KABARBURSA.COM - Pemerintah tengah berupaya untuk mewujudkan hunian layak bagi masyarakat dalam rangka mengurangi jumlah backlog perumahan, salah satu upayanya melalui Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat (BP Tapera).
Hingga 15 Agustus 2024, BP Tapera telah menyalurkan pembiayaan perumahan melalui skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) sebanyak 111.784 unit rumah, dengan total nilai mencapai Rp13,62 triliun.
Penyaluran ini mencakup 33 provinsi dan 387 kabupaten/kota, melibatkan 37 bank penyalur, serta dibangun oleh 6.579 pengembang di 9.713 lokasi perumahan.
Selain itu, melalui skema pembiayaan Tapera, telah disalurkan sebanyak 3.512 unit rumah dengan total nilai Rp583,55 miliar. Namun, menurut Deputi Komisioner Bidang Pemupukan Dana BP Tapera, Doddy Bursman, upaya ini tidak bisa dilakukan sendirian oleh BP Tapera.
“Kami membutuhkan kerja sama yang kuat dari seluruh pemangku kepentingan terkait dalam ekosistem perumahan,” kata Doddy dalam keterangan resmi yang dirilis pada Senin, 26 Agustus 2024.
Berdasarkan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2023, angka backlog kepemilikan rumah secara nasional masih sangat tinggi, mencapai 9,9 juta rumah tangga. Selain itu, terdapat pula backlog Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) yang menyentuh angka 26,9 juta rumah tangga pada periode yang sama.
Data ini menunjukkan betapa krusialnya kebutuhan akan perumahan yang layak bagi masyarakat, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan, dengan sebaran di 98 wilayah perkotaan dan 416 wilayah pedesaan (pesisir dan non-pesisir).
Doddy menegaskan bahwa pemerintah hadir melalui dukungan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan BP Tapera bertindak sebagai Operator Investasi Pemerintah (OIP) yang mengelola dana FLPP, sekaligus sebagai aggregator kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) untuk perumahan.
"Namun, tidak hanya pemerintah yang harus berperan aktif. Diperlukan juga dukungan penuh dari sektor perbankan untuk menyalurkan pembiayaan, dari pengembang untuk menyediakan suplai rumah yang memadai, serta kerja sama erat dari seluruh pemangku kepentingan lainnya," jelas Doddy.
Tantangan dalam mengatasi backlog perumahan ini, lanjut Doddy, sangat kompleks. Salah satunya adalah keterbatasan lahan yang menyebabkan harga tanah melambung tinggi, terutama di kawasan perkotaan, serta lokasi perumahan yang sering kali jauh dari pusat kegiatan ekonomi, menambah beban waktu tempuh bagi penghuninya.
Selain itu, dari sisi konstruksi, harga bahan bangunan yang tinggi, akibat minimnya produksi massal dan terbatasnya ketersediaan rumah layak huni yang berwawasan lingkungan, turut menjadi penghambat dalam mewujudkan perumahan yang mendukung inisiatif hijau yang sedang digalakkan pemerintah.
Kementerian Khusus Perumahan Rakyat
Presiden Terpilih, Prabowo Subianto, diminta untuk membentuk kementerian yang khusus mengurusi persoalan perumahan, terutama perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Alasan perlu dibentuknya kementerian khusus perumahan itu karena peran vitalnya dalam menangani masalah perumahan rakyat yang selama ini sering kali tertutupi oleh urusan infrastruktur.
Selama satu dekade atau 10 tahun pemerintahan Jokowi, urusan perumahan rakyat digabungkan dengan infrastruktur yang dianggap banyak pihak justru jadi penghambat.
Untuk dapat mencapai target membangun tiga juta rumah per tahun, kehadiran kementerian khusus perumahan dinilai menjadi solusi yang tidak bisa ditawar lagi.
Ketua Umum DPP Realestat Indonesia (REI), Joko Suranto, menekankan bahwa target pembangunan tiga juta rumah yang diusung Prabowo-Gibran bukanlah hal sepele. Program ini memerlukan dukungan penuh dari segi anggaran dan kebijakan.
“Program ini tidak akan berjalan tanpa adanya desk khusus yang fokus menangani perumahan,” kata Joko kepada Kabar Bursa, Senin, 26 Agustus 2024.
Joko menambahkan, desk khusus ini diperlukan untuk mengatasi berbagai regulasi di sektor perumahan yang selama ini justru menjadi penghambat perkembangan industri.
Tak hanya terkesan menghalang-halangi penyediaan perumahan untuk rakyat, Jokowi menilai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah saat ini juga tidak sejalan dengan kebutuhan dunia usaha yang terkait.
"Banyak ketentuan dan regulasi di sektor perumahan yang selama ini kontra produktif, bahkan tidak bersahabat dengan dunia usaha, sehingga menghambat penyediaan perumahan," tegasnya.
Lanjut Joko, jika pemerintahan Prabowo-Gibran serius ingin merealisasikan program tiga juta rumah, maka kementerian khusus yang menangani masalah perumahan harus dibentuk.
Kementerian ini, lanjut Joko, memiliki tugas sebagai pengatur koordinasi lintas sektoral, perencana program, dan eksekutor.
“Ketiga fungsi tersebut harus ada, karena program ini merupakan pekerjaan khusus yang menjadi prioritas Prabowo-Gibran,” ujar Joko.
Usulan senada juga dilontarkan Sekjen DPP Asosiasi Pengembangan Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), Daniel Djumali. Dia menilai Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) selama ini kurang fokus pada masalah perumahan, karena lebih banyak berkutat pada urusan infrastruktur.
“Untuk itu, agar program pembangunan tiga juta rumah Prabowo-Gibran terealisasi diperlukan kementerian khusus perumahan dan badan khusus yang menangani masalah ini,” kata Daniel.
Kemudian dia menyoroti masalah kuota Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) untuk rumah subsidi yang habis pada Agustus 2024, sebagai contoh ketidakfokusan pemerintah dalam menangani isu perumahan.
Daniel menegaskan bahwa kuota rumah subsidi yang terbatas akan berdampak besar, mengingat perumahan memiliki efek domino yang luas terhadap sektor lainnya.
"Kuota rumah subsidi yang terbatas akan berdampak besar, karena perumahan punya efek yang luas ke sektor lain," tukasnya.