Logo
>

Indonesia dan ASEAN di Hadapankan Perang Tarif Donald Trump

Kebijakan ini dimulai pada 1 Februari 2025, saat Trump menandatangani perintah eksekutif yang mengenakan tarif 25 persen untuk barang impor dari Kanada dan Meksiko

Ditulis oleh Syahrianto
Indonesia dan ASEAN di Hadapankan Perang Tarif Donald Trump
Topeng berwajah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump yang dipakai oleh seseorang di depan Gedung Putih. (Foto: Unsplash/Darren Halstead)

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM – Pemerintahan Presiden Donald Trump mulai melakukan kebijakan yang memicu perang dagang besar dengan banyak negara. Tidak hanya dengan China, tetapi juga dengan negara-negara di Amerika Utara, Uni Eropa, dan bahkan ASEAN. Kebijakan ini dimulai pada 1 Februari 2025, saat Trump menandatangani perintah eksekutif yang mengenakan tarif 25 persen untuk barang impor dari Kanada dan Meksiko, serta 10 persen untuk produk asal China. Kebijakan tarif ini menunjukkan pendekatan agresif Trump dalam melindungi industri dalam negeri AS. Namun, langkah ini juga berpotensi memicu pembalasan dari negara lain, yang dapat memperburuk hubungan dagang internasional.

    Pada 12 Maret 2025, AS resmi memberlakukan tarif 25 persen pada impor baja dan aluminium. Kebijakan ini memancing reaksi keras dari Uni Eropa dan Kanada. Uni Eropa merespons dengan menaikkan tarif 50 persen terhadap produk-produk khas Amerika, seperti wiski, sepeda motor, dan kapal motor mulai 1 April 2025. Kanada juga membalas dengan mengenakan tarif senilai USD20,6 miliar terhadap berbagai barang impor dari AS.

    Ketegangan antara AS dan China semakin meningkat. Pada 3 Februari 2025, Trump menaikkan tarif barang China sebesar 10 persen. China langsung membalas dengan tarif 15 persen untuk batu bara dan gas alam cair dari AS, serta 10 persen untuk minyak mentah dan mesin pertanian. Pada 3 Maret 2025, Trump kembali menaikkan tarif barang China sebesar 10 persen lagi. Sebagai balasan, China mengenakan tarif tambahan pada berbagai produk pertanian dan industri asal AS.

    Negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, juga terdampak oleh perang dagang ini. Ketidakpastian global yang muncul dari kebijakan tarif AS dan respons dari negara lain memengaruhi perdagangan dan investasi di Asia Tenggara. Indonesia, misalnya, menghadapi lonjakan impor dari China yang mencari pasar baru akibat tarif AS, sekaligus memiliki peluang meningkatkan ekspor ke AS sebagai pengganti produk China yang terkena tarif.

    Untuk mengatasi situasi ini, negara-negara ASEAN perlu meningkatkan kerja sama dan mencari strategi untuk mengurangi dampak negatif perang dagang. Selain itu, ASEAN juga dapat memanfaatkan peluang dari perubahan arus perdagangan global untuk meningkatkan ekspor dan menarik lebih banyak investasi.

    Nah, melihat situasi yang semakin kompleks ini, penting bagi para investor hingga masyarakat Indonesia memahami bagaimana kebijakan tarif Trump memengaruhi perekonomian Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya. Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis dampak kebijakan tersebut, mengidentifikasi peluang dan tantangan yang muncul, serta mengeksplorasi langkah-langkah strategis yang dapat diambil oleh negara-negara di kawasan Asia Tenggara untuk menghadapi dinamika perdagangan global yang berubah dengan cepat.

    Kebijakan Tarif AS dan Perang Dagang Global

    Pada awal 2025, pemerintahan Presiden Donald Trump memberlakukan kebijakan tarif impor sebesar 25 persen untuk baja dan aluminium dari berbagai negara, termasuk sekutu seperti Kanada dan Meksiko. Tujuannya adalah melindungi industri dalam negeri AS dari persaingan yang dianggap tidak adil dan memperkuat daya saing manufaktur dalam negeri. Selain itu, tarif tambahan sebesar 10 persen juga dikenakan pada berbagai produk asal China.

