KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah global melemah pada perdagangan Jumat pagi WIB, 19 September 2025, di tengah bayang-bayang perlambatan ekonomi Amerika Serikat meskipun Federal Reserve baru saja memangkas suku bunga.
Minyak mentah berjangka Brent, acuan internasional, ditutup turun 51 sen atau 0,8 persen menjadi USD67,44 per barel. Sementara West Texas Intermediate (WTI), patokan Amerika Serikat, juga terkoreksi 48 sen atau 0,8 persen ke level USD63,57 per barel.
Langkah The Fed memangkas suku bunga acuan sebesar 25 basis poin sehari sebelumnya seharusnya menjadi kabar positif bagi permintaan energi, mengingat biaya pinjaman yang lebih rendah umumnya merangsang konsumsi.
Namun, pesan yang disampaikan bank sentral justru mempertegas kekhawatiran pasar, bahwa pemangkasan ini dilakukan bukan karena optimisme, melainkan untuk meredam risiko perlambatan ekonomi yang semakin nyata.
Sejumlah indikator ekonomi Amerika memang menunjukkan tren melemah. Meski klaim baru tunjangan pengangguran menurun, pasar tenaga kerja tetap rapuh. Sektor perumahan pun masih lesu, dengan pembangunan rumah keluarga tunggal jatuh ke titik terendah dalam 2,5 tahun terakhir.
Stok Minyak Mentah Anjlok, Permintaan Melemah
Dari sisi fundamental energi, data Energy Information Administration (EIA) memperlihatkan stok minyak mentah AS anjlok tajam pekan lalu akibat net impor yang merosot ke rekor terendah, sementara ekspor melonjak mendekati level tertinggi dua tahun. Kondisi ini biasanya menjadi faktor pendukung harga.
Namun, pasar justru tertekan oleh lonjakan stok distilat sebesar 4 juta barel, yang jauh melampaui ekspektasi kenaikan 1 juta barel. Kelebihan persediaan ini memperkuat sinyal lemahnya permintaan bahan bakar, khususnya di sektor industri dan transportasi, sehingga mengimbangi sentimen positif dari sisi pasokan.
Faktor eksternal turut mewarnai pergerakan harga minyak. Rusia mengumumkan kebijakan fiskal baru untuk menjaga stabilitas anggaran di tengah fluktuasi harga energi dan sanksi Barat. Sementara Ukraina, mengklaim berhasil melancarkan serangan ke kompleks pengolahan minyak besar di Rusia.
Ketegangan geopolitik ini seharusnya memicu kekhawatiran pasokan global, apalagi Exxon Mobil menegaskan tidak akan kembali beroperasi di Rusia. Namun, pasar tampaknya lebih terfokus pada tanda-tanda pelemahan permintaan di Amerika Serikat.
Di sisi lain, Kuwait sebagai anggota OPEC justru melihat peluang peningkatan permintaan minyak dari Asia setelah pemangkasan suku bunga AS. Sedangkan QatarEnergy menaikkan harga jual jangka panjang minyak al-Shaheen untuk periode November ke level tertinggi dalam delapan bulan.
Sementara di Eropa, parlemen Jerman menyetujui anggaran tahunan dengan porsi besar untuk investasi pemulihan ekonomi dan pertahanan, yang berpotensi mendorong konsumsi energi ke depan.
Kondisi geopolitik Timur Tengah menambah lapisan ketidakpastian setelah Israel melancarkan serangan udara ke target militer Hezbollah di Lebanon selatan. Meski potensi eskalasi konflik dapat menjadi pemicu naiknya harga minyak, pasar tampaknya lebih terpaku pada prospek ekonomi AS yang lesu dan data stok bahan bakar yang mengecewakan.
Secara keseluruhan, pelemahan harga Brent dan WTI mencerminkan tarik menarik antara sinyal positif dari sisi pasokan dan risiko permintaan yang rapuh.
Ke depan, arah pergerakan harga minyak akan sangat bergantung pada seberapa cepat The Fed berhasil memulihkan kepercayaan terhadap perekonomian, serta bagaimana dinamika geopolitik global mempengaruhi sentimen pasar energi.(*)