KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia masih bertahan di level terendah dalam 14 bulan pada perdagangan Kamis, 5 September 2024, di tengah kekhawatiran mengenai lemahnya permintaan minyak dari dua konsumen utama dunia, Amerika Serikat (AS) dan China.
Selain itu, potensi peningkatan pasokan dari Libya juga turut memberikan tekanan pada harga minyak, meskipun ada penarikan besar dari persediaan minyak AS dan penundaan rencana peningkatan produksi oleh negara-negara yang tergabung dalam OPEC+.
Melansir dari Reuters, harga minyak mentah Brent tercatat turun sebesar 1 sen menjadi USD72,69 per barel, sementara minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) juga turun 5 sen atau 0,1 persen, dan diperdagangkan pada level USD69,15 per barel. Ini adalah penutupan terendah bagi Brent selama dua hari berturut-turut sejak Juni 2023. Sedangkan untuk WTI, ini menjadi penurunan terendah selama tiga hari berturut-turut sejak Desember 2023. Penurunan harga minyak yang terjadi di tengah kekhawatiran pasar ini semakin menandai periode volatilitas di sektor energi.
Laporan dari Badan Informasi Energi AS (EIA) mengungkapkan bahwa selama pekan yang berakhir pada 30 Agustus, perusahaan-perusahaan energi di AS menarik 6,9 juta barel minyak mentah dari persediaan. Penarikan ini jauh lebih besar dari perkiraan para analis yang memprediksi hanya akan ada penarikan sebesar 1 juta barel, menurut survei yang dilakukan oleh Reuters. Namun, angka ini sejalan dengan laporan yang dirilis oleh American Petroleum Institute (API), yang pada hari Rabu menyebutkan bahwa penarikan minyak mentah mencapai 7,4 juta barel.
Faktor lain yang mendukung harga minyak datang dari diskusi antara Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, yang dipimpin oleh Rusia, yang dikenal dengan sebutan OPEC+. Mereka telah menyetujui penundaan rencana peningkatan produksi yang seharusnya dimulai pada Oktober.
Dalam keputusan yang disepakati, OPEC+ tidak hanya menunda peningkatan produksi minyak untuk Oktober dan November, tetapi mereka juga membuka kemungkinan untuk menunda lebih lanjut atau bahkan membatalkan rencana peningkatan produksi tersebut jika kondisi pasar memerlukan.
Para analis dari Jefferies, sebuah perusahaan perbankan investasi asal AS, menyatakan bahwa keputusan OPEC+ ini akan berdampak pada pengetatan keseimbangan pasokan minyak global pada kuartal keempat sekitar 100.000 hingga 200.000 barel per hari (bpd). Menurut mereka, pengetatan ini akan cukup untuk mencegah terjadinya penumpukan stok minyak yang signifikan, meskipun permintaan minyak dari China belum menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang berarti.
Namun demikian, Bob Yawger, Direktur Energi Berjangka di Mizuho, berpendapat bahwa pasar masih belum sepenuhnya terkesan dengan keputusan OPEC+.
"Pasar bensin dapat membuat harga minyak mentah turun lebih jauh, bahkan jika kekacauan yang terjadi di OPEC+ tidak terlalu mempengaruhi harga. Jika Anda tidak membutuhkan bensin, Anda juga tidak membutuhkan minyak mentah untuk memproduksi bensin," kata Yawger.
Sebagai tambahan informasi, persediaan bensin di AS meningkat sebesar 0,8 juta barel selama pekan lalu, yang menyebabkan harga bensin berjangka AS jatuh ke level penutupan terendah sejak Maret 2021. Penurunan ini menambah tekanan pada harga minyak mentah yang sudah melemah karena kekhawatiran permintaan.
Di Libya, beberapa kapal tanker telah diizinkan untuk mengangkut minyak dari persediaan negara tersebut, meskipun produksi minyak di Libya masih terhenti akibat ketegangan politik yang terkait dengan bank sentral dan pendapatan minyak negara tersebut. Hal ini menambah ketidakpastian terkait pasokan minyak dari negara anggota OPEC ini.
Sementara itu, data ekonomi terbaru dari AS memberikan sedikit kelegaan bagi pasar yang mencari petunjuk mengenai kemungkinan kebijakan pemangkasan suku bunga oleh The Fed.
Selama tahun 2022 dan 2023, The Fed telah menaikkan suku bunga secara agresif untuk meredam lonjakan inflasi, tetapi ada ekspektasi bahwa mereka akan menurunkan suku bunga pada pertemuan kebijakan yang dijadwalkan pada 17-18 September mendatang. Penurunan suku bunga ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan permintaan minyak.
Aktivitas sektor jasa AS pada Agustus tetap stabil, namun pertumbuhan lapangan kerja menunjukkan perlambatan. Hal ini konsisten dengan indikasi bahwa pasar tenaga kerja mulai melambat.
Selain itu, pertumbuhan lapangan kerja di sektor swasta AS mencapai titik terendah dalam 3,5 tahun terakhir pada bulan Agustus, sementara data dari bulan sebelumnya direvisi lebih rendah. Hal ini menandakan potensi perlambatan tajam di pasar tenaga kerja. Di sisi lain, jumlah warga AS yang mengajukan klaim pengangguran baru pekan lalu turun, mencerminkan bahwa tingkat pemutusan hubungan kerja tetap rendah.
Dalam sebuah catatan, analis dari UBS menyebutkan bahwa laporan Beige Book yang dirilis oleh The Fed pada hari Rabu menunjukkan bahwa ekonomi AS sudah tumbuh di bawah tren dan risiko resesi mulai meningkat. Laporan ini menjadi tolok ukur kondisi ekonomi yang dirilis setiap enam minggu sekali dan digunakan sebagai salah satu indikator bagi kebijakan moneter yang akan diambil oleh The Fed.
Dengan berbagai dinamika yang terjadi di pasar minyak dan ekonomi global, pelaku pasar terus memantau perkembangan terkait kebijakan OPEC+, data ekonomi AS, serta keputusan The Fed dalam beberapa minggu ke depan, yang diperkirakan akan berdampak besar pada harga minyak dan prospek permintaan energi. (*)