KABARBURSA.COM – Indonesia Fintech Society (IFSoc) menanggapi perkembangan penyelidikan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) terhadap dugaan kartel di industri pinjaman daring (pindar).
KPPU tengah menelaah penetapan batas atas suku bunga atau manfaat ekonomi pada Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (fintech lending) yang dilakukan Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pada 2018.
IFSoc menilai, perkara ini sebaiknya ditempatkan dalam perspektif lebih luas, khususnya menyangkut perlindungan konsumen sekaligus penataan perilaku pasar.
Forum diskusi kebijakan ini beranggotakan sejumlah tokoh lintas sektor, mulai dari ekonom senior Hendri Saparini, Prasetyantoko, Yose Rizal, hingga pelaku industri seperti Syahraki Syahrir
Ada pula perwakilan modal ventura Eddi Danusaputro, mantan Menkominfo Rudiantara, mantan Komisioner OJK Tirta Segara, dan mantan Asisten Gubernur BI Dyah Nastiti.
“Penetapan ini bukanlah kartel. Kalau kita lihat ke belakang, saat itu OJK memberi arahan kepada AFPI untuk menata perilaku pasar lewat Code of Conduct,” kata Anggota Dewan Pengarah IFSoc Tirta Segara dalam keterangan tertulis, Rabu, 3 September 2025.
Tirta menuturkan, penetapan batas atas suku bunga akan menjadi pijakan awal penerbitan ketentuan batas atas manfaat ekonomi pindar dan yang langsung ditetapkan oleh OJK pada tahun 2023 dalam Surat Edaran OJK (SEOJK) 19/SEOJK.06/2023.
Anggota Dewan Pengarah IFSoc yang juga pernah menjadi Komisioner OJK (2017–2022), Tirta Segara, menegaskan, Langkah “Hal ini juga telah dijelaskan dalam surat OJK kepada AFPI tanggal 16 Mei 2025. Tujuannya bagus, untuk melindungi konsumen dan masyarakat dari adanya suku bunga pinjol ilegal pada saat itu yang luar biasa tinggi,” imbuh mantan Komisioner OJK tahun 2017-2022.
Hal senada juga disampaikan Anggota Dewan Pengarah IFSoc lainnya, Syahraki Syahrir. Menurutnya, kebijakan tersebut justru memberi manfaat nyata.
“Kita melihat suku bunga yang tadinya sangat tinggi akhirnya bisa terus diturunkan. Batas atas ini berfungsi sebagai pagar pengaman, sementara harga tetap bergerak mengikuti mekanisme pasar,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, KPPU sedang mendalami dugaan kartel penetapan bunga pada 2018, saat pinjaman online ilegal marak dengan bunga sangat tinggi. Untuk menekan praktik tersebut, OJK kala itu menginstruksikan AFPI mengatur batas bunga melalui Code of Conduct sebesar 0,8 persen per hari.
Pada 2021, batas itu kembali dipangkas menjadi 0,4 persen per hari. Sejak 2023, kewenangan penuh diambil alih OJK melalui SEOJK 19/SEOJK.06/2023 yang menetapkan bunga maksimal 0,3 persen untuk pinjaman konsumtif dan 0,1 persen untuk pinjaman produktif.
Tirta menekankan, bahwa aturan tersebut mengatur batas atas, bukan penyeragaman harga. “Fakta menunjukkan ruang kompetisi sesuai mekanisme pasar tetap terbuka. Kenyataannya banyak pelaku tidak mematok bunga di level yang sama. Sehingga tidak tepat jika dikatakan adanya ‘kartel’ di industri fintech lending,” jelasnya.
Lebih lanjut, Syahraki mengusulkan agar KPPU dan OJK duduk bersama. “Apabila terbukti kebijakan tersebut menimbulkan distorsi pasar, maka lembaga terkait diminta mengevaluasi atau mencabut kebijakannya. Prioritasnya tetap harus konsumen,” kata dia.
“Kita memerlukan ekosistem yang melindungi peminjam dari praktik pinjaman eksesif sambil menjaga kompetisi agar mendorong inovasi dan akses pembiayaan yang lebih luas. Di sinilah pentingnya regulatory coherence antara otoritas sektor keuangan dan otoritas persaingan usaha,” ujarnya. (*)