KABARBURSA.COM - Harga minyak terperosok di awal pekan ini, dengan Brent masih terpuruk di bawah ambang USD 80 per barel. Sumber utama tekanan ini berasal dari kekhawatiran mendalam terhadap perekonomian China, sang raksasa pengimpor minyak dunia.
Pada Senin malam 19 Agustus 2024 pukul 22.45 WIB, harga minyak mentah Brent untuk pengiriman Oktober 2024 tergerus 52 sen ke level USD79,16 per barel.
Demikian pula, minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk pengiriman September 2024 ikut susut 50 sen, menjadi USD76,15 per barel.
Pemicu utamanya adalah data ekonomi China pekan lalu yang menunjukkan pelambatan signifikan pada bulan Juli. Harga properti baru di negeri tirai bambu itu mengalami penurunan tercepat dalam sembilan tahun terakhir.
Tak hanya itu, kilang minyak China juga terpaksa memangkas produksi minyak mentah secara drastis pada bulan lalu, imbas dari lemahnya permintaan bahan bakar.
“Kita sedang menyaksikan tren jangka panjang yang memperlihatkan pelemahan permintaan global terhadap minyak, terutama karena pemulihan ekonomi Tiongkok yang berjalan jauh lebih lambat dari ekspektasi,” kata Jim Ritterbusch dari Ritterbusch and Associates yang berbasis di Florida.
Kedua acuan utama minyak mentah itu sudah melemah hampir 2 persen pada Jumat lalu, ketika investor memadamkan ekspektasi pertumbuhan permintaan dari China. Meski begitu, pekan ini berakhir relatif datar berkat data inflasi AS yang menunjukkan tren penurunan, meskipun belanja ritel masih cukup kuat.
“Kekhawatiran tentang lemahnya permintaan dari Tiongkok tetap menjadi faktor penentu penjualan minyak,” ungkap Hiroyuki Kikukawa, presiden NS Trading. Dia menambahkan, berakhirnya musim mengemudi di Amerika Serikat juga turut membebani harga.
Namun demikian, potensi risiko pasokan dari ketegangan di Timur Tengah serta eskalasi perang Rusia-Ukraina masih menjaga pasar dari penurunan yang lebih tajam, tambahnya.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken, tiba di Tel Aviv pada Minggu lalu dalam misi diplomatik terbaru untuk mendorong gencatan senjata di Gaza. Namun, kelompok Hamas menyangsikan upaya tersebut, dengan menuding Israel terus merusak peluang damai.
Sejauh ini, negara-negara mediator seperti Qatar, Amerika Serikat, dan Mesir belum berhasil memperkecil perbedaan yang cukup untuk mencapai kesepakatan dalam negosiasi panjang yang telah berlangsung selama berbulan-bulan.
Sementara itu, investor energi juga terus memantau sinyal dari Federal Reserve AS terkait kebijakan pemotongan suku bunga berikutnya.
Dalam survei Reuters, sebagian kecil ekonom memperkirakan bahwa Fed akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin pada tiga pertemuan tersisa tahun ini, lebih banyak dari ekspektasi bulan lalu. Di samping itu, kemungkinan resesi dianggap minim.
Pemotongan suku bunga ini diharapkan bisa menghidupkan kembali roda ekonomi di negara konsumen minyak terbesar dunia.
China dan Minyak Iran
Setelah Iran meluncurkan lebih dari 300 rudal dan serangan drone yang menargetkan Israel pada pertengahan April lalu, seruan untuk memperketat sanksi terhadap ekspor minyak Iran semakin lantang terdengar. Namun, terlepas dari tekanan internasional, ekspor minyak Iran justru mencapai puncak tertinggi dalam enam tahun terakhir pada kuartal pertama 2024, senilai USD35,8 miliar atau setara Rp575,83 triliun, menurut laporan otoritas bea cukai Iran.
Lalu, bagaimana Iran bisa menghindari sanksi yang menjerat ekspor minyaknya?
