KABARBURSA.COM - Pemerintah menggulirkan narasi baru: menjadikan mineral kritis sebagai alat tawar strategis dalam merespons ketegangan dagang dengan Amerika Serikat. Namun di balik wacana tersebut, muncul pertanyaan mendasar dari kalangan analis: apakah pendekatan ini efektif atau justru membuka risiko baru?
Fahmy Radhi, Pengamat Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), menilai wacana tersebut harus dilihat secara proporsional.
“Kalau mineralnya batu bara atau emas dari Freeport, saya kira tidak akan menimbulkan friksi serius. Amerika tetap butuh, dan sejauh ini Indonesia bukan mitra dagang utama mereka seperti China,” ujarnya kepada KabarBursa.com di Jakarta, Sabtu, 19 April 2025.
Menurutnya, selama ekspor Indonesia ke AS tidak menyentuh komoditas sensitif atau strategis bagi keamanan nasional AS, maka risiko pembalasan dagang relatif kecil.
“Yang perlu dicermati justru komoditas hasil industri yang bisa bersinggungan dengan sektor manufaktur Amerika. Di situ titik rawannya,” kata Fahmy.
Rebalancing Neraca Dagang
Alih-alih menjadikan hilirisasi sebagai instrumen tekanan, Fahmy menyarankan strategi yang lebih diplomatis dan berorientasi pada neraca.
“Yang paling konkret dan kredibel saat ini adalah memperkecil defisit neraca perdagangan kita dengan AS,” tegasnya.
Salah satu opsi yang diusulkan adalah pengalihan impor energi dari kawasan Timur Tengah ke Amerika.
“Minyak mentah dan LPG, itu dua komoditas yang bisa kita alihkan ke AS. Kilang kita butuh pasokan stabil, dan ini bisa jadi win-win solution,” lanjutnya.
Fahmy juga menyoroti potensi kerja sama teknologi, khususnya dalam proyek gasifikasi batu bara yang sedang didorong pemerintah.
“Teknologinya bisa kita beli dari AS. Dengan begitu, kita tak hanya menutup defisit lewat barang, tapi juga lewat jasa,” katanya.
Jangan Ulangi Kesalahan Nikel
Fahmy mengingatkan, jika Indonesia ingin menjadikan hilirisasi sebagai kekuatan tawar, maka pendekatannya harus holistik dan tidak terburu-buru.
“Jangan seperti hilirisasi nikel. Terlalu cepat, tanpa kesiapan teknologi dan investor dalam negeri. Akhirnya yang untung pihak asing, kita hanya dapat limbah dan kerusakan lingkungan,” tuturnya.
Baginya, hilirisasi seharusnya diarahkan untuk membentuk ekosistem industri, bukan sekadar menghasilkan produk setengah jadi.
“Kalau tidak, strategi ini hanya jadi bumerang. Kesan kuat di luar, tapi rapuh di dalam,” pungkasnya.
Punya Potensi Besar
Founder Mikirduit.com Surya Rianto menekankan meski sektor ESDM punya potensi besar, tantangan yang ada saat ini tidak bisa dianggap remeh.
“Kalau mau dilakukan impor minyak dan liquified petroleum gas (LPG) dari Amerika Serikat (AS) memang bisa nutup sih. Ini jadi solusi. Untuk respons pasar, terserah bagaimana cara negosiasinya, yang penting timbal baliknya oke seperti tarif 0 persen. Kalau ada yang nyata seperti itu, baru bisa direspons pasar,” ujar Surya kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Kamis, 17 April 2025.
Pernyataan Bahlil mengenai potensi devisa sektor ESDM tentu menggugah banyak pihak, namun bagi investor, fokus utama adalah bagaimana kebijakan tersebut dapat mempengaruhi valuasi saham-saham yang terlibat dalam hilirisasi.
Saham-saham seperti PT Aneka Tambang Tbk (ANTM), PT Timah Tbk (TINS), PT Vale Indonesia Tbk (INCO), dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) selama ini menjadi indikator penting dalam mengukur sentimen pasar terhadap sektor hilirisasi ini.
Namun, Surya mengingatkan bahwa ada sejumlah faktor yang perlu diperhatikan. "Terkait hilirisasi ini terkait program di mineral logam ya. Pemerintah baru saja nyesuain royalti terbaru, yang menurut kami dalam jangka pendek efeknya malah enggak terlalu oke untuk bisnis hilirisasi," katanya.
"Karena harga nikel lagi di bawah ditambah kenaikan royalti. Ini bisa jadi seleksi alam untuk menurunkan produksi nikel di Indonesia," tambah Surya.
Meski demikian, Surya tetap melihat prospek positif dalam jangka panjang. “Tapi sektor ini tetap menarik sih menurut saya karena mereka butuh penyesuaian keseimbangan antara supply dan demand. Kebijakan royalti ini bisa membantu menyesuaikan dari supply sambil tunggu demand-nya pulih.” lanjutnya.
Ketegangan tarif global yang terus berlanjut memicu kekhawatiran di kalangan investor. Dengan volatilitas pasar yang meningkat, banyak yang bertanya-tanya sektor mana yang lebih resilient dan layak dilirik untuk memperkuat portofolio defensif di tengah ketidakpastian ini.
Menurutnya, dalam kondisi ketegangan pasar yang terus berlanjut, langkah pertama yang bijak adalah mempertahankan likuiditas.
"Kalau ketegangan berlanjut, ya lebih baik stay cash dulu saja di reksa dana pasar uang atau obligasi negara. Nanti, kalau sudah mulai kelihatan ketegangan mereda, baru kita bisa cicil ke saham-saham yang murah, baik itu saham siklikal maupun defensif," jelas Surya.
Surya juga menyarankan untuk mengambil pendekatan bertahap dalam membeli saham, terutama saham yang undervalued.
"Kalau mau, bisa cicil di saham yang murah saat ini. Saham-saham big bank, misalnya, masih cukup murah. Jika ingin mengambil risiko sedikit lebih tinggi, saham-saham nikel seperti INCO dan NCKL juga bisa menjadi pilihan," tambahnya.
Selain itu, Surya juga menyoroti sektor telekomunikasi, yang menurutnya cukup defensif di tengah ketidakpastian pasar.
"Saham menara telekomunikasi seperti TOWR juga sudah cukup murah. Ini bisa jadi pilihan defensif yang menarik, mengingat kebutuhan terhadap infrastruktur telekomunikasi terus meningkat," katanya.
Namun, Surya mengingatkan agar investor tidak terburu-buru untuk mengejar saham-saham logam yang sudah mengalami kenaikan harga yang signifikan.
"Untuk saham-saham logam yang sudah naik tinggi, sebaiknya kita wait and see dulu saja. Jangan tergoda untuk masuk terlalu cepat, karena harga bisa saja terkoreksi lagi," tutupnya.