KABARBURSA.COM – Pagi yang muram menyelimuti lantai bursa Indonesia pada Selasa, 8 April 2025. Indeks Harga Saham Gabungan atau IHSG anjlok lebih dari 9 persen saat pasar dibuka imbas tarif dagang yang diluncurkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump kepada semua negara-negara yang menjadi mitra dagangnya.
Kondisi pasar yang panik ini memaksa Bursa Efek Indonesia atau BEI menghentikan perdagangan sementara lewat skema trading halt. Pada saat yang sama, bursa-bursa besar Asia justru mulai pulih dari guncangan tarif. Tokyo di Jepang melonjak 6 persen, Hong Kong ikut bangkit 1 persen, Shanghai China kembali hidup sampai 1,4 persen, di samping Kospy Korea Selatan yang berhasil naik 0,3 persen.
Hanya Indonesia dan Thailand yang justru terjungkal. Bangkok turun 4,2 persen, sementara Indonesia lebih parah dengan penurunan mencapai 9,19 persen.
Analis Pasar Modal dari Mikirduit, Surya Rianto, menilai tekanan yang terjadi pada IHSG bukan datang tiba-tiba. Libur panjang di dalam negeri setelah Ramadan justru membuat respons Indonesia terhadap gejolak global akibat tarif dagang sedikit tertunda. Ketika negara lain sudah lebih dulu menyesuaikan, Indonesia baru "kebagian" akumulasi tekanan.
Pelemahan nilai tukar rupiah ke Rp16.800 per USD menjadi salah satu indikator kuat investor asing melakukan aksi jual besar-besaran. Kondisi pasar ini pun langsung menekan IHSG sangat dalam. “Skala jual asing besar, jadi berasa sehingga memicu tekanan jual yang bikin beberapa pemain ritel lokal juga (ikutan) jual,” kata Surya saat dihubungi KabarBursa.com di Jakarta, Selasa, 8 April 2025.
Menurut dia, asing tidak cuma jual saham, tapi juga langsung mengonversi hasil penjualan ke dolar. Alhasil, tekanan terhadap rupiah berlipat. Kombinasi antara arus modal keluar atau capital outflow dari pasar saham dan obligasi menciptakan beban ganda pada pasar keuangan domestik.
Dari sisi fundamental, IHSG sebenarnya masih relatif aman. Yang sedang terjadi adalah pengujian sentimen pasar karena efek dari kebijakan tarif AS yang meluas. “Risiko global sudah terjadi di negara lain, tapi kita masih libur. Akumulasinya terjadi sekarang,” jelasnya.
Ketegangan tarif yang dipicu Presiden Donald Trump disebutnya sebagai sentimen yang bisa berdampak ke hampir seluruh sektor. Bukan hanya manufaktur atau komoditas ekspor. Jika sektor padat karya terguncang karena kehilangan daya saing, efek lanjutan bisa menjalar ke daya beli dan konsumsi rumah tangga. Ini bukan soal satu-dua saham, tapi soal denyut ekonomi makro.
“Kecuali jika pemerintah berhasil negosiasi dengan hasil yang bagus,” kata Surya.
Di tengah ketidakpastian ini, strategi bagi investor ritel tidak bisa disamaratakan. Bagi mereka yang bermain dalam horizon jangka panjang (lebih dari dua tahun), Surya menyarankan untuk mulai mencicil beli saham dengan fundamental kuat, secara bertahap, tanpa buru-buru. “Soalnya risiko masih ada, tapi kita bisa masuk saat harga sahamnya sudah cukup murah karena sentimen eksternal,” kata Surya.
Untuk yang bermain di jangka menengah, ia menyarankan untuk merealisasikan keuntungan jika sudah floating profit atau mencairkan jika masih floating loss ringan, maksimal 10 persen. “(Ini) buat dijadiin cash, ujarnya.”
Adapun bagi para trader harian, saran dia sederhana, jangan bawa posisi pulang atau hold. Musababnya, volatilitas terlalu tinggi untuk ditahan lebih dari satu sesi perdagangan. “Risk lebih besar daripada reward-nya.”
Ia juga menilai koreksi lanjutan masih mungkin terjadi, meski lebih condong bergerak sideways dalam jangka menengah. Pasalnya, belum ada perubahan signifikan dalam kondisi makroekonomi yang bisa menjadi penahan kuat. Satu-satunya kemungkinan pemicu relief rally adalah kejutan dari Washington—misalnya jika Trump menunda atau membatalkan kebijakan tarifnya.
Namun, Surya tak yakin itu akan terjadi dalam waktu dekat. Maka bagi investor yang sedang cemas, kuncinya ada pada ketenangan membaca arah dan keberanian memilah strategi.
Wall Street tak Kalah Goyang
Saran bertahan dari Surya mencerminkan satu hal: tekanan pasar tak hanya dirasakan di Jakarta, tapi juga mengguncang bursa global yang masih berusaha menebak langkah Trump selanjutnya. Senin kemarin, Wall Street juga sempat gonjang-ganjing. Indeks S&P 500 melemah 0,2 persen karena pelaku pasar waswas menanti langkah lanjutan dari Trump.
Bila Trump menurunkan tarif setelah ada kesepakatan dagang dengan negara lain, resesi bisa dihindari. Tapi kalau dia tetap keras kepala, harga saham berpotensi longsor lebih dalam. Dow Jones turun 0,9 persen, sementara Nasdaq justru naik tipis 0,1 persen.
Ketiga indeks itu awalnya dibuka dengan penurunan tajam. Dow Jones bahkan sempat terjun 1.700 poin, sebelum tiba-tiba berbalik arah dan melonjak 900 poin di sesi siang. S&P 500 juga berbalik dari minus 4,7 persen menjadi naik 3,4 persen—hampir jadi lonjakan terbaik dalam beberapa tahun terakhir.
Sayangnya, kenaikan itu didorong oleh rumor palsu bahwa Trump sedang mempertimbangkan jeda tarif selama 90 hari. Kabar itu langsung dibantah oleh akun resmi Gedung Putih di platform X sebagai “berita palsu”. Fakta bahwa rumor semacam ini bisa menggerakkan triliunan dolar menunjukkan betapa besarnya harapan pasar agar Trump sedikit mengendurkan kebijakan tarifnya.
Tapi kenyataan justru sebaliknya. Setelah kabar itu dibantah, pasar kembali melemah. Trump malah makin galak. Sampai-sampai ia menyebut siap menaikkan lagi tarif terhadap China setelah negara itu membalas pekan lalu dengan tarif balasan 34 persen atas produk Amerika.
Trump memang getol menantang globalisasi—yang meski menurunkan harga barang, juga menyebabkan pekerjaan manufaktur berpindah ke negara lain. Ia berulang kali menyatakan ingin membawa kembali industri ke tanah Amerika. Namun proses ini bisa makan waktu bertahun-tahun. Ia juga ingin memangkas defisit dagang AS dengan negara-negara mitra, meski tak jelas seberapa besar ruang negosiasi yang tersisa.
Sepanjang hari Senin, indeks saham bergerak liar antara zona merah dan hijau. Investor tampaknya masih menyimpan harapan bahwa negosiasi dagang bisa mencegah tarif baru diberlakukan secara penuh. Satu hal yang pasti, rasa sakit secara finansial makin terasa di seluruh dunia.(*)