    Harga baja global mengalami fluktuasi signifikan pada 2024. Harga baja (hot rolled coil/HRC) tercatat sebesar USD696,05 per ton, naik 3,56 persen dalam sebulan terakhir, tetapi turun 24,43 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Asosiasi Baja Dunia (World Steel Association) memperkirakan bahwa permintaan baja global akan meningkat sebesar 1,2 persen pada 2025, mencapai 1,77 miliar ton. Penurunan harga baja pada 2024 mencerminkan melemahnya permintaan dan ketidakpastian pasar global. Namun, proyeksi peningkatan permintaan pada 2025 menunjukkan bahwa industri baja masih memiliki prospek pertumbuhan, meskipun menghadapi hambatan akibat kebijakan tarif.

    Harga aluminium global juga mengalami fluktuasi pada 2024. Pada 2 Oktober 2024, harga aluminium mencapai USD2.635 per ton, sementara pada 12 Maret 2025, harga naik menjadi USD2.682 per ton. Kenaikan harga ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk gangguan pasokan dan kebijakan perdagangan global. Contohnya, pada Oktober 2024, harga alumina melonjak dari USD350 per ton menjadi sekitar USD700 per ton akibat gangguan produksi dan penghentian ekspor bauksit dari Guinea, yang memperketat pasokan bahan baku aluminium. Selain itu, ketidakpastian akibat potensi tarif 25 persen dari AS terhadap impor aluminium dari Kanada dan Meksiko turut meningkatkan volatilitas harga aluminium.

    Fluktuasi harga aluminium mencerminkan ketergantungan pasar terhadap pasokan bahan baku dan kebijakan perdagangan global. Gangguan dalam rantai pasokan dapat menyebabkan lonjakan harga yang berdampak pada industri yang menggunakan aluminium sebagai bahan utama.

    Kebijakan tarif ini berdampak pada berbagai sektor industri. Industri otomotif AS, misalnya, mengalami peningkatan biaya produksi akibat kenaikan harga baja dan aluminium, yang merupakan bahan baku utama dalam pembuatan kendaraan. Asosiasi Produsen Mobil Amerika (AAAM) menyatakan bahwa tarif ini dapat meningkatkan biaya produksi dan berpotensi menaikkan harga kendaraan di pasar domestik.

    China, sebagai salah satu mitra dagang utama AS, merespons kebijakan tarif dengan menerapkan tarif tambahan sebesar 15 persen terhadap barang-barang impor dari AS, termasuk batu bara dan gas alam cair, mulai 10 Maret 2025. Selain itu, China membatasi ekspor ke 15 perusahaan AS, termasuk Leidos dan General Dynamics Land Systems, yang beroperasi di sektor pertahanan dan teknologi.

    Kanada, yang terdampak langsung oleh tarif AS pada baja dan aluminium, mengumumkan tarif balasan senilai CAD29,8 miliar terhadap berbagai produk AS. Langkah ini menandai eskalasi perang dagang antara kedua negara.

    Uni Eropa juga tidak tinggal diam. Mereka menyiapkan langkah-langkah balasan terhadap tarif AS, yang dapat mencakup penerapan tarif pada produk-produk ikonik Amerika, seperti wiski, sepeda motor, dan kapal motor.

    Eskalasi tindakan saling balas ini menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya perang dagang global yang dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi dunia. Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Ngozi Okonjo-Iweala, memperingatkan bahwa perang dagang yang dipicu oleh tarif dapat memiliki konsekuensi "katastrofik" bagi pertumbuhan global, dan mendesak negara-negara untuk tidak mengambil tindakan balasan yang dapat memperburuk situasi.

    Dengan berbagai negara yang saling menerapkan tarif balasan, situasi ini berpotensi mengganggu rantai pasokan global, meningkatkan biaya produksi, dan pada akhirnya membebani konsumen dengan harga yang lebih tinggi. Ketidakpastian ini juga dapat mempengaruhi investasi dan stabilitas ekonomi global.​

    Dampak Perang terhadap Ekonomi Global

    Ketegangan perdagangan antara AS dan China telah menyebabkan hambatan dalam perdagangan lintas batas, yang berdampak pada pola perdagangan internasional. Pengenaan tarif impor yang tinggi oleh kedua negara mendorong perusahaan dan negara-negara lain untuk mencari alternatif pasar dan sumber pasokan. Namun, meskipun ada ketegangan tersebut, volume perdagangan barang global justru menunjukkan peningkatan. Menurut laporan UNCTAD, perdagangan barang global diperkirakan tumbuh sebesar 2,7 persen pada 2024 dan antara 3 persen hingga 3,4 persen pada 2025.

