KABARBURSA.COM – Raksasa-raksasa pengimpor batu bara dunia seperti China, India, Jepang, dan Korea Selatan tampaknya mulai menginjak rem. Pada kuartal pertama 2025, data perusahaan pelacak kapal Kpler, total impor batu bara termal mereka tercatat hanya sedikit di atas 240 juta metrik ton — level terendah sejak tiga tahun terakhir. Angka ini turun sekitar 10 juta ton dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Apa penyebabnya? Ternyata, lonjakan tajam dalam produksi energi bersih jadi aktor utama di balik penurunan ini. Ketika pembangkit listrik tenaga nuklir, surya, dan angin mulai mengambil porsi lebih besar dalam bauran energi, kebutuhan akan batu bara pun secara alami ikut menyusut. Bagi empat negara pengimpor terbesar itu — yang notabene menyumbang hampir 70 persen dari total impor global tahun lalu — ini adalah sinyal kuat bahwa transisi energi memang sedang berlangsung.
China, sang juara dunia dalam urusan konsumsi batu bara, mencatat penurunan paling drastis. Dilansir dari Reuters di Jakarta, Rabu, 23 April 2025, Negeri Tirai Bambu hanya mengimpor 67 juta ton selama Januari hingga Maret 2025 — turun tajam dari hampir 85 juta ton pada periode yang sama tahun lalu. Ini jadi catatan terendah sejak kuartal ketiga 2022. Produksi batu bara dalam negeri yang memecahkan rekor, ditambah aktivitas industri yang masih lesu, membuat China tak lagi agresif menebus batu bara dari luar negeri.
Sementara itu, India juga tak kalah “hemat”. Dengan prioritas tinggi terhadap peningkatan produksi domestik, impor batu bara India pada kuartal pertama hanya mencapai 39 juta ton — turun 5,6 juta ton dibandingkan tahun lalu. Laju rata-rata impor mereka yang semula di kisaran 45 juta ton per bulan kini menyusut jadi sekitar 37 juta ton per bulan sejak pertengahan 2024.
Korea Selatan juga mencatat penurunan signifikan, dengan total impor batu bara kuartal pertama sebesar 15,3 juta ton, turun dari 18,6 juta ton pada 2024. Produksi tenaga nuklir yang mencapai rekor tertinggi membuat kebutuhan akan pembangkit berbasis batu bara dan gas ikut terpangkas.
Jepang menyusul dengan penurunan lebih lunak — dari 27,8 juta ton menjadi sedikit di atas 25 juta ton. Meski terlihat kecil, ini jadi catatan terendah untuk kuartal pertama sejak 2018.
Jika dijumlahkan, empat negara utama ini telah memangkas impor batu baranya sebesar hampir 30 juta ton pada kuartal pertama 2025 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Ini bisa menjadi pertanda awal dari tren baru: penurunan kolektif impor batu bara termal dunia — sesuatu yang terakhir kali terjadi pada 2020.
Meski begitu, beberapa negara berkembang yang ekonominya tumbuh cepat justru mencatatkan kenaikan impor. Ini sedikit menahan laju penurunan total volume perdagangan global batu bara. Namun jika tren pengurangan oleh para pemain besar terus berlanjut, dunia mungkin akan segera menyaksikan momen penting dalam sejarah energi, yakni ketika batu bara benar-benar mulai ditinggalkan secara masif demi masa depan yang lebih hijau.
Pasar Berkembang Mulai Mengisi Celah
Walaupun para raksasa pengimpor batu bara tengah menarik rem, bukan berarti seluruh dunia mengikuti langkah yang sama. Justru sebaliknya, beberapa negara berkembang tampak mulai tancap gas. Pada kuartal pertama 2025, volume impor dari luar China, India, Jepang, dan Korea Selatan menyumbang porsi terbesar dalam tiga tahun terakhir terhadap total impor batu bara global.
Negara-negara seperti Turki, Vietnam, dan Bangladesh mencatatkan rekor tertinggi impor batu bara kuartal pertama sepanjang sejarah mereka. Tak mau ketinggalan, Filipina dan Malaysia juga membukukan angka impor tertinggi kedua sepanjang masa untuk periode yang sama. Sementara itu, Thailand, Pakistan, Hong Kong, Maroko, hingga Belanda—yang menjadi gerbang masuk utama batu bara ke daratan Eropa—semuanya menunjukkan volume impor yang tangguh.
Memang, lonjakan volume ini masih jauh dibandingkan pengurangan hampir 18 juta ton dari China saja. Tapi jangan salah, akumulasi kecil ini bisa jadi besar kalau berlanjut setahun penuh. Turki, misalnya, menambah impor hampir 2 juta ton. Belanda menyusul dengan kenaikan 1,5 juta ton. Lalu Bangladesh, Vietnam, dan Hong Kong masing-masing mencatat tambahan sekitar 1 juta ton.
Apalagi, menurut data Kpler, ada sekitar 43 juta ton batu bara yang dikapalkan selama Maret 2025 dan belum masuk sistem pencocokan data perdagangan mereka. Artinya, angka-angka ini masih bisa naik drastis saat datanya sudah bersih dan diverifikasi, terutama pada kuartal kedua tahun ini—yang secara tradisional justru merupakan periode lesu bagi perdagangan batu bara dunia.
Namun begitu, penurunan signifikan di pasar utama seperti China dan India tetap jadi sorotan utama bagi para pengamat iklim. Bagi mereka, ini adalah sinyal positif yang bisa menunjukkan arah tren jangka panjang: potensi penurunan permanen dalam permintaan global terhadap batu bara termal.
Jadi, meskipun negara-negara seperti Turki atau Vietnam mungkin masih meningkatkan pembelian mereka, jika empat negara utama tetap konsisten memangkas impornya, maka secara keseluruhan volume pengapalan batu bara global sangat mungkin mengalami kontraksi pada akhir tahun. Dan kalau itu terjadi, bisa jadi 2025 adalah titik balik penting dalam upaya global mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil.(*)
Impor Batu Bara Global Terpukul Transisi Energi
China, India, Jepang, dan Korea Selatan kompak memangkas impor batu bara karena pertumbuhan energi bersih. Kuartal I 2025 jadi yang terendah dalam 3 tahun.
