukup kuat untuk membalikkan arah pasar karena belum menimbulkan gangguan riil terhadap suplai. Di tengah keseimbangan baru antara ekspektasi permintaan yang membaik dan suplai yang relatif longgar, harga minyak bergerak mengikuti penilaian pasar bahwa risiko besar hari ini lebih rendah dibanding beberapa pekan sebelumnya.(*)