Jawabannya terletak pada pola perdagangan yang diadopsi oleh pembeli terbesar minyak Iran, China. Negara ini menyerap 80 persen dari total ekspor minyak Iran sekitar 1,5 juta barel per hari seperti diungkapkan oleh laporan Komite Jasa Keuangan DPR AS.
Meski ada risiko besar dalam menjalin hubungan dagang dengan Iran, terutama terkait sanksi dari Amerika Serikat, China terus membeli minyak dari negara tersebut. Alasannya sederhana, minyak Iran murah dan berkualitas.
Harga minyak global yang merangkak naik akibat konflik dunia membuka peluang bagi Iran untuk menawarkan harga lebih rendah sebagai cara menarik pembeli. Menurut data yang dikumpulkan oleh Reuters pada Oktober 2023, China berhasil menghemat hampir USD10 miliar (Rp160,9 triliun) dalam sembilan bulan pertama tahun itu dengan membeli minyak dari Iran, Rusia, dan Venezuela ketiganya menawarkan harga diskon.
Analis senior minyak, Homayoun Falakshahi dari Kpler, memperkirakan bahwa minyak Iran dijual dengan diskon sekitar USD5 (Rp80 ribu) per barel. Diskon ini bahkan pernah mencapai USD13 (Rp208 ribu) per barel pada tahun sebelumnya.
Selain harga yang murah, geopolitik juga memainkan peran penting. Iran adalah pion dalam pertarungan geopolitik antara AS dan China. Dengan terus mendukung ekonomi Iran, China secara tidak langsung menantang dominasi Amerika di Timur Tengah, khususnya di tengah ketegangan dengan Israel.
Iran dan China telah mengembangkan mekanisme perdagangan canggih untuk melanjutkan ekspor minyak, meskipun terkena sanksi berat. Salah satu elemen utama dari mekanisme ini adalah kilang-kilang kecil independen di China, yang dijuluki "kilang teko." Kilang ini memproses minyak Iran dan merupakan alternatif yang lebih aman daripada perusahaan negara besar yang terhubung dengan sistem keuangan internasional.
Tidak hanya itu, Iran juga memanfaatkan "armada gelap"—kapal tanker dengan kepemilikan yang sulit dilacak—untuk menghindari sistem pelacakan maritim internasional. Kapal-kapal ini sering kali menonaktifkan Sistem Identifikasi Otomatis (AIS) mereka, atau berpura-pura berada di satu lokasi saat mereka sebenarnya berada di tempat lain.
Falakshahi menyebutkan bahwa transfer minyak antar kapal sering terjadi di perairan Asia Tenggara, di luar zona transfer resmi. Setelah transfer dilakukan, minyak tersebut biasanya "direbranding" sebagai minyak dari negara lain, seperti Malaysia, sebelum dikirim ke China.
Untuk menghindari sanksi keuangan internasional, transaksi minyak Iran juga melibatkan bank-bank kecil di China yang kurang dikenal di tingkat internasional. Dengan cara ini, risiko yang ditimbulkan lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan bank-bank besar yang terhubung dengan sistem keuangan global.
Meski Amerika Serikat telah memperluas sanksinya terhadap sektor minyak Iran, termasuk mengincar kapal, pelabuhan, dan kilang asing yang memproses minyak Iran, pemerintahan Biden tampak enggan memberlakukan penegakan penuh. Alasannya? Prioritas utama bagi pemerintah AS saat ini adalah menjaga stabilitas harga bensin dalam negeri, terutama menjelang pemilihan presiden mendatang.
Jika AS memberlakukan sanksi yang lebih ketat terhadap Iran, hal ini dapat mengurangi pasokan minyak global dan mendorong kenaikan harga minyak mentah, yang pada akhirnya akan berdampak pada harga bahan bakar di Amerika Serikat.
Iran, sebagai produsen terbesar ketiga di OPEC, memproduksi sekitar tiga juta barel minyak per hari, atau sekitar 3 persen dari total produksi minyak dunia. Gangguan pada pasokan ini dapat memicu gejolak besar di pasar energi internasional sebuah skenario yang sangat ingin dihindari oleh pemerintahan Biden. (*)