    Perang dagang ini memicu disrupsi dalam rantai pasok global. Perusahaan multinasional yang sebelumnya mengandalkan produksi di China mulai memindahkan operasional mereka ke negara lain untuk menghindari tarif tinggi, sehingga mengubah pola ekspor-impor tradisional. Misalnya, produsen mainan asal AS berencana memindahkan 40 persen produksinya dari China ke India, Vietnam, dan Indonesia dalam enam bulan ke depan untuk mengurangi dampak tarif impor. Perusahaan seperti Google, Nintendo, dan Dell juga telah merelokasi operasi mereka ke negara-negara Asia Tenggara guna menghindari penalti impor yang besar terhadap barang-barang China.

    Ketidakpastian akibat perang dagang telah membuat banyak investor ragu untuk menanamkan modalnya, sehingga menghambat aliran investasi asing langsung (FDI). Menurut UNCTAD, FDI global mengalami penurunan 2 persen menjadi USD1,3 triliun pada tahun 2023 akibat perlambatan ekonomi dan ketegangan geopolitik yang meningkat. Data spesifik untuk tahun 2024 belum tersedia, tetapi tren ini menunjukkan bahwa ketegangan perdagangan dapat berdampak negatif pada aliran investasi global. Meskipun begitu, laporan FDI Intelligence memperkirakan bahwa perdagangan barang dan jasa dunia akan meningkat 3,1 persen pada tahun 2024 dan 3,4 persen pada tahun 2025, yang dapat berkontribusi pada peningkatan aliran FDI dalam jangka panjang.

    Ketegangan antara AS dan China menciptakan ketidakstabilan yang berdampak pada perekonomian global. Gangguan rantai pasok akibat ketegangan geopolitik AS-China dapat merugikan AS dan Uni Eropa, serta berpotensi meningkatkan tekanan inflasi global. Selain itu, negara-negara berkembang yang memiliki keterkaitan erat dengan AS dan China, termasuk negara-negara di Asia Tenggara, menghadapi ketidakpastian yang dapat menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi domestik mereka.

    Secara keseluruhan, perang dagang antara AS dan China telah melemahkan stabilitas ekonomi global dengan menciptakan gangguan dalam perdagangan, rantai pasok, dan investasi. Namun, meskipun ada tantangan ini, perdagangan global tetap menunjukkan pertumbuhan, dan perusahaan-perusahaan mulai menyesuaikan strategi mereka untuk menghadapi perubahan dalam kebijakan perdagangan internasional.

    Dampak Perang Dagang AS dan Tarif Trump terhadap Negara-negara ASEAN

    Negara-negara anggota ASEAN memiliki struktur ekonomi yang sangat beragam, mencerminkan perbedaan dalam tingkat pembangunan dan sektor-sektor unggulan masing-masing negara. Meskipun demikian, sebagian besar negara-negara ASEAN sangat bergantung pada perdagangan internasional sebagai salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi mereka. Berikut adalah gambaran umum mengenai struktur ekonomi beberapa negara ASEAN dan ketergantungan mereka pada perdagangan internasional.

    Pada tahun 2024, Indonesia diperkirakan memiliki Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp22.139 triliun. Sektor-sektor yang memberikan kontribusi utama terhadap ekonomi Indonesia adalah industri manufaktur, jasa, dan pertanian. Berdasarkan data perdagangan Indonesia pada 2024, total ekspor Indonesia tercatat sebesar USD264,70 miliar, yang menunjukkan kenaikan sebesar 2,29 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Industri pengolahan menyumbang 74,25 persen dari total ekspor tersebut. Sementara itu, impor Indonesia juga mengalami kenaikan sebesar 5,31 persen menjadi USD233,66 miliar, menghasilkan surplus perdagangan sebesar USD31,04 miliar.

    Sektor manufaktur tetap menjadi pendorong utama ekonomi Indonesia, dengan kontribusi sekitar 18,98 persen terhadap PDB. Pada kuartal III 2024, sektor manufaktur Indonesia tercatat tumbuh 4,72 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya (yoy), sebuah kenaikan yang cukup signifikan dibandingkan dengan 3,95 persen pada kuartal sebelumnya. Pertumbuhan ini didorong oleh peningkatan permintaan dalam industri logam dasar dan elektronik.

