KABARBURSA.COM - Harga batu bara kembali menunjukkan reli impresif dalam empat hari terakhir dan mencatat rekor tertinggi dalam dua pekan terakhir. Mengacu pada data Refinitiv, harga batu bara ditutup di level USD107,9 per ton pada Kamis, 18 September 2025, menguat 1,27 persen dalam sehari.
Jika ditarik lebih jauh, tren kenaikan ini sudah memperpanjang reli menjadi empat hari beruntun dengan akumulasi kenaikan 7,15 persen.
Pendorong utama penguatan harga batu bara kali ini berasal dari China. Negeri Tirai Bambu, yang merupakan produsen sekaligus importir batu bara terbesar di dunia, meningkatkan permintaan impor seiring turunnya produksi domestik.
Data Kpler memperkirakan impor batu bara termal laut China pada September mencapai 27,41 juta metrik ton, melanjutkan tren kuat di Agustus yang mencapai 28,68 juta ton, level tertinggi sejak Desember lalu.
Faktor ini menjadi penopang harga di pasar internasional, meskipun sejumlah analis menilai lonjakan permintaan bersifat sementara karena kebutuhan listrik berbasis batu bara berpotensi mereda setelah musim panas ekstrem berakhir.
Di sisi produksi, China menghadapi tantangan serius. Produksi batu bara domestik pada Agustus tercatat 390,5 juta ton, turun 3 persen dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini dipicu oleh meningkatnya inspeksi keselamatan tambang, yang membatasi pasokan.
Pada saat yang sama, konsumsi justru meningkat karena musim panas terpanas sepanjang sejarah mendorong lonjakan permintaan listrik untuk pendingin ruangan. Data resmi per 15 September menunjukkan pembangkit listrik termal menghasilkan 627,4 miliar kWh pada Agustus, naik 2 persen dari tahun lalu, seiring turunnya produksi tenaga air hingga 10 persen akibat kekeringan di sejumlah wilayah.
Kombinasi penurunan pasokan domestik dan lonjakan konsumsi membuat utilitas listrik di China beralih pada impor, yang secara langsung mendongkrak harga batu bara global.
Kenaikan juga tercermin pada batu bara Indonesia, yang pada pekan berakhir 12 September naik 5,3 persen ke USD42,62 per ton dari titik terendah empat tahun di USD40,45. Batu bara Australia pun mengalami tren serupa, naik 5,9 persen ke USD69,60 per ton pada periode yang sama.
Lonjakan harga ini berpotensi memberi dampak positif pada saham-saham emiten batu bara domestik di Bursa Efek Indonesia. Saham-saham besar seperti PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Bukit Asam Tbk (PTBA), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) biasanya sensitif terhadap perubahan harga batu bara global.
Kenaikan harga komoditas bisa memperkuat kinerja fundamental melalui peningkatan margin penjualan, sehingga menarik minat investor.
Selain itu, saham emiten batu bara dengan basis produksi termal menengah hingga rendah seperti PT Bayan Resources Tbk (BYAN) juga patut dipantau, mengingat harga batu bara kalori rendah dari Indonesia ikut terdongkrak.
Secara keseluruhan, reli batu bara saat ini menunjukkan kombinasi faktor penopang, mulai dari ketatnya pasokan domestik di China, tingginya permintaan listrik akibat cuaca ekstrem, hingga melemahnya produksi energi alternatif seperti tenaga air.
Selama faktor-faktor ini bertahan, harga batu bara berpotensi tetap tinggi dalam jangka pendek. Namun, investor tetap perlu mewaspadai kemungkinan koreksi ketika musim panas berakhir dan permintaan listrik menurun.
Untuk pasar saham domestik, momentum ini membuka peluang bagi sektor energi, khususnya emiten batu bara, untuk kembali menjadi primadona perdagangan dalam beberapa sesi ke depan.(*)