Logo
>

IESR: Proyek EBT Jalan di Tempat karena Lemahnya Kebijakan

Realisasi EBT hingga akhir 2025 kemungkinan hanya bisa mencapai 2 GW saja, jauh di bawah target.

Ditulis oleh Dian Finka
IESR: Proyek EBT Jalan di Tempat karena Lemahnya Kebijakan
PLTB Jeneponto. (Foto: KabarBursa/Abbas Sandji)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Lambatnya realisasi proyek energi baru dan terbarukan (EBT) seperti PLTS, PLTB, hingga pembangkit geothermal dinilai bukan sekadar persoalan teknis. Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa, menyebut ada hambatan sistemik yang menjadikan transisi energi Indonesia masih jauh dari kata serius.

    "Kenapa pengembangan energi terbarukan kita lambat? Karena ada kombinasi berbagai faktor. Mulai dari kebijakan, dominasi PLN sebagai off-taker tunggal, hingga keterbatasan pendanaan,” ujar Fabby saat dihubungi KabarBursa.com, Jumat, 16 Mei 2025.

    Fabby menilai, akar persoalan pertama ada pada kualitas kebijakan dan regulasi yang berubah-ubah. Hal ini menurutnya sangat mempengaruhi minat dan persepsi risiko investor yang ingin masuk ke proyek EBT di Indonesia.

    “Contohnya, dulu sempat ada kebijakan feed-in tariff yang dianggap menarik, lalu tiba-tiba dicabut. Sekarang malah pakai skema harga yang justru bikin proyek EBT tidak bankable secara komersial,” tegasnya.

    Tak hanya itu, ia juga menyoroti peran dominan PLN dalam menentukan nasib proyek energi bersih. Sebagai BUMN yang ditunjuk negara menyediakan listrik nasional, PLN berperan sebagai off-taker utama dalam proyek-proyek EBT.

    “Kalau saya mau bangun PLTS atau PLTB, siapa yang beli listriknya? Konsumen akhir tetap lewat PLN. Jadi kalau PLN lambat dalam perencanaan, lelang, atau pembangunan infrastruktur, ya proyeknya mandek,” kata Fabby.

    Ia merujuk pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021–2030 yang telah disetujui Kementerian ESDM. Dalam rencana tersebut, PLN ditargetkan membangun 20,9 GW pembangkit EBT hingga 2030. Namun realisasinya jauh dari harapan.

    “Sampai kuartal pertama 2025 ini, dari target 10 GW yang seharusnya beroperasi di akhir 2025, baru 1,6 GW yang terwujud. Artinya, baru 16 persen. Bahkan kalau dihitung dari target 2030, progresnya baru sekitar 7–8 persen,” ungkapnya.

    Menurut Fabby, dengan tren seperti ini, realisasi EBT hingga akhir 2025 kemungkinan hanya bisa mencapai 2 GW saja, jauh di bawah target. “Yang lainnya masih dalam tahap perencanaan, konstruksi, atau bahkan belum dilelang,” ujarnya.

    Selain masalah kebijakan dan peran PLN, Fabby juga menyoroti tantangan pendanaan yang belum terpecahkan. Ia menilai pendanaan domestik untuk proyek energi bersih masih sangat terbatas dan tidak sesuai dengan kebutuhan sektor.

    “Misalnya, dengan harga listrik yang disubsidi dan ditetapkan pemerintah, maka proyek EBT harus bisa bersaing dengan biaya pokok penyediaan listrik nasional. Ini tidak mudah, apalagi tanpa insentif tambahan,” jelasnya.

    Fabby menekankan, jika pemerintah ingin transisi energi berjalan sesuai target, maka perlu ada konsistensi antara regulasi, pelaksanaan proyek, dan kebijakan fiskal. Tanpa itu, menurutnya, proyek EBT akan terus tertinggal dibanding energi fosil.

    “Transisi energi bukan cuma soal bikin target besar, tapi soal pelaksanaan. Kalau pemerintah masih ragu-ragu, proyek energi bersih akan terus jalan di tempat,” pungkasnya.

    Energi Terbarukan PLN yang Siap Beroperasi

    Sementara PLN terus merancang pembangunan jaringan hijau untuk mendukung distribusi energi terbarukan hingga 2040, anak perusahaannya, PLN Indonesia Power, juga tidak kalah cepat dalam menghadirkan pembangkit-pembangkit energi terbarukan yang siap beroperasi dalam waktu dekat.

    Direktur Utama PLN Indonesia Power Edwin Nugraha Putra, mengungkapkan beberapa proyek unggulan segera hadir, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Jatigede dengan kapasitas 110 MW, serta Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) terapung di Waduk Singkarak sebesar 50 MW dan Saguling sebesar 60 MW, yang menggandeng mitra global kelas satu.

    “Kami juga berhasil menghadirkan Green Hydrogen Plant Kamojang yang dibangun untuk menjadi pionir ekosistem hidrogen dari hulu hingga hilir, termasuk Hydrogen Refueling Station di Senayan, Jakarta,” ujar Edwin.

    Selain itu, PLN Indonesia Power juga merampungkan pembangunan pabrik Solar PV pertama dan terbesar di Indonesia, bekerja sama dengan produsen Solar PV terkemuka. Langkah ini mendukung program Accelerated Renewable Energy Development (ARED) dalam pengembangan energi terbarukan.

    Komitmen PLN terhadap pengurangan karbon semakin kuat dengan hadirnya PLTU Suralaya 9-10, yang mengadopsi teknologi Ultra Selective Catalytic Production. Proyek ini menjadi pembangkit hybrid pertama di Indonesia yang memanfaatkan amonia hijau dan hidrogen hijau sebagai energi primer.

    Pengembangan energi terbarukan lainnya meliputi proyek di 13 lokasi, dengan membangun 12 PLTS dan 1 Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB) berkapasitas total 1.055 MW. Proyek ini dilaksanakan secara bundling untuk mempercepat implementasi.

    Edwin menambahkan, PLN Indonesia Power juga fokus mendukung transisi energi berkelanjutan, salah satunya melalui penerbitan Sertifikat Penurunan Emisi dari PLTM Gunung Wugul yang diperdagangkan di Bursa Karbon Indonesia. Program cofiringjuga dijalankan untuk memanfaatkan biomassa sebagai energi primer di PLTU, dengan PLTU Sintang sukses menerapkan cofiring 100 persen biomassa secara kontinyu selama 24 jam.

    “Selain itu, PLN Indonesia Power telah berhasil melakukan uji coba cofiring hidrogen hijau di PLTDG Pesanggaran, dan uji cofiring amonia hijau di PLTU Labuan. Semua upaya ini dilakukan untuk mengurangi emisi karbon dan mendukung target Net Zero Emission 2060,” kata Edwin.

    Direktur Utama PLN Darmawan Prasodjo, mengatakan PLN Indonesia Power kini berorientasi pada masa depan dengan fokus pada energi bersih. “PLN Indonesia Power telah berhasil mengubah tantangan menjadi kekuatan masa depan,” ujarnya.(*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.