    Sektor jasa juga mengalami pertumbuhan yang stabil, dengan PDB sektor ini meningkat menjadi Rp50.861,80 miliar pada kuartal IV 2024, dibandingkan dengan Rp49.690,00 miliar pada kuartal III 2024. Pertumbuhan sektor jasa ini menunjukkan adanya peningkatan konsumsi domestik yang lebih kuat serta aktivitas ekonomi yang positif.

    Namun, sektor pertanian Indonesia menghadapi tantangan di tengah ketidakpastian cuaca dan volatilitas harga komoditas. Meskipun sektor tanaman pangan mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 12,50 persen yoy pada triwulan II 2024, sektor pertanian secara keseluruhan mengalami kontraksi sebesar 3,54 persen yoy.

    Pada Desember 2024, ekspor Indonesia mencapai USD23,46 miliar, sementara impor tercatat sebesar USD21,22 miliar, menghasilkan surplus perdagangan sebesar USD2,24 miliar. Meskipun ada kenaikan signifikan dalam impor sebesar 11,07 persen dibandingkan bulan sebelumnya, pertumbuhan ekspor yang mencapai 4,78 persen menunjukkan ketahanan sektor perdagangan Indonesia dalam menghadapi ketidakpastian global.

    Ekonomi Vietnam terus berkembang dengan kontribusi kuat dari sektor manufaktur, jasa, dan pertanian. Sejak beberapa tahun terakhir, Vietnam telah menjadi destinasi utama bagi perusahaan multinasional yang mencari alternatif dari China, terutama setelah dimulainya perang dagang antara AS dan China. Vietnam semakin terintegrasi dalam rantai pasok global dengan ekspor dan impor yang meningkat pesat. Selain itu, Vietnam diuntungkan dari berbagai perjanjian perdagangan bebas, termasuk perjanjian dengan Uni Eropa dan ASEAN.

    Pada tahun 2024, Malaysia diperkirakan memiliki PDB sebesar RM1,93 triliun, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor-sektor utama yang mendorong ekonomi Malaysia adalah industri manufaktur, ekspor elektronik, dan produk minyak sawit. Malaysia sangat terintegrasi dengan perdagangan internasional, dan ketergantungan negara ini pada ekspor elektronik dan komoditas seperti minyak sawit membuatnya sangat rentan terhadap fluktuasi harga global.

    Thailand, dengan PDB sebesar USD545,34 miliar pada 2024, memiliki ekonomi yang juga sangat bergantung pada perdagangan internasional. Ekspor kendaraan bermotor, elektronik, dan produk pertanian merupakan sektor-sektor utama yang mendorong pertumbuhan ekonomi negara ini. Thailand dihadapkan pada tantangan dalam mempertahankan daya saing global, tetapi tetap berusaha memperluas pasar ekspor ke berbagai negara selain AS dan China.

    Filipina memiliki ekonomi yang sangat dipengaruhi oleh sektor jasa, terutama sektor business process outsourcing (BPO), yang telah menjadi salah satu kekuatan utama Filipina dalam perdagangan global. Selain itu, sektor manufaktur juga terus berkembang, meskipun dalam skala yang lebih kecil dibandingkan negara ASEAN lainnya.

    Secara keseluruhan, total PDB negara-negara ASEAN diperkirakan mencapai USD4,1 triliun pada tahun 2024, meningkat dari USD3,9 triliun pada tahun 2023. Kontribusi ASEAN terhadap PDB global diperkirakan akan naik dari 3,6 persen pada tahun 2023 menjadi 3,8 persen pada tahun 2024. Rata-rata pertumbuhan ekonomi kawasan ini diproyeksikan tetap stabil di angka 4,5 persen pada tahun 2024, dengan Indonesia diperkirakan mencatatkan pertumbuhan sebesar 5 persen.

    Untuk mengurangi dampak negatif dari perang dagang AS-China, negara-negara ASEAN mengambil berbagai langkah kebijakan strategis. Salah satunya adalah diversifikasi pasar ekspor dan pengembangan produk baru yang bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional, seperti AS dan China. Langkah-langkah ini diharapkan dapat memitigasi dampak negatif terhadap ekspor negara-negara ASEAN.

