Logo
>

Industri Ekspor Terhimpit Tarif AS, Jawa Barat Menjerit

Tekanan tarif AS dan maraknya impor bikin pengusaha Jawa Barat terjepit. APINDO dan akademisi mendesak solusi konkret dari pusat hingga daerah.

Ditulis oleh Moh. Alpin Pulungan
Industri Ekspor Terhimpit Tarif AS, Jawa Barat Menjerit
Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, memaparkan dampak perang dagang dan ketidakpastian global terhadap nilai tukar rupiah dalam diskusi publik bertajuk “Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk?” di El Hotel Bandung, Selasa, 20 Mei 2025. Acara ini membahas tekanan terhadap sektor industri ekspor dan pentingnya penguatan ekonomi domestik di tengah gejolak ekonomi global. Foto: istimewa.

KABARBURSA.COM – Tekanan ekonomi global kian terasa di dapur ekspor nasional. Kali ini, guncangan datang dari kebijakan tarif Amerika Serikat yang mulai menyulitkan industri dalam negeri. Dampak itu mulai terasa di sektor manufaktur ekspor yang bermukim di Jawa Barat.

Tak main-main, wilayah ini merupakan salah satu poros produksi sekaligus pintu ekspor nasional. Maka ketika arus pesanan dari luar negeri menyusut, getarannya terasa sampai ke ruang rapat, pabrik, hingga terminal ekspor. Dalam diskusi publik bertajuk “Gempuran Tarif AS: Ekonomi Indonesia di Ujung Tanduk?” yang digelar Suara.com bersama CORE Indonesia di El Hotel Bandung, Selasa, 20 Mei 2025, suara kegelisahan bergema dari kalangan akademisi, pengusaha, sampai regulator.

Pemimpin Redaksi Suara.com, Suwarjono, menyebut gejolak ini bukan kabar baru. “Kita menghadapi perlambatan ekonomi yang nyata. Bandung dipilih karena menjadi salah satu sentra ekspor nasional—dari tekstil, alas kaki, hingga furnitur—yang kini sedang tertekan. Ini momentum penting untuk mencari solusi dari daerah sebagai rujukan kebijakan nasional,” ujarnya.

Ia menambahkan, berdasarkan data BPS, pada Januari 2025 ekspor nonmigas Jawa Barat ke Amerika Serikat mencapai USD499,53 juta atau sekitar 16,62 persen dari total ekspor nonmigas provinsi. Sementara dari Bandung, ekspor ke AS pada Maret 2025 tercatat sebesar USD7,7 juta.

Namun di balik angka-angka tersebut, ada cerita yang lebih sunyi, ialah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda sektor padat karya seperti tekstil dan produk tekstil (TPT). Banyak pabrik mulai terseok akibat turunnya permintaan dan membanjirnya produk impor murah. Kebijakan tarif baru dari AS hanya memperparah luka, membuat industri dalam negeri tak hanya kehilangan pasar, tapi juga dihantam dari sisi dalam oleh arus masuk barang asing.

Di sesi diskusi, Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Mohammad Faisal, menjelaskan efek domino dari perang dagang AS–China tengah bergulir deras. Ekspor China ke Amerika turun 10,5 persen sepanjang 2025, sementara ekspor mereka ke kawasan ASEAN justru naik hingga 19,1 persen. Artinya, pasar regional kini jadi medan rebutan.

Tak berhenti di situ, Faisal menyebut ada potensi impor ilegal dari China yang nilainya mencapai USD4,1 miliar dan berpotensi menyebabkan kerugian negara hingga Rp65,4 triliun. Kombinasi dari perlambatan global dan depresiasi rupiah membuat tekanan terhadap industri dalam negeri makin berat—khususnya bagi pemain di sektor manufaktur padat karya.

Guru Besar Universitas Padjadjaran, Prof. Rina Indiastuti menambahkan, dampak paling telak dari kebijakan tarif AS dirasakan langsung oleh industri tekstil, pakaian jadi, dan alas kaki. Ia mencatat sudah ada beberapa perusahaan di sektor tersebut yang mengalami kerugian signifikan, bahkan sampai menutup usaha dan merumahkan karyawannya.

Harapan Bertumpu di Jawa Barat

Ketua APINDO Jawa Barat, Ning Wahyu Astutik, tak menampik bahwa pelaku usaha di lapangan sedang menghadapi situasi yang makin tak bersahabat. Menurutnya, tekanan datang dari berbagai arah—tak hanya akibat tensi dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, tapi juga karena beragam hambatan di dalam negeri yang kian menjepit.

