Logo
>

IMF Usul Dana Insentif untuk Properti, China Menolak

Ditulis oleh Syahrianto
IMF Usul Dana Insentif untuk Properti, China Menolak

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Pemerintah China menolak saran dari International Monetary Fund (IMF) untuk menggunakan dana dari pemerintah pusat guna menyelesaikan proyek perumahan yang tertunda akibat krisis properti.

    Menurut laporan Bloombergs, IMF meminta pemerintah China untuk segera memberikan dukungan fiskal guna memulihkan pasar properti yang stagnan. IMF memperkirakan bahwa insentif fiskal yang diperlukan untuk merangsang pasar properti harus setara dengan 5,5 persen dari produk domestik bruto (PDB) China selama empat tahun, atau sekitar USD1 triliun.

    Namun, Zhang Zhengxin, Direktur Eksekutif IMF untuk Republik Rakyat Tiongkok, menolak usulan tersebut. Dia mengkhawatirkan bahwa langkah ini dapat menyebabkan penyempitan fiskal negara dan menciptakan ekspektasi bailout pemerintah di masa depan, yang dapat menimbulkan bahaya moral.

    Ekonom China di Societe Generale SA, Michelle Lam, menyebut penolakan tersebut sebagai hal yang mengecewakan. Michelle berpendapat bahwa pemerintah China tampak mengabaikan kemerosotan situasi pasar properti yang saat ini sedang terjadi, meskipun keputusan tersebut dianggap untuk menjaga stabilitas kepercayaan pasar.

    Pasar Properti Lesu

    Sebagaimana diketahui, properti menjadi salah satu sektor yang memiliki multiplier effect yang luas. Alhasil, seretnya penjualan properti di China menyebabkan ekonomi melambat selama dua tahun terakhir.

    Di sisi lain, pemerintah enggan memberikan insentif fiskal pada sektor properti lantaran ingin melakukan shifting dan menjadikan sektor teknologi dan manufaktur sebagai mesin pertumbuhan ekonomi baru.

    Meski demikian, pemerintah China tidak tinggal diam dengan kondisi sektor properti saat ini. Pada Mei 2024 lalu, China telah meluncurkan paket penyelamatan sektor properti sebesar 300 miliar yuan atau US$42 miliar.

    Lewat dana itu, pemerintah China membeli sejumlah rumah yang telah selesai dibangun oleh pengembang dan menjualnya menjadi rumah subsidi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi pasok perumahan yang makin melebar.

    Akan tetapi, Ekonom Senior RRT di Mizuho Securities Asia Ltd., Serena Zhou menjelaskan bahwa angka yang dikucurkan itu masih jauh dari cukup. Mizuho memproyeksi, setidaknya pemerintah China perlu mengguyur bantuan hingga 5 triliun yuan untuk mengatasi masalah tersebut.

    "Pemerintah sangat tidak mungkin mengubah kebijakannya dalam semalam," kata Serena.

    Insentif Pengembang

    Selain mengusulkan pemerintah China untuk dapat memberikan insentif fiskal pada sektor perumahan, IMF juga sempat meminta pemerintah China untuk segera melikuidasi pengembang yang mengalami kebangkrutan.

    Hal itu perlu dilakukan guna mengurangi risiko kontraksi yang jauh lebih besar dan berlarut-larut pada pasar investasi real estate.

    Di samping itu, langkah tersebut juga dibutuhkan dalam rangka membangun kembali kepercayaan masyarakat dan meningkatkan konsumsi yang bakal berdampak positif pada pertumbuhan dan pendapatan fiskal dalam jangka menengah.

    Secara terpisah, IMF juga sempat memperingatkan pemerintah China terkait risiko penurunan yang signifikan terhadap pendapatan negeri tirai bambu.

    Dalam laporannya, IMF memproyeksikan PDB riil China pada 2029 dapat mencapai 5,4 persen, lebih rendah dalam skenario deflasi yang berkepanjangan.

    Di mana, inflasi inti tetap berada di minus 0,1 persen selama lima tahun. Hal ini juga dapat menyebabkan pertumbuhan yang lebih lambat di antara mitra-mitra dagang RRT.

    IMF juga meminta RRT untuk mengurangi penggunaan kebijakan-kebijakan industri yang ekstensif, yang katanya dapat menciptakan dampak perdagangan yang signifikan.

    Wacana Kenaikan PPN

    Sebagai informasi, dari dalam negeri pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana kembali menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 1 persen, dari 11 persen menjadi 12 persen, yang mulai berlaku pada tahun depan atau per 1 Januari 2025.

    Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang No. 7//2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

    “Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu sebesar 12 persen (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025,” tulis ayat (1) Pasal 7 Bab IV beleid tersebut.

    Sementara itu, dalam kabar terbarunya, Sekretaris Menteri Koordinator bidang Perekonomian (Kemenko Perekonomian) Susiwijono Moegiarso menuturkan saat ini pemerintah telah pemerintah membuat beberapa asumsi yang menjadi dasar target penerimaan pajak tahun depan, termasuk soal kenaikan tarif PPN.

    Namun demikian, Susi menjelaskan pihaknya belum mengetahui apakah pemerintah selanjutnya akan menerapkan tarif PPN 12 persen atau tidak. Akan tetapi, pemerintah petahana telah membuat target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan pertimbangan tersebut.

    “Semua asumsi semua antisipasi apapun sudah dijadikan dasar dalam membuat postur (APBN). Jadi sebenarnya memang sudah dihitung semua,” tuturnya. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.