KABARBURSA.COM – Harga minyak global terus memanas. Pada perdagangan Jumat pagi WIb. 5 Desember 2025, baik Brent maupun WTI bergerak liar, bahkan kenaikannya menembus lebih dari 1 persen. Ini bukan saja karena isu surplus produksi seperti hari-hari sebelumnya, tetapi ada dorongan lain yang membuat harganya semakin kuat.
Dinamika pasar menunjukkan bahwa reli ini bukan sekadar soal ekspektasi pemangkasan suku bunga oleh Federal Reserve. Pasar minyak memang sedang berada dalam pusaran yang kompleks. Di satu sisi ada harapan stimulus moneter, tekanan geopolitik, dan ketidakpastian pasokan. Di sisi lain, sinyal oversupply masih mencuat di berbagai kawasan.
Brent melonjak sebesar 0,94 persen ke USD63,26 per barel, sementara WTI naik 1,22 persen ke USD59,67 per barel. Pasar semakin yakin bahwa The Fed akan menurunkan suku bunga dan ekspektasi ini ikut mengangkat bursa saham global yang pada gilirannya mendorong minat terhadap aset berisiko termasuk minyak.
Ya, penurunan suku bunga secara teoritis memperkuat prospek permintaan energi di Amerika Serikat, yang merupakan konsumen minyak terbesar dunia. Permintaan semakin deras terutama saat data tenaga kerja menunjukkan tanda-tanda perlambatan yang konsisten dengan siklus kebijakan longgar.
Tekanan terhadap dolar AS selama 10 hari berturut-turut juga menjadi penopang harga. Dolar yang jatuh membuat harga minyak menjadi lebih murah bagi pembeli internasional. Itulah mengapa permintaan finansial menguat meski permintaan fisik masih bergerak dalam pola yang belum stabil.
Ketegangan Geopolitik Terus Panasi Harga Minyak
Di luar faktor moneter, tensi geopolitik kembali menegang. Hubungan Amerika Serikat dan Venezuela menghangat setelah pemerintahan Donald Trump meningkatkan tekanan terhadap Presiden Nicolás Maduro.
Kekhawatiran bahwa ketegangan ini dapat memicu gangguan pasokan Venezuela, yang merupakan produsen minyak penting di kawasan Amerika Selatan, ikut menopang harga.
Namun bukan itu saja. Kebuntuan pembicaraan damai antara AS dan Rusia mengenai Ukraina menutup peluang pendek untuk terjadinya kesepakatan yang dapat memulihkan aliran minyak Rusia ke pasar global.
Harapan akan perdamaian sebenarnya sempat menekan harga sebelumnya, karena pembukaan kembali aliran minyak Rusia berpotensi meningkatkan suplai pasar yang kini sudah menghadapi risiko kelebihan pasokan.
Ukraina memperburuk ketidakpastian tersebut dengan intensifikasi serangan ke infrastruktur energi Rusia. Serangan ke pipa minyak Druzhba, yang menjadi jalur vital penyalur minyak ke Hongaria dan Slovakia, menunjukkan bahwa risiko suplai dari Rusia tetap tinggi. Padahal, operator pipa menyatakan aliran masih berjalan normal.
Analisis Kpler menguatkan gambaran tekanan ini. Ada kampanye drone yang lebih terkoordinasi yang telah menekan kapasitas pemrosesan minyak Rusia hingga sekitar 5 juta barel per hari pada September hingga November, hingga turun menjadi 335 ribu barel per hari dari tahun lalu.
Penurunan paling dalam terlihat pada produksi bensin dan gasoil, yang mencerminkan semakin sulitnya Rusia menjaga stabilitas rantai produksinya.
Kondisi Surplus Produksi Masih Akan Berlanjut
Namun, reli minyak tetap dibatasi oleh sinyal fundamental yang kurang mendukung. Data EIA menunjukkan persediaan minyak mentah AS justru naik 574 ribu barel menjadi 427,5 juta barel, berlawanan dengan ekspektasi penurunan hampir 1 juta barel.
Kenaikan tersebut terjadi saat aktivitas penyulingan meningkat, yang artinya pasokan masih melimpah. Fitch Ratings juga memangkas asumsi harga minyak untuk 2025–2027 lantaran kondisi surplus produksi diperkirakan akan terus berlanjut dalam jangka menengah.
Di Timur Tengah, Arab Saudi menetapkan harga jual resmi Arab Light bulan Januari ke Asia pada USD0,60 per barel di atas rata-rata Oman/Dubai. Angka ini menjadi level terendah dalam lima tahun. Harga jual yang lebih murah dari biasanya menunjukkan sinyal kompetisi ketat dalam mempertahankan pasar Asia, dan sekaligus mencerminkan lemahnya daya serap regional.
Dari kawasan Kaspia, output Kazakhstan anjlok 6 persen hanya dalam dua hari pertama Desember, menyusul serangan drone Ukraina terhadap fasilitas pemuatan CPC di Laut Hitam. Penurunan ini menambah lapisan ketidakpastian pasokan di wilayah yang sudah sering dilanda gangguan teknis dan geopolitik.
Keseluruhan dinamika tersebut membuat harga minyak berada di tengah tensi dua arah, yaitu ekspektasi pemangkasan suku bunga dan pelemahan dolar yang mendorong reli. Tetapi, data persediaan yang naik, sinyal kelebihan pasokan global, serta harga jual resmi Saudi yang turun mengindikasikan permintaan fisik belum cukup kuat.
Di sisi lain, risiko geopolitik yang terus berkembang, baik dari Venezuela hingga Rusia dan Kazakhstan, memberi fondasi lantai harga untuk menjaga minyak tetap berada dalam rentang USD60–70, seperti yang diproyeksikan beberapa analis.
Dengan demikian, performa minyak dunia saat ini mencerminkan pasar yang masih mencari keseimbangan antara harapan dan realitas. Dorongan makro dan geopolitik memberikan ruang penguatan, tetapi fundamental pasokan dan permintaan tetap menjadi penahan yang kuat.
Pasar membutuhkan katalis yang lebih tegas, baik dari The Fed maupun dari perkembangan geopolitik, untuk menentukan apakah minyak akan melanjutkan reli atau kembali ke fase tekanan harga.(*)