    Pemerintah Indonesia, misalnya, berfokus pada peningkatan daya saing produk dengan menekan biaya produksi, termasuk biaya energi, logistik, dan sertifikasi produk hilirisasi. Upaya ini diharapkan dapat membuat produk Indonesia lebih kompetitif di pasar global.

    Selain itu, ASEAN terus memperkuat kerja sama ekonomi melalui berbagai mekanisme, seperti Kemitraan Strategis, Trans-Pacific Partnership (TPP), dan Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP). Inisiatif ini bertujuan untuk menciptakan stabilitas dan integrasi ekonomi yang lebih besar di kawasan, mengurangi ketergantungan pada satu atau dua negara besar, serta menciptakan peluang perdagangan yang lebih luas.

    Pentingnya kerja sama ini semakin jelas mengingat potensi dampak dari kebijakan perdagangan AS, termasuk tarif yang diusulkan oleh pemerintah AS, seperti tarif 25 persen pada impor otomotif, semikonduktor, dan produk farmasi. ASEAN juga merencanakan pertemuan puncak dengan AS untuk membahas isu-isu terkait tarif ini, guna mencari solusi yang menguntungkan bagi kedua belah pihak, terutama dalam mengurangi dampak negatif terhadap perekonomian kawasan.

    Studi Kasus: Indonesia

    Indonesia, sebagai negara dengan sektor industri tekstil yang berkembang pesat, merasakan dampak langsung dari perang dagang ini. Kebijakan tarif AS yang diterapkan terhadap produk-produk China membuat barang TPT asal China lebih kompetitif di pasar global, sehingga menekan ekspor produk TPT Indonesia. Pada triwulan pertama 2024, sektor ini mengalami penurunan sebesar 0,03 persen dibandingkan tahun sebelumnya, dengan penurunan signifikan pada ekspor produk tekstil Indonesia yang mencapai USD913,84 juta, turun 2,14 persen dibandingkan tahun sebelumnya.

    Namun, meskipun ada tantangan, industri TPT Indonesia menunjukkan potensi untuk bangkit pada triwulan III 2024, dengan mencatatkan pertumbuhan positif sebesar 7,43 persen (yoy). Ini menunjukkan adanya adaptasi sektor industri terhadap perubahan kondisi pasar global yang dipicu oleh kebijakan tarif AS.

    Pada tahun 2023, sektor ini mencatatkan investasi sebesar Rp27,9 triliun, dan pada 2024, jumlah ini melonjak 31,1 persen menjadi Rp39,21 triliun, mencerminkan kepercayaan investor terhadap prospek sektor ini.

    Perang dagang ini juga memengaruhi ekspor komoditas pertanian Indonesia, terutama kelapa sawit dan karet. Pada tahun 2024, ekspor kelapa sawit Indonesia ke China turun tajam menjadi 4,48 juta ton dari 7,73 juta ton pada 2023, akibat dari harga minyak sawit yang lebih tinggi dibandingkan dengan minyak nabati lainnya.

    Ekspor karet alam Indonesia juga mengalami penurunan. Pada Februari 2025, volume ekspor karet alam Indonesia tercatat sebesar 20.737 ton, turun hampir 20 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Penurunan ini sebagian disebabkan oleh permintaan yang lebih rendah dari pasar utama seperti China, yang terpengaruh oleh ketidakpastian global akibat perang dagang.

    Namun, meskipun ada tantangan, Indonesia dapat memanfaatkan beberapa peluang dari kebijakan tarif Trump. Salah satunya adalah potensi untuk mengisi kekosongan pasar AS yang sebelumnya didominasi oleh China. Kebijakan tarif tinggi terhadap produk China membuka ruang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor ke AS, terutama di sektor-sektor yang sebelumnya didominasi oleh produk-produk China, seperti semikonduktor, produk elektronik, alat telekomunikasi, furnitur, dan produk pertanian.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menyebutkan bahwa tren "China De-Risking" membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi dan memperluas ekspor. Negara-negara maju yang mencari diversifikasi rantai pasok dapat melihat Indonesia sebagai alternatif yang menjanjikan untuk memproduksi barang-barang yang sebelumnya diproduksi di China. Sektor manufaktur Indonesia, termasuk dalam bidang mineral kritis dan energi hijau, dapat memanfaatkan peluang ini untuk memperkuat posisinya dalam perdagangan global.

