KABARBURSA.COM – Lonjakan harga minyak mentah global akibat serangan Israel terhadap Iran memicu kekhawatiran akan dampak ekonomi yang lebih luas, termasuk bagi Indonesia.
Pada Jumat, 13 Juni 2025, harga minyak mentah Brent tercatat melesat hingga 13 persen menjadi USD78,50 per barel, mencatatkan rekor tertinggi sejak Januari 2025.
Di tengah situasi tersebut, pengamat ekonomi energi dari Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi, memberikan peringatan kepada pemerintah untuk tidak menganggap remeh dampak konflik Timur Tengah terhadap perekonomian nasional.
“Sebagai negara net-importer, sudah pasti kenaikan harga minyak dunia akan berpengaruh langsung terhadap ekonomi Indonesia. Jangan sampai pemerintah kasih PHP alias pemberi harapan palsu ke rakyat dengan mengatakan dampaknya kecil,” tegas Fahmy kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Rabu, 18 Juni 2025.
Pernyataan Fahmy ini merespons sikap Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang menyebut bahwa perang Israel-Iran hanya berdampak kecil terhadap indikator ekonomi domestik seperti nilai tukar rupiah, inflasi, dan pertumbuhan ekonomi.
Namun, Fahmy menilai klaim tersebut terlalu menyederhanakan persoalan yang sebenarnya kompleks.
“Kalau eskalasi konflik meluas, harga minyak dunia bisa melejit di atas USD100 per barel. Bahkan J.P. Morgan memperkirakan bisa tembus USD130 per barel jika Selat Hormuz ditutup Iran,” jelasnya.
Selat Hormuz adalah jalur strategis pengangkutan minyak dunia. Setiap gangguan di wilayah itu bisa berdampak signifikan pada pasokan global dan harga minyak mentah internasional.
Di samping itu, Fahmy menyoroti potensi dilema fiskal yang akan dihadapi pemerintah jika harga minyak terus melonjak. Ia menyebut bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) berpotensi jebol apabila pemerintah mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM) subsidi tanpa penyesuaian.
“Kalau harga BBM subsidi tidak dinaikkan, beban subsidi di APBN akan membengkak. Tapi kalau dinaikkan, pasti akan memicu inflasi dan menurunkan daya beli rakyat,” jelasnya.
Dalam kondisi tersebut, devisa negara akan terkuras untuk impor minyak mentah dan BBM. Tekanan terhadap rupiah pun akan makin berat. Saat ini, nilai tukar sempat menembus Rp17.000 per dolar AS, memperparah tekanan ekonomi nasional.
“Ujung-ujungnya, rupiah makin melemah, harga pangan melonjak, dan rakyat yang jadi korban,” kata Fahmy.
Fahmy menyarankan pemerintah untuk bersikap realistis dan menyiapkan skenario penyesuaian harga BBM berbasis indikator yang terukur. Menurutnya, pemerintah perlu menjauh dari narasi optimisme kosong, dan fokus pada mitigasi yang konkret.
“Kalau harga minyak dunia masih di bawah US$ 100 per barel, harga BBM subsidi tidak perlu dinaikkan. Tapi kalau sudah di atas itu, pemerintah tidak punya pilihan lain selain menaikkan harga BBM,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa keterlambatan dalam pengambilan keputusan bisa berdampak lebih buruk terhadap kondisi fiskal maupun stabilitas ekonomi secara umum.
“Jangan menunggu sampai APBN berdarah-darah baru bertindak. Pemerintah harus sampaikan kondisi sebenarnya ke publik. Jangan menenangkan pasar dengan ilusi,” tambah Fahmy.
Fahmy juga mengingatkan pemerintah untuk belajar dari pengalaman sebelumnya, ketika kenaikan harga minyak global dibiarkan tanpa respons fiskal yang memadai. Dampaknya, tekanan keuangan membesar, dan pemerintah akhirnya tetap terpaksa menaikkan harga BBM, tapi dalam situasi yang sudah krisis.
“Kita tidak boleh mengulangi skenario seperti 2013 atau 2022, ketika harga BBM dinaikkan mendadak tanpa kesiapan publik. Harus ada komunikasi yang jujur dan terbuka,” pungkasnya. (*)