KABARBURSA.COM – Konflik terbuka antara Iran dan Israel berpotensi mengguncang stabilitas energi global dan memicu lonjakan harga minyak dunia. Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, memperingatkan Indonesia harus waspada terhadap risiko gangguan pasokan energi, terutama yang melalui Selat Hormuz—jalur distribusi strategis yang dilewati hampir 30 persen ekspor minyak dunia.
“Jika konflik ini bereskalasi dan Selat Hormuz ditutup, dampaknya sangat besar. Bukan hanya bagi negara-negara kawasan Timur Tengah, tapi juga akan mengguncang perekonomian global, termasuk Indonesia,” ujar Tauhid secara virtual dalam diskusi bertajuk “Dampak Perang Iran-Israel terhadap Perekonomian Indonesia”, dipantau di Jakarta, Senin, 30 Juni 2025
Menurutnya, gejolak geopolitik di kawasan Teluk Persia sudah memberikan tekanan terhadap rantai pasok global bahkan sebelum perang Iran-Israel benar-benar meletus. Ketegangan di Gaza, Laut Merah, dan Yaman sejak awal 2025 membuat pasar global memasuki periode ketidakpastian yang tinggi.
“Ketika perang dimulai, harga minyak sempat melonjak. Ini wajar karena kawasan tersebut adalah titik krusial distribusi energi dunia. Meskipun kemudian mereda, volatilitas harga tetap tinggi dan bisa meningkat lagi jika situasi memburuk,” jelas Tauhid.
Tauhid menjelaskan ketergantungan Indonesia terhadap impor energi menjadikan negara rentan terhadap fluktuasi harga minyak dunia. Kenaikan harga minyak otomatis akan berdampak pada beban subsidi BBM, tekanan inflasi, hingga defisit transaksi berjalan.
“Begitu harga minyak naik di atas USD100 per barel, APBN kita bisa terguncang. Biaya subsidi melonjak, nilai tukar tertekan, dan current account deficit bisa melebar,” katanya.
Dalam konteks geopolitik global, Iran diketahui menjalin kerja sama ekonomi erat dengan China, India, dan Turki. Negara ini mencatatkan GDP sekitar USD341 miliar dengan ekspor utama berupa mineral dan aluminium, serta impor besar untuk reaktor nuklir dan kendaraan.
Sementara Israel, dengan GDP per kapita yang jauh lebih tinggi—antara USD53.000 hingga 58.000—memiliki ketergantungan besar pada Amerika Serikat, China, dan Jerman, khususnya di sektor teknologi, farmasi, industri militer, dan keuangan.
Meski hubungan dagang Indonesia dengan Iran dan Israel masih tergolong kecil, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan dengan kedua negara tersebut.
Dengan Israel, nilai ekspor Indonesia mencapai USD130 juta sepanjang 2024, terdiri dari produk nabati, elektronik, alas kaki, hingga coklat. Impor Indonesia dari Israel terutama mencakup alat elektronik dan bahan farmasi.
Sementara itu, ekspor Indonesia ke Iran bahkan lebih besar, mencapai USD195 juta, didominasi oleh bahan mentah dan alat industri. Impor dari Iran mencakup reaktor nuklir dan mesin industri.
“Nilai perdagangannya tidak besar, tapi surplus yang tercipta menunjukkan ada peluang ekonomi yang bisa diperluas jika stabilitas kawasan kembali pulih,” ujar Tauhid.
Namun begitu, konflik berkepanjangan tetap menjadi ancaman bagi perdagangan Indonesia.
"Pasar ekspor bisa terganggu, logistik terhambat, dan biaya pengiriman bisa naik karena risiko asuransi yang meningkat,” kata Tauhid.(*)