KABARBURSA.COM – Ekonom senior INDEF, Tauhid Ahmad, mengatakan beberapa tantangan berpotensi muncul dalam pelaksanaan skema baru penyaluran subsidi BBM yang mencakup sistem blending dengan bantuan langsung tunai (BLT).
Menurutnya, masalah utama yang dapat menghambat efektivitas kebijakan ini adalah pengumpulan dan validasi data penerima bantuan yang hingga saat ini masih belum sepenuhnya terintegrasi.
“Data penerima subsidi BBM saat ini masih bersifat terpisah dan belum terintegrasi dengan baik. Misalnya, data yang digunakan untuk penerima subsidi BBM belum ada yang berbasis nama atau alamat yang jelas, yang disebut dengan buy name, buy address. Ini sangat penting karena dapat menghindari potensi ketidaktepatan sasaran,” ujar Tauhid saat dihubungi KabarBursa.com pada Kamis, 16 Januari 2025.
Tauhid menjelaskan, penggabungan data penerima subsidi BBM dengan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS)---yang menjadi acuan penyaluran BLT---masih belum berjalan optimal. Hal ini meningkatkan risiko ketidaktepatan sasaran, di mana bantuan dapat diterima oleh pihak yang tidak berhak, sementara mereka yang seharusnya mendapatkan bantuan malah terabaikan.
“Contohnya, penerima BLT saat ini sudah lebih terorganisir, tetapi untuk penerima subsidi BBM, data yang digunakan masih sangat umum dan tidak memiliki identifikasi yang jelas. Ini yang memicu potensi kesalahan dalam penyaluran bantuan,” kata Tauhid.
Selain itu, dia juga menyoroti masalah lain, yaitu adanya penerima BLT yang melebihi kuota atau termasuk kelompok yang tidak tergolong miskin namun tetap menerima bantuan. Di sisi lain, masih ada masyarakat miskin yang seharusnya menerima bantuan tetapi belum tercatat dalam data.
Verifikasi Data Kunci Keberhasilan Skema Baru
[caption id="attachment_73584" align="alignnone" width="1280"] SUBSIDI BBM - Pemerintah Indonesia akan menerapkan skema baru dalam menyalurkan subsidi energi yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT) dan subsidi barang. (Foto: Abbas Sandji/Kabar Bursa)[/caption]
Tauhid mengatakan verifikasi data yang lebih cermat dan teliti adalah langkah pertama yang harus segera dilakukan untuk memastikan bahwa hanya mereka yang berhak menerima subsidi dan BLT. Tanpa proses verifikasi yang matang, kebijakan ini berisiko menciptakan ketidakadilan sosial, yang dapat merugikan masyarakat miskin yang sangat membutuhkan bantuan.
“Penting bagi pemerintah untuk segera melakukan verifikasi data secara menyeluruh, agar tidak ada warga yang terlewatkan atau yang tidak berhak malah mendapatkan bantuan. Ini adalah langkah yang sangat penting untuk menghindari ketimpangan sosial lebih lanjut,” jelas Tauhid.
Tauhid juga menyarankan agar pemerintah menciptakan sistem yang lebih terintegrasi dalam pengumpulan dan penggunaan data. Dengan sistem yang terorganisir dengan baik, penyaluran bantuan subsidi BBM dan BLT akan lebih tepat sasaran dan meminimalkan kesalahan data yang bisa merugikan masyarakat.
“Pemerintah perlu membuat platform yang lebih terbuka dan transparan, di mana data penerima subsidi bisa saling terhubung dengan baik. Hal ini akan membantu memastikan bahwa hanya mereka yang berhak yang menerima bantuan dan sistemnya bisa lebih efektif dalam menanggulangi ketimpangan sosial,” jelas Tauhid.
Tauhid mengimbuhkan, dana yang dialihkan dari pengurangan subsidi BBM seharusnya digunakan untuk mendukung sektor-sektor yang dapat menciptakan lapangan kerja dan mendongkrak perekonomian. Salah satu contohnya adalah dengan memberikan insentif untuk usaha kecil dan menengah (UKM) yang dapat menyerap tenaga kerja.
"Misalnya, memberikan pinjaman berbunga rendah kepada mereka yang membutuhkan modal untuk mengembangkan usaha. Ini akan memberikan dampak yang lebih besar bagi perekonomian, serta mengurangi tingkat pengangguran,” kata Tauhid.
Risiko Inflasi
[caption id="attachment_91019" align="alignnone" width="1280"] Direktur IESR Fabby Tumiwa. Foto: Dok. IESR.[/caption]
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menilai penerapan skema subsidi BBM dengan sistem blending dan pengalihan subsidi menjadi BLT memiliki potensi untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor BBM. Ia menjelaskan kebijakan ini juga dapat memperkuat cadangan devisa negara. Namun, Fabby mengingatkan dampak dari skema blending bisa memicu inflasi jika kenaikan harga BBM turut mendorong lonjakan harga kebutuhan pokok.
“Pengurangan subsidi ini bisa menghasilkan dana yang besar, yang bisa digunakan untuk mendukung sektor lain seperti industri kecil dan menengah, serta memberikan insentif untuk kegiatan yang bisa menyerap tenaga kerja. Namun, kebijakan ini berisiko menambah tekanan pada daya beli masyarakat, terutama jika harga barang-barang pokok ikut naik,” kata Febby.
Dalam jangka panjang, kata Fabby, pengurangan subsidi BBM dapat mengubah pola konsumsi masyarakat terhadap bahan bakar. Salah satu dampaknya adalah penurunan penggunaan kendaraan bermotor, khususnya di kalangan konsumen yang sebelumnya terbiasa menikmati subsidi.
"Dengan harga BBM yang lebih tinggi, masyarakat akan lebih bijak dalam menggunakan kendaraan. Ini akan berdampak pada penurunan konsumsi BBM, yang pada gilirannya akan menurunkan impor," kata Fabby.(*)