KABARBURSA.COM - Harga minyak dunia tergelincir lebih dari satu persen pada perdagangan Rabu waktu setempat atau Kamis dinihari WIB, 6 November 2025. Koreksi ini menutup sesi di level terendah dua pekan, akibat munculnya kekhawatiran baru tentang potensi kelebihan pasokan global.
Namun, pelemahan tersebut tidak sepenuhnya lepas kendali karena data permintaan bahan bakar Amerika Serikat menunjukkan sinyal kuat yang menahan kejatuhan lebih dalam.
Pada akhirnya, Brent crude ditutup melemah 1,43 persen ke USD63,52 per barel, sementara West Texas Intermediate (WTI) turun 1,59 persen ke USD59,60 per barel.
Tekanan utama datang dari laporan Energy Information Administration (EIA) yang mencatat peningkatan stok minyak mentah AS sebesar 5,2 juta barel menjadi 421,2 juta barel. Peningkatan ini jauh di atas ekspektasi pasar yang hanya memperkirakan kenaikan 603.000 barel.
Lonjakan tersebut sekaligus menegaskan bahwa pasokan minyak di pasar fisik belum menunjukkan tanda pengetatan.
Menurut analis minyak senior di Kpler Matt Smith, kenaikan stok dipicu oleh rebound impor dan aktivitas kilang yang masih lesu akibat pemeliharaan musiman. Artinya, penumpukan stok kali ini bukan hanya persoalan permintaan yang lemah, tetapi juga kombinasi teknis dari rantai pasok domestik yang sementara tertahan.
Meski demikian, sisi permintaan memberikan sedikit harapan. Data EIA juga menunjukkan penurunan signifikan pada persediaan bensin sebesar 4,7 juta barel. Penurunan ini empat kali lebih besar dari perkiraan.
Kondisi ini mengindikasikan bahwa konsumsi bahan bakar di Amerika tetap kuat. Artinya, ekonomi domestik belum kehilangan momentum meskipun harga minyak turun.
Kanada Cabut Batas Emisi Sektor Minyak dan Gas
Tekanan lain datang dari sisi geopolitik dan kebijakan energi. Rencana anggaran Kanada yang diumumkan Perdana Menteri Mark Carney menimbulkan kekhawatiran baru di pasar global.
Pemerintah Kanada berpotensi mencabut batas emisi sektor minyak dan gas. Langkah besar ini berpotensi membuka kembali keran produksi besar-besaran.
“Jika Kanada benar-benar menanggalkan kebijakan pembatasan emisi, pasokan global bisa membengkak dan membebani harga minyak,” ujar Phil Flynn dari Price Futures Group.
Sementara itu, keputusan terbaru OPEC+ juga memberi sinyal ambigu bagi pasar. Kartel minyak tersebut sepakat menambah produksi sebesar 137.000 barel per hari mulai Desember, namun akan menunda peningkatan lebih lanjut hingga kuartal I 2026.
Bagi pelaku pasar, langkah ini menggambarkan dilema klasik. OPEC+ berencana menjaga stabilitas harga di tengah tekanan politik, namun di sisi lain kebutuhan anggaran anggota bergantung pada ekspor minyak.
Tambahan pasokan dari OPEC+ ini terjadi di saat sebagian produsen justru menghadapi hambatan produksi. Kazakhstan, misalnya, melaporkan penurunan output 10 persen menjadi 1,69 juta barel per hari, tetapi masih berada di atas kuota OPEC+.
Di Rusia, serangan drone Ukraina terhadap fasilitas di pelabuhan Tuapse memaksa penghentian ekspor bahan bakar dan aktivitas penyulingan. Gangguan ini bersifat sementara, tetapi cukup untuk menahan kejatuhan harga lebih dalam.
Dengan kombinasi faktor-faktor tersebut, pasar minyak kini berada di persimpangan yang rumit. Dari satu sisi, data stok yang menumpuk menekan harga dan menimbulkan kekhawatiran kelebihan pasokan global.
Di sisi lain, permintaan bahan bakar yang solid dan gangguan pasokan di beberapa wilayah menjadi bantalan alami.
Namun, arah jangka pendek tampaknya masih bearish. Jika Kanada benar-benar memperlonggar batas emisi dan OPEC+ konsisten menambah produksi tanpa disiplin ketat, pasar berpotensi kembali mengalami surplus pada akhir tahun.
Harga Brent yang turun ke kisaran USD63 per barel mencerminkan realitas baru, di mana kekhawatiran resesi mungkin sudah mereda, tapi ancaman oversupply justru mengambil alih panggung.(*)