KABARBURSA.COM - Harga minyak mentah global melonjak ke level tertinggi dalam beberapa pekan pada perdagangan Senin, 9 Juni 2025 didorong oleh pelemahan dolar Amerika Serikat (AS) dan harapan pasar atas kemajuan pembicaraan dagang antara AS dan China di London.
Pelaku pasar menanti kesepakatan yang diyakini dapat memperbaiki prospek ekonomi global dan mendorong permintaan energi.
Seperti dilansir Reuters, harga minyak Brent untuk kontrak berjangka ditutup naik 57 sen atau 0,9 persen ke level USD67,04 per barel. Dalam sesi perdagangan, harga sempat menyentuh USD67,12 per barel, tertinggi sejak 28 April.
Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) naik 71 sen atau 1,1 persen ke posisi USD65,29, setelah sebelumnya sempat menyentuh USD65,38, level tertinggi sejak 4 April.
Pelemahan dolar AS turut menopang harga minyak, dengan indeks dolar (DXY) turun 0,3 persen. Kondisi ini membuat minyak lebih murah bagi pemegang mata uang lainnya.
Sepanjang pekan lalu, harga Brent menguat 4 persen dan WTI melonjak 6,2 persen. Optimisme akan tercapainya kesepakatan dagang antara AS dan China menjadi salah satu pendorong minat risiko investor.
"Sebagian besar penguatan ini tampak didorong oleh faktor teknikal, dan reli semacam ini bisa cepat mereda tanpa dukungan sentimen baru yang positif," tulis analis dari firma konsultan energi Ritterbusch and Associates.
"Fokus utama pasar tetap tertuju pada pembicaraan dagang AS-China yang sedang berlangsung," imbuhnya.
Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping dikabarkan telah melakukan percakapan via telepon pada Kamis lalu. Pertemuan lanjutan antara pejabat kedua negara kemudian digelar di London pada Senin, guna meredakan ketegangan dagang yang masih berlangsung.
Kesepakatan antara AS dan China berpotensi memperkuat prospek ekonomi global dan meningkatkan permintaan terhadap komoditas, termasuk minyak mentah. Menurut analis IG Markets, Tony Sycamore, pertemuan pada awal pekan ini bisa meredam dampak negatif dari rilis data ekonomi China terhadap harga minyak.
Data terbaru menunjukkan bahwa pertumbuhan ekspor China melambat ke level terendah dalam tiga bulan pada Mei, tertekan oleh tarif AS. Sementara itu, deflasi harga produsen pabrik (factory gate) di China semakin dalam hingga menyentuh titik terendah dalam dua tahun. Tekanan ini membuat perekonomian terbesar kedua di dunia itu semakin terhimpit, baik dari sisi domestik maupun eksternal.
"Ini waktu yang tidak menguntungkan bagi minyak WTI, yang tengah menguji batas atas harga dan berusaha menembus level teknikal di atas USD65," ujar Sycamore.
Data juga menunjukkan bahwa impor minyak mentah China turun pada Mei ke level harian terendah dalam empat bulan. Penurunan ini terjadi karena kilang negara maupun swasta memulai jadwal perawatan rutin.
Meski ada kekhawatiran atas peningkatan produksi dari kelompok produsen minyak OPEC+ bulan depan, optimisme terhadap potensi kesepakatan dagang AS-China lebih mendominasi sentimen pasar.
Survei Reuters melaporkan bahwa produksi minyak OPEC naik pada Mei, namun masih lebih rendah dari kuota yang direncanakan. Kenaikan produksi sebesar 150 ribu barel per hari menjadi total 26,75 juta barel per hari.
Tambahan pasokan terbesar berasal dari Arab Saudi, sementara Irak memangkas produksi untuk mengimbangi kelebihan pasokan sebelumnya. Uni Emirat Arab juga mencatatkan kenaikan kecil dari batas yang ditentukan. (*)