KABARBURSA.COM - Harga minyak masih berada dalam tren kenaikan dengan pergerakan yang stabil, meski pasar global tengah memasuki periode likuiditas tipis. Penguatan ini tercermin dari harga Brent yang naik 0,2 persen ke USD63,34 per barel dan WTI yang menguat 0,8 persen ke USD59,10 per barel pada Jumat dini hari WIB, 28 November 2025.
Kenaikan ini lagi-lagi menggambarkan bahwa sentimen pasar tetap berpihak pada risiko pemulihan harga, terutama ketika pasar energi menimbang kombinasi faktor geopolitik, kebijakan moneter, dan dinamika pasokan global.
Sentimen paling dominan yang mendorong kenaikan harga minyak berasal dari perkembangan negosiasi perdamaian Rusia–Ukraina. Harapan terhadap gencatan senjata menciptakan persepsi stabilisasi risiko pasokan.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskiy, dan pernyataan dari delegasi Amerika membuka peluang bahwa formula perdamaian tengah disiapkan dalam pertemuan di Jenewa. Sementara itu, Presiden Rusia Vladimir Putin menilai rancangan rencana perdamaian tersebut dapat menjadi dasar kesepakatan jika Ukraina mundur dari wilayah strategis.
Meski belum ada kepastian, pasar menilai ada ruang negosiasi baru yang mengurangi ketidakpastian geopolitik yang selama ini menekan harga minyak. Ketika risiko suplai tampak menurun, pasar cenderung lebih fokus pada prospek permintaan.
Namun, negosiasi tersebut tetap dikelilingi keraguan. Ukraina masih berhati-hati terhadap rencana yang berpotensi menguntungkan Rusia, terutama terkait konsesi wilayah. Ketegangan ini membuat pasar bergerak di antara optimisme dan kehati-hatian.
Analis SEB Ole Hvalbye menyebut bahwa pasar bergerak dengan ritme dua arah, antara harapan perdamaian dan skeptisisme terhadap hasil finalnya. Meskipun begitu, adanya peluang gencatan senjata sudah cukup untuk meredam kekhawatiran suplai yang sebelumnya meningkat akibat sanksi baru Amerika Serikat terhadap sektor minyak Rusia.
OPEC+ Lanjutkan Kebijakan Jeda Kenaikan Output
Selain faktor perang, ekspektasi pasar terhadap kebijakan OPEC+ juga memberi dukungan pada tren kenaikan harga. Organisasi tersebut diperkirakan mempertahankan tingkat produksi dalam pertemuan akhir pekan ini.
Dua delegasi dan satu sumber yang mengetahui agenda pembicaraan menyebut bahwa OPEC+ berencana melanjutkan kebijakan jeda kenaikan output pada kuartal pertama 2026. Delapan negara anggota yang sebelumnya meningkatkan produksi sepanjang 2025 juga diperkirakan menahan diri.
Sikap konservatif ini memberi sinyal bahwa OPEC+ tetap fokus menstabilkan pasar dan menjaga harga tetap berada dalam rentang sehat.
Analis Perkirakan Arah Harga WTI
Dukungan tambahan datang dari ekspektasi penurunan suku bunga Federal Reserve pada Desember. Pasar kini menilai ada peluang besar terjadinya pemangkasan suku bunga, di tengah perlambatan ekonomi Amerika dan ketiadaan kejutan hawkish dari The Fed.
Suku bunga yang lebih rendah biasanya meningkatkan aktivitas ekonomi global dan pada akhirnya mendorong konsumsi energi.
Analis OANDA Kelvin Wong menyebut bahwa tanpa katalis baru, arah harga WTI kemungkinan berada dalam kisaran USD56,80 hingga USD60,40 menjelang akhir tahun. Hal ini mengindikasikan stabilitas dalam tren naik saat ini.
Secara keseluruhan, harga minyak tetap berada dalam tren kenaikan karena kombinasi harapan perdamaian Rusia–Ukraina, kebijakan produksi yang ketat dari OPEC+, dan meningkatnya ekspektasi pelonggaran moneter Amerika Serikat.
Faktor-faktor tersebut bekerja bersamaan untuk memperkuat persepsi pasar terhadap potensi permintaan yang lebih kuat dan risiko pasokan yang lebih terukur. Selama dinamika geopolitik tidak kembali memanas dan The Fed konsisten dengan sinyal dovish-nya, harga minyak berpeluang mempertahankan momentum kenaikan dalam jangka pendek.(*)