“Kami para pengusaha merasa resah, bukan hanya karena perang dagang AS–China, tapi juga berbagai hambatan lain. Mulai dari ketidakpastian usaha dan hukum, maraknya impor barang legal maupun ilegal, hingga regulasi yang saling tumpang tindih dan tidak sinkron,” ujar Ning dalam diskusi publik di Bandung.

Ia mengeluhkan peliknya proses perizinan yang sering kali tak sesuai janji. Target dua minggu untuk penerbitan izin usaha, katanya, kerap berubah menjadi berbulan-bulan karena harus “ngetok banyak pintu” dan menunggu di banyak meja birokrasi. Ning juga menyoroti persoalan ketenagakerjaan yang kian kompleks. Isu buruh kerap dipolitisasi, aksi demonstrasi terjadi berkali-kali, dan pengaturan soal pengupahan terlalu mudah dipengaruhi tekanan politik.

“Kami juga menghadapi pungutan liar dan premanisme yang marak dan dilakukan terang-terangan. Di sektor logistik, biaya-biaya tak resmi di tiap tikungan membuat usaha kami tidak kompetitif karena beban biaya yang tinggi,” kata Ning.

Ia menilai sudah saatnya dunia usaha mendapat tempat yang lebih adil dalam ekosistem kebijakan nasional. Pengusaha lokal, menurutnya, tak boleh terus-menerus jadi kelinci percobaan dari regulasi yang berubah-ubah. “Kami butuh aturan main yang jelas. Jangan terus-terusan pelaku usaha lokal jadi korban eksperimen kebijakan,” katanya lagi.

Di tengah kecemasan itu, muncul juga secercah harapan. Prof Rina Indiastuti mengatakan Jawa Barat bisa menjadi primadona baru dalam peta industri global. Ia menyoroti tren relokasi pabrik otomotif dan peluang untuk menangkap pergeseran rantai pasok dunia.

Dengan basis manufaktur yang cukup lengkap—mulai dari otomotif, elektronik, tekstil, hingga agro-pangan dan farmasi—Jawa Barat memiliki peluang untuk mengembangkan inovasi industri, apalagi jika dikoneksikan dengan kekuatan riset dari universitas dan lembaga litbang yang ada.

Menanggapi tantangan tersebut, terdapat strategi utama yakni pengendalian arus impor dan peningkatan komponen lokal. Faisal dari CORE menilai pengendalian impor bukan sekadar proteksionisme, tapi upaya menjaga kedaulatan pasar domestik dengan memastikan produk impor sesuai standar dan regulasi nasional. Beberapa sektor seperti kosmetik, baja, dan semen telah menunjukkan hasil positif setelah menerapkan mekanisme verifikasi impor.

Strategi lainnya adalah peningkatan komponen lokal, yang telah terbukti sukses pada industri elektronik dengan produksi Handphone, Komputer, dan Tablet meningkat dari 0,1 juta unit (2013) menjadi 88,8 juta unit (2019), sementara impor menurun dari 62,0 juta menjadi 4,2 juta unit. Faisal menekankan pentingnya skema TKDN (Tingkat Komponen Dalam Negeri) untuk memberi insentif investasi dan membangun fundamental ekonomi yang tangguh.

Implementasi strategi tersebut diharapkan memperkuat industri lokal, menciptakan lapangan kerja berkualitas, membangun rantai pasok nasional yang tangguh, dan meningkatkan investasi pada industri strategis.

Faisal pun menekankan pentingnya pemerintah tetap menerapkan skema TKDN untuk memberi insentif terhadap investasi yang telah masuk dan akan masuk, tidak meniadakannya sama sekali. "Di tengah ketidakpastian ekonomi global, penguatan ekonomi domestik bukan lagi pilihan tetapi keharusan," katanya.(*)

Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

Gabung Sekarang

Jurnalis

Moh. Alpin Pulungan

Asisten Redaktur KabarBursa.com. Jurnalis yang telah berkecimpung di dunia media sejak 2020. Pengalamannya mencakup peliputan isu-isu politik di DPR RI, dinamika hukum dan kriminal di Polda Metro Jaya, hingga kebijakan ekonomi di berbagai instansi pemerintah. Pernah bekerja di sejumlah media nasional dan turut terlibat dalam liputan khusus Ada TNI di Program Makan Bergizi Gratis Prabowo Subianto di Desk Ekonomi Majalah Tempo.

Lulusan Sarjana Hukum Universitas Pamulang. Memiliki minat mendalam pada isu Energi Baru Terbarukan dan aