Logo
>

Indeks Dolar (DXY) Berikan Sinyal Bangkit? Seperti ini Analisisnya

Dalam skenario lanjutan, DXY bisa mengincar area resistance psikologis berikutnya di 101,84, yang merupakan garis leher dari pola double bottom.

Ditulis oleh Yunila Wati
Indeks Dolar (DXY) Berikan Sinyal Bangkit? Seperti ini Analisisnya
Ilustrasi dolar Amerika Serikat. (Foto: Adobe Stock)

KABARBURSA.C0M - Indeks Dolar Amerika Serikat (DXY) tampaknya mulai menunjukkan tanda-tanda bangkit dari tekanan panjang yang telah menekan nilainya sejak awal tahun. 

Setelah beberapa pekan berada dalam fase penurunan tajam, grafik DXY kini mulai membentuk pola teknikal yang klasik namun tak bisa diabaikan, formasi double bottom.

Pola ini, yang sering kali menjadi penanda berakhirnya tren turun, kali ini disertai satu lagi sinyal yang tak kalah penting, divergensi positif pada indikator RSI (Relative Strength Index). Artinya, meski harga sempat mencetak titik terendah baru, kekuatan momentum jual justru mulai melemah. 

Dalam banyak kasus sebelumnya, kondisi seperti ini menjadi awal dari pembalikan tren yang lebih besar.

Jika dilihat dari sisi teknikal, DXY sudah berusaha keluar dari tekanan garis tren menurun yang selama ini menahan lajunya. Kanal berwarna merah muda yang mengapit pergerakan harga dalam tren turun mulai retak di bagian atasnya. 

Titik penentu berikutnya adalah level MA20 di sekitar angka 99. Bila level ini berhasil dilampaui dengan kuat, maka potensi kenaikan DXY menuju MA50 di area 99,5–100 akan semakin besar. 

Bahkan, dalam skenario lanjutan, DXY bisa mengincar area resistance psikologis berikutnya di 101,84, yang merupakan garis leher dari pola double bottom.

Namun di balik grafik dan indikator, pergerakan DXY tidak lepas dari dinamika global. Secara historis, penguatan dolar AS biasanya berdampak menekan harga komoditas, terutama minyak. Alasannya sederhana, yaitu dolar yang lebih kuat membuat harga komoditas menjadi lebih mahal bagi pembeli non-AS, sehingga permintaan cenderung melemah. 

Tapi jika penguatan dolar kali ini dipicu oleh ketegangan geopolitik, misalnya eskalasi konflik di Timur Tengah atau kekhawatiran terganggunya jalur energi global seperti Selat Hormuz, maka akan memasuki babak berbeda. 

Dalam skenario seperti itu, bukan tidak mungkin harga minyak dan dolar sama-sama naik, karena pasar mengalihkan dananya ke aset safe haven secara bersamaan.

Head of Research Kiwoom Sekuritas Liza Camelia Suryanata, dalam laporan terbarunya menyebut bahwa sinyal pembalikan ini bukan sesuatu yang bisa dianggap sepele. Terlebih jika konfirmasi datang dalam bentuk penutupan harga harian di atas garis MA dan disertai volume yang solid. 

Dalam kondisi seperti ini, kata mereka, DXY sangat mungkin membuka fase penguatan yang lebih luas dalam beberapa pekan ke depan.

Kini, pasar tinggal menunggu pembuktian, apakah dolar benar-benar siap bangkit dan meninggalkan fase turun panjangnya, ataukah ini hanya sekadar reli teknikal sementara sebelum tekanan kembali muncul. 

Yang jelas, bagi investor mata uang dan pelaku pasar global, grafik DXY layak dipantau lebih dekat dari biasanya.

Dolar AS Naik 102 Poin Terhadap Rupiah 

Hingga Senin siang, 23 Juni 2025, dolar AS naik 102 poin terhadap rupiah atau sekitar 0,62 persen dibandingkan penutupan akhir pekan lalu. Kurs rupiah diperdagangkan di level Rp16.498 per dolar AS. 

Tekanan ini muncul seiring memburuknya tensi geopolitik, setelah Amerika Serikat secara terbuka melancarkan serangan udara terhadap fasilitas nuklir utama Iran pada akhir pekan.

Kondisi ini langsung mengguncang pasar. Arah rupiah, yang belakangan sudah menunjukkan pelemahan bertahap, kini tak mampu menahan derasnya arus penghindaran risiko (risk-off) yang menyelimuti pasar negara berkembang. Dolar AS menguat, sementara investor cenderung menghindari aset berisiko dan beralih ke instrumen safe haven.

Bagi Indonesia, tekanan ini datang di saat yang kurang ideal. Sementara rupiah secara teknikal sudah berada di kisaran rentan, sentimen global yang panas membuat ruang stabilisasi jadi lebih terbatas. 

Level Rp16.500 kini menjadi titik kritis. Jika terus melemah di atas batas ini, potensi tekanan lanjutan tak bisa dihindari.

Dari perspektif pasar, reaksi cepat atas situasi geopolitik memang hal yang wajar. Tapi untuk jangka pendek, investor dan pelaku usaha di dalam negeri tampaknya perlu lebih hati-hati. Minimnya katalis positif domestik, ditambah sensitivitas tinggi terhadap konflik global, membuat rupiah berada di posisi rawan.

Satu hal yang jelas, konflik Iran dan AS bukan sekadar persoalan regional. Dampaknya kini merembet ke pasar keuangan global. Dan selama belum ada tanda-tanda deeskalasi yang nyata, tekanan terhadap rupiah, dan mata uang negara berkembang lainnya, masih belum akan benar-benar mereda.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Yunila Wati

Telah berkarier sebagai jurnalis sejak 2002 dan telah aktif menulis tentang politik, olahraga, hiburan, serta makro ekonomi. Berkarier lebih dari satu dekade di dunia jurnalistik dengan beragam media, mulai dari media umum hingga media yang mengkhususkan pada sektor perempuan, keluarga dan anak.

Saat ini, sudah lebih dari 1000 naskah ditulis mengenai saham, emiten, dan ekonomi makro lainnya.

Tercatat pula sebagai Wartawan Utama sejak 2022, melalui Uji Kompetensi Wartawan yang diinisiasi oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dengan nomor 914-PWI/WU/DP/XII/2022/08/06/79