KABARBURSA.COM – Saham-saham sektor nikel saat ini tengah berada dalam fase siklus terendahnya. Hal ini membuat banyak investor bertanya-tanya apakah masih layak untuk berinvestasi di sektor nikel atau justru mengalihkan fokus ke industri lain?
Analis Pasar Modal dari MikirDuit, Surya Rianto, menilai bahwa meskipun harga nikel sedang dalam posisi rendah, peluang untuk rebound masih terbuka bagi investor dengan perspektif jangka panjang.
"Dari sudut pandang saya, saham sektor nikel saat ini lagi di fase siklus terendahnya sebagai saham cyclical, yakni ketika harga nikel sudah sangat rendah dan tidak ekonomis bagi beberapa produsen di China dan Kaledonia," ujar Surya saat dihubungi KabarBursa.com di Jakarta, Senin 17 Maret 2025.
Menurutnya, jika investor memiliki toleransi untuk menahan saham dalam jangka waktu 2-3 tahun, harga saat ini sudah cukup menarik untuk akumulasi. Namun, untuk jangka pendek, Surya menilai investor masih memilih untuk bersikap wait and see karena melihat perkembangan kebijakan ekonomi global yang dipengaruhi oleh kebijakan Donald Trump yang cukup kontroversial.
"Investor cenderung mencari aset safe haven seperti emas atau treasury bonds di AS. Di Indonesia sendiri, banyak yang memilih untuk menempatkan dana di Surat Berharga Negara (SBN)," jelasnya.
Selain itu, rencana kenaikan royalti bagi industri pertambangan juga berpotensi mempengaruhi kinerja keuangan emiten nikel dalam jangka pendek. Namun, jika harga nikel kembali naik, kondisi bisnis di sektor ini bisa pulih dan berdampak positif terhadap harga sahamnya.
Tersebab belum adanya sektor yang benar-benar booming, beberapa investor mulai melirik industri lain yang berpotensi tumbuh, seperti sektor data center yang memiliki peran penting dalam pengembangan kecerdasan buatan (AI).
"Data center ini punya peran penting dalam booming AI. Tapi, tantangannya adalah kebijakan pemerintah AS yang bisa cukup kontroversi menahan ekspor chip ke negara-negara lain. hal ini bisa menahan laju pertumbuhan industri AI dan data center di negara lain.," kata Surya.
Sektor nikel di pasar modal Indonesia tengah mengalami fase volatilitas yang cukup tinggi. Beberapa emiten pertambangan nikel mencatatkan penurunan signifikan dalam sebulan terakhir, sementara sebagian lainnya mulai menunjukkan tanda-tanda rebound.
Saham Nikel di Titik Terendah
Saham Vale Indonesia Tbk (INCO), misalnya, turun tajam sebesar 14,48 persen dalam sebulan terakhir, dengan harga kini berada di Rp2.540 setelah sebelumnya sempat menyentuh level tertinggi Rp3.100. Tren serupa juga terjadi pada Central Omega Resources Tbk (DKFT), yang mengalami pelemahan 5,15 persen ke Rp258, meskipun dalam pergerakan bulanannya sempat naik hingga Rp284. Sementara itu, Ifishdeco Tbk (IFSH) masih dalam tren melemah dengan harga saat ini di Rp725, turun 1,36 persen dalam sepekan terakhir.
Koreksi juga dialami oleh Resource Alam Indonesia Tbk (KKGI), yang kini diperdagangkan di Rp414, turun 2,36 persen dalam sebulan terakhir. Begitu pula dengan Timah Tbk (TINS), yang sempat anjlok ke level Rp880 sebelum kembali naik ke Rp1.010, namun tetap mencatatkan penurunan 3,35 persen dalam periode yang sama.
Di sisi lain, ada beberapa saham nikel yang berhasil mencatatkan kenaikan. PAM Mineral Tbk (NICL), misalnya, menguat 6,72 persen ke Rp286 setelah sebelumnya sempat berada di level Rp258. Sementara itu, Aneka Tambang Tbk (ANTM) mencatatkan kenaikan signifikan sebesar 11,07 persen dalam sepekan terakhir dengan harga saat ini di Rp1.655 setelah menyentuh titik terendah Rp1.475.
