KABARBURSA.COM – Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekonomi Indonesia tumbuh sebesar 5,12 persen secara tahunan (year-on-year/yoy) pada kuartal II-2025. Pertumbuhan ini merupakan yang tertinggi dalam dua tahun terakhir dan disambut sebagai sinyal pemulihan ekonomi pascapandemi serta tekanan global. Namun, di balik angka yang terlihat optimistis, muncul keraguan dari kalangan ekonom mengenai validitas data tersebut.
Dalam Diskusi Publik bertajuk Tanggapan Atas Pertumbuhan Ekonomi Kuartal II-2025 yang diselenggarakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) secara daring pada Rabu, 6 Agustus 2025, Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Andry Satrio Nugroho, menilai angka pertumbuhan ekonomi yang dirilis BPS tidak sepenuhnya mencerminkan realitas di lapangan.
“Beberapa asosiasi industri menyampaikan bahwa kinerja sektor riil belum pulih sepenuhnya. Namun data BPS justru menunjukkan lonjakan di beberapa sektor. Ini menimbulkan tanda tanya,” ujar Andry, dalam paparannya.
Pertumbuhan 5,12 persen pada triwulan II-2025 terutama didorong oleh peningkatan tajam pada sektor ekspor barang dan jasa sebesar 10,67 persen. Dari sisi produksi, lapangan usaha jasa lainnya mencatat pertumbuhan tertinggi sebesar 11,31 persen. Secara kuartalan, ekonomi tumbuh 4,04 persen, dengan pertanian sebagai penyumbang terbesar.
Namun demikian, Andry menyebutkan sejumlah kejanggalan. Ia menyoroti kontradiksi antara data Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur yang menunjukkan kontraksi cukup tajam sepanjang triwulan II, dengan data BPS yang mencatat industri pengolahan tumbuh hingga 5,6 persen.
“PMI mencerminkan ekspektasi dan kondisi aktual pelaku usaha. Jika PMI mengalami kontraksi, seharusnya pertumbuhan industri pengolahan tidak setinggi itu,” jelasnya.
Sektor lain yang dinilai tidak selaras dengan kondisi riil adalah mesin dan perlengkapan. BPS mencatat subsektor ini tumbuh 18,75 persen secara tahunan dan bahkan menopang pertumbuhan investasi (PMTB) hingga 7 persen. Namun Andry mempertanyakan sumber lonjakan ini karena Indonesia bukanlah negara produsen mesin. Ia mengutip data impor HS 84 dan 85 yang memang tumbuh, namun tidak signifikan.
“Kalau benar investasi mesin dan perlengkapan tumbuh 25 persen, berarti pelaku usaha melakukan ekspansi besar-besaran. Tapi data realisasi investasi dari BKPM tidak menunjukkan lonjakan setara. Bahkan pertumbuhan investasi triwulan II-2025 hanya 12 persen, lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu,” katanya.
Ia juga mengangkat contoh penyediaan akomodasi dan makan minum yang tercatat tumbuh, padahal sektor ini seharusnya terdampak efisiensi anggaran oleh pemerintah dan rendahnya kunjungan dinas ke daerah.
“Dengan banyaknya pembatasan perjalanan dinas dan efisiensi anggaran, pertumbuhan akomodasi tidak semestinya setinggi itu. Tapi datanya justru naik,” ujar Andry.
Berdasarkan rilis BPS, ekonomi Indonesia pada semester I-2025 tumbuh 4,99 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Dari sisi pengeluaran, konsumsi pemerintah melonjak 21,05 persen secara kuartalan dan menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan.
Sementara itu, Pulau Jawa tetap menjadi tulang punggung perekonomian nasional dengan kontribusi 56,94 persen terhadap PDB nasional dan pertumbuhan sebesar 5,24 persen secara tahunan.
Andry mengingatkan bahwa perbedaan signifikan antara data makro dan kenyataan di sektor riil bisa menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Ia mendorong BPS untuk menjelaskan lebih terbuka terkait metodologi dan mekanisme pengumpulan data.
“Jika data tidak mencerminkan kondisi lapangan, maka potensi ketidakpercayaan publik akan meningkat. Itu berbahaya bagi kredibilitas institusi statistik dan kebijakan ekonomi,” pungkasnya. (*)