Logo
>

Hilirisasi Nikel tak Seindah Janji, EV Masih Minim Serapan

Ditulis oleh Dian Finka
Hilirisasi Nikel tak Seindah Janji, EV Masih Minim Serapan
llustrasi: Seorang pekerja di pabrik smelter tengah mengawasi proses peleburan nikel di salah satu fasilitas hilirisasi di Indonesia. Foto: Dok. Kementerian ESDM.

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Hilirisasi nikel digadang-gadang sebagai masa depan industri tambang Indonesia dalam mendukung ekosistem baterai kendaraan listrik (EV). Pemerintah terus menabuh genderang optimisme bahwa Indonesia bisa menjadi pemain utama dalam rantai pasok global. Tapi hingga kini, realita di lapangan menunjukkan industri EV belum juga menjadi tumpuan utama serapan nikel. 

    Menurut Analis Pasar Modal dari MikirDuit, Surya Rianto, sebagian besar nikel yang diproduksi di Indonesia masih lebih banyak mengalir ke industri stainless steel, bukan ke baterai EV seperti yang sering digaungkan. Lesunya sektor baja, terutama di China, malah membuat pasar nikel mengalami oversupply yang bikin harga anjlok. 

    "Kalau kita bicara permintaan dari EV, faktanya masih kecil sekali. Yang menopang pasar nikel itu industri stainless steel, tetapi karena sektor ini juga sedang lesu, pasar nikel mengalami oversupply," ujar Surya kepada KabarBursa.com, Minggu, 16 Maret 2025. 

    Berdasarkan data Trading Economics yang dilihat Senin, 17 Maret 2025, harga nikel berjangka (futures) naik menembus USD16.420 per ton pada Maret 2025 atau mencapai titik tertinggi dalam empat bulan terakhir. Ini jadi semacam angin segar setelah harga sempat terpuruk di level terendah dalam empat tahun sejak awal 2025. Lonjakan harga ini dipicu oleh rencana pemerintah Indonesia untuk memangkas kuota penambangan nikel sebanyak 120 juta ton tahun depan, yang berpotensi memangkas 35 persen pasokan global.

    Tapi, apakah ini cukup buat mendongkrak harga nikel secara signifikan? Ternyata belum tentu. Meski ada wacana pemangkasan produksi, permintaan pasar masih melempem. Stok nikel di gudang London Metal Exchange (LME) masih membengkak, bahkan lebih dari dua kali lipat dibandingkan tahun lalu, nyaris menyentuh 200 ribu ton. Ini adalah dampak dari banjirnya proyek smelter di Indonesia setelah kebijakan larangan ekspor bijih nikel diberlakukan sejak 2020.

    Fakta menarik lainnya, Indonesia kini jadi markas besar smelter nikel dunia dengan jumlah fasilitas pengolahan yang melonjak drastis dari hanya empat smelter satu dekade lalu menjadi 44 smelter per September 2024. Di sisi lain, ada sedikit kabar baik dari China. Data PMI manufaktur mereka menunjukkan kenaikan pada Februari yang setidaknya memberi sedikit harapan bahwa permintaan industri bisa mulai pulih dan menahan tekanan bearish di pasar nikel.

    Ada fakta menarik lainnya yang perlu diperhatikan. Berdasarkan laporan Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), ternyata sekitar 75 persen mobil listrik yang terjual di Indonesia pada 2022 ternyata tidak menggunakan baterai berbasis nikel. Analis energi dari IEEFA, Putra Adhiguna, mengatakan sebagian besar kendaraan listrik, terutama Wuling Air EV—yang mendominasi pasar dengan pangsa 75 persen—justru mengandalkan baterai lithium iron phosphate (LFP) yang lebih murah dan tidak mengandung nikel.

    "75 persen dari mobil listrik yang terjual di Indonesia tahun (2022) lalu tidaklah menggunakan baterai nikel, namun menggunakan baterai berbasis besi dengan harga lebih terjangkau. Tren yang sama mungkin akan berkembang di segmen roda dua. Apakah kendaraan listrik Indonesia akan menggunakan nikelnya masih menjadi pertanyaan," kata Putra dalam laporan tersebut.

    Data dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) ini menunjukkan bahwa sebagian besar kendaraan listrik (EV) yang mendapatkan insentif di Indonesia ternyata tidak menggunakan baterai berbasis nikel. Pada segmen roda empat, Wuling Air EV, yang menguasai 75 persen pangsa pasar, menggunakan baterai lithium iron phosphate (LFP) yang tidak mengandung nikel. Hanya Hyundai Ioniq 5 yang kemungkinan memakai baterai berbasis nikel, meskipun tidak secara spesifik disebutkan jenisnya. Sumber: IEEFA.

    Putra pun menyoroti tren ini bisa terus berkembang di segmen kendaraan roda dua karena harga baterai LFP yang lebih terjangkau "Tren yang sama sangat mungkin ditemukan di segmen roda dua, di mana harga LFP yang lebih rendah memberikan keuntungan di pasar yang sensitif terhadap harga seperti Indonesia," katanya.

    Jadi, kalau selama ini ada anggapan bahwa industri EV bakal jadi pahlawan penyelamat harga nikel, faktanya belum sampai ke titik itu. Sementara itu, nikel tetap bergantung pada industri stainless steel, yang saat ini juga lagi susah napas.  

    Meski begitu, Surya Rianto tetap optimistis Indonesia masih bisa mempertahankan dominasinya di industri hilirisasi nikel. Bahkan, dalam kondisi tertentu, Indonesia bisa punya andil dalam menentukan arah harga global. 

    "Jika oversupply berlanjut, apakah kita masih bisa mempertahankan keunggulan di industri hilirisasi nikel? Jawabannya, bisa banget. Indonesia secara tidak langsung adalah penentu arah harga. Jika ada kebijakan pemangkasan produksi, harga nikel bisa langsung naik," jelasnya.  

    Artinya, kalau pemerintah mau sedikit bermain strategi dengan mengerem produksi, efeknya bisa langsung terasa ke pasar global. Ini mirip dengan strategi OPEC di sektor minyak, di mana pasokan dikontrol biar harga tetap stabil.  

    Surya juga menambahkan, dalam kondisi harga nikel yang terus melemah, produsen yang kurang efisien—seperti di China dan Kaledonia Baru—berpotensi mengurangi produksi atau bahkan gulung tikar. Kalau itu terjadi, pasar bakal menemukan keseimbangan baru dan saat itulah peluang Indonesia semakin terbuka lebar.  

    "Intinya, kita hanya perlu menunggu permintaan yang lebih kuat dan melihat penurunan produksi dari pesaing akibat harga yang sudah tidak menguntungkan. Begitu titik keseimbangan itu tercapai, nikel bisa kembali bangkit," katanya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.