Faktor-faktor Kunci di Balik Merosotnya Harga Nikel
Harga nikel terus mengalami penurunan selama dua tahun terakhir. Pada 2024, harga rata-rata nikel di London Metal Exchange (LME) tercatat sebesar USD15.328 per metrik ton, turun 7,7 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Memasuki awal 2025, harga semakin tertekan hingga mencapai USD15.078 per metrik ton—level terendah sejak 2020.
Meski begitu, beberapa analis memperkirakan harga rata-rata tahun ini bisa mencapai USD15.700 per metrik ton. Sayangnya, angka ini masih belum cukup menarik bagi investor untuk berani masuk ke industri ini secara besar-besaran. Dilansir dari Carbon Credits, Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan penurunan harga nikel, dan sebagian di antaranya terlihat jelas di pasar.
Dolar AS yang Menguat
Penguatan dolar AS membuat harga nikel semakin mahal bagi pembeli internasionalnyang akhirnya menekan permintaan. Ketika nilai dolar naik, komoditas seperti nikel menjadi lebih sulit diakses oleh negara-negara dengan mata uang yang lebih lemah.
Di awal 2025, data tenaga kerja AS yang lebih kuat dari perkiraan turut memicu kenaikan dolar, yang kemudian mendorong harga nikel ke level terendah dalam lima tahun terakhir.
Perang Dagang AS-China
Ketegangan geopolitik antara AS dan China semakin memperburuk sentimen pasar. Setelah Donald Trump kembali menjabat sebagai Presiden AS, perang dagang antara kedua negara kembali memanas.
Pada Januari 2025, pengumuman rencana tarif tambahan sebesar 10 persen untuk barang-barang asal China menambah tekanan pada pasar logam dasar, termasuk nikel. Situasi ini menciptakan ketidakpastian di pasar dan semakin menghambat pemulihan harga.
Pasokan Berlebih yang Berkelanjutan
Di sisi lain, produksi nikel terus melampaui permintaan, menciptakan kondisi oversupply. Salah satu faktor utama adalah ekspansi produksi yang agresif dari Indonesia. Sebagai negara yang menyumbang hampir setengah dari pasokan nikel global, kebijakan Indonesia sangat berpengaruh terhadap dinamika pasar.
Menurut proyeksi S&P Global, produksi nikel Indonesia diperkirakan akan terus tumbuh pesat pada 2025. Akibatnya, pasar nikel global diprediksi masih akan mengalami kelebihan pasokan hingga 156.000 metrik ton sepanjang tahun ini.
Ke Mana Arah Harga Nikel di 2025?
Pada Desember 2024, harga nikel sempat melonjak ke USD16.168 per metrik ton akibat spekulasi pemangkasan produksi di Indonesia. Namun, lonjakan ini hanya bertahan sebentar sebelum kembali merosot ke USD15.113 per metrik ton, mencerminkan rapuhnya pasar nikel.
Meski demikian, produsen nikel asal Rusia, Norilsk Nickel (Nornickel), tetap optimistis dan berencana menjual seluruh produksi logamnya di 2025. Namun, banyak analis percaya bahwa kebijakan Indonesia dan regulasi lingkungan global akan menjadi faktor utama yang menentukan arah harga nikel ke depan.
Di sisi lain, isu keberlanjutan akan semakin membentuk industri nikel. Regulasi lingkungan yang lebih ketat bisa membatasi produksi dan menciptakan ketidakpastian bagi para produsen dan investor. Perusahaan yang gagal memenuhi standar hijau berisiko menghadapi pemangkasan produksi, mendorong beberapa pemain industri untuk mencari sumber bijih nikel alternatif.
Prospek harga nikel di 2025 masih penuh tantangan. S&P Global memperkirakan kondisi oversupply masih akan berlangsung dan terus membayangi pergerakan harga. Dengan proyeksi harga rata-rata USD15.700 per metrik ton, pasar nikel diperkirakan akan menghadapi tekanan besar sepanjang tahun ini.
Lebih jauh, stok nikel global diprediksi akan mencapai 17,4 minggu konsumsi pada 2028, yang berpotensi semakin menekan harga. Dalam jangka pendek, pemulihan harga tampaknya masih sulit terwujud.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.