    Meskipun peluang ada, Indonesia harus menghadapi beberapa tantangan untuk memanfaatkan posisi ini. Salah satunya adalah daya saing produk Indonesia yang perlu terus ditingkatkan dengan cara menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi. Selain itu, sektor UMKM Indonesia perlu didorong untuk lebih aktif dalam mengambil bagian dari peluang ekspor yang muncul.

    Wakil Ketua Apindo DIY Bidang Ketenagakerjaan, Timotius Apriyanto, mengingatkan pentingnya percepatan industrialisasi dan diplomasi perdagangan ekonomi yang proaktif untuk memfasilitasi UMKM Indonesia agar dapat memanfaatkan peluang ekspor ke AS.

    Sektor manufaktur Indonesia juga menghadapi tekanan akibat ketidakpastian yang ditimbulkan oleh perang dagang ini. Penurunan permintaan global dan gangguan dalam rantai pasok mempengaruhi produksi dan ekspor produk manufaktur Indonesia. Tarif AS terhadap produk China telah mengurangi volume ekspor Indonesia ke AS yang melewati China, dengan nilai diperkirakan berkurang sekitar USD 300 juta.

    Namun, peluang untuk mengisi celah pasar yang ditinggalkan oleh China tetap terbuka lebar bagi Indonesia, terutama dalam sektor-sektor manufaktur yang kini harus mencari pasar alternatif akibat kebijakan proteksionisme AS.

    Perang dagang yang dipicu oleh kebijakan tarif Trump telah memberikan dampak yang signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Di satu sisi, sektor-sektor tertentu seperti industri tekstil dan komoditas pertanian menghadapi tantangan berat akibat penurunan permintaan dari pasar utama. Di sisi lain, kebijakan proteksionisme AS membuka peluang bagi Indonesia untuk meningkatkan ekspor dan menarik investasi dari negara-negara yang mencari alternatif produksi selain China.

    Prospek Masa Depan dan Rekomendasi

    Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) memproyeksikan volume perdagangan global akan tumbuh sebesar 2,7 persen pada tahun 2024, dengan potensi peningkatan hingga 3 persen pada tahun 2025, asalkan konflik di Timur Tengah dapat dikendalikan. Namun, faktor-faktor seperti kebijakan proteksionisme yang meningkat, kebijakan suku bunga bank sentral, serta perubahan iklim dapat mempengaruhi dinamika pertumbuhan ini.

    Kebijakan perdagangan Amerika Serikat di bawah administrasi Trump telah menimbulkan dampak luas terhadap ekonomi global, terutama melalui penerapan tarif tinggi terhadap produk dari China, Meksiko, Kanada, dan Uni Eropa. Perang dagang antara AS dan China telah menghambat arus perdagangan kedua negara yang menyumbang lebih dari 35 persen terhadap total perdagangan dunia. Sementara itu, kebijakan tarif terhadap Meksiko dan Kanada mengganggu stabilitas Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA), yang kemudian digantikan oleh Perjanjian Amerika Serikat-Meksiko-Kanada (USMCA). Tarif terhadap Uni Eropa juga berdampak pada industri otomotif, baja, dan aluminium, yang meningkatkan biaya produksi dan menghambat ekspor ke AS.

    Dampak dari perang dagang ini dirasakan oleh negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, yang memiliki ketergantungan signifikan terhadap ekspor ke negara-negara besar tersebut. Pada tahun 2023, ekspor Indonesia ke China mencapai USD 63,4 miliar, sementara ekspor ke AS mencapai USD 28,3 miliar. Gangguan rantai pasok global akibat kebijakan tarif ini memaksa Indonesia untuk menyesuaikan strategi perdagangannya agar dapat mempertahankan daya saing.

    Untuk meningkatkan ketahanan ekonomi dan adaptasi terhadap kebijakan perdagangan global yang semakin proteksionis, negara-negara ASEAN, termasuk Indonesia, telah mengambil langkah-langkah strategis. Indonesia terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia, yang tercermin dari Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mencapai 75,02 pada tahun 2024, naik dari 74,5 pada tahun sebelumnya. Pemerintah juga telah mengalokasikan lebih dari 20 persen dari APBN 2024 untuk sektor pendidikan dan pelatihan vokasi guna mendorong peningkatan keterampilan tenaga kerja agar lebih kompetitif di pasar global.

    Upaya diversifikasi ekonomi menjadi prioritas utama, dengan peningkatan investasi dalam teknologi dan inovasi. Pada tahun 2023, total investasi asing langsung (FDI) di sektor teknologi dan manufaktur digital Indonesia mencapai USD 11,2 miliar, menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Pemerintah juga mempercepat transisi energi melalui proyek energi hijau, dengan target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada tahun 2025. Selain itu, Indonesia mulai memperluas pasar ekspor ke negara-negara di Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Latin untuk mengurangi ketergantungan terhadap AS dan China.

    Kerja sama regional melalui inisiatif seperti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) terus diperkuat untuk memastikan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di kawasan. Pada tahun 2024, total perdagangan intra-ASEAN tercatat mencapai USD 800 miliar, meningkat dari USD 750 miliar pada tahun 2023. Dengan semakin eratnya integrasi ekonomi regional, ASEAN dapat memanfaatkan peluang perdagangan global serta memperkuat posisi tawar dalam menghadapi kebijakan proteksionisme dari negara-negara besar.

    Secara keseluruhan, meskipun kebijakan perdagangan AS di bawah Trump dan ketegangan dagang global memberikan tantangan besar, Indonesia dan negara-negara ASEAN masih memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan. Dengan kebijakan yang tepat dalam pengembangan sumber daya manusia, diversifikasi ekonomi, dan kerja sama internasional, kawasan ini dapat menjaga pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mengurangi dampak dari ketidakpastian perdagangan global.

    Simpulan

    Kebijakan tarif yang diterapkan oleh pemerintah AS di bawah Presiden Donald Trump pada awal 2025, termasuk tarif 25 persen pada baja dan aluminium serta tarif tambahan pada produk asal China, telah memicu ketegangan perdagangan global. Meskipun kebijakan ini bertujuan untuk melindungi industri dalam negeri AS, dampaknya terasa luas di pasar global, dengan harga baja dan aluminium yang mengalami fluktuasi tajam pada 2024, serta gangguan pada rantai pasokan global. Ketegangan ini memperburuk ketidakpastian ekonomi, meningkatkan biaya produksi, dan berpotensi menaikkan harga barang, seperti di sektor otomotif AS.

    Perang dagang antara AS dan China serta tarif balasan dari negara lain seperti Kanada dan Uni Eropa memperburuk situasi, mengancam stabilitas ekonomi dunia. Dampak dari kebijakan ini meluas ke sektor-sektor penting, termasuk manufaktur, otomotif, dan teknologi, yang bergantung pada bahan baku seperti baja dan aluminium. Ketidakpastian perdagangan menghambat aliran investasi asing dan menciptakan ketidakstabilan ekonomi global.

    Namun, meskipun terdapat tantangan besar, perdagangan global tetap menunjukkan tanda-tanda pertumbuhan. Negara-negara ASEAN, yang sangat bergantung pada perdagangan internasional, mengalami dampak berbeda dari kebijakan tarif ini. Misalnya, Indonesia dan Vietnam menunjukkan ketahanan dalam sektor manufaktur dan ekspor, sementara Malaysia dan Thailand berusaha mengatasi fluktuasi harga dan menjaga daya saing mereka di pasar internasional.

    Secara keseluruhan, meskipun ada tantangan akibat kebijakan tarif dan perang dagang, sektor perdagangan global dan beberapa negara ASEAN menunjukkan potensi pertumbuhan, meskipun ketidakpastian global masih menjadi faktor pembatas utama. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Syahrianto

    Jurnalis ekonomi yang telah berkarier sejak 2019 dan memperoleh sertifikasi Wartawan Muda dari Dewan Pers pada 2021. Sejak 2024, mulai memfokuskan diri sebagai jurnalis pasar modal.

    Saat ini, bertanggung jawab atas rubrik "Market Hari Ini" di Kabarbursa.com, menyajikan laporan terkini, analisis berbasis data, serta insight tentang pergerakan pasar saham di Indonesia.

    Dengan lebih dari satu tahun secara khusus meliput dan menganalisis isu-isu pasar modal, secara konsisten menghasilkan tulisan premium (premium content) yang menawarkan perspektif kedua (second opinion) strategis bagi investor.

    Sebagai seorang jurnalis yang berkomitmen pada akurasi, transparansi, dan kualitas informasi, saya terus mengedepankan standar tinggi dalam jurnalisme ekonomi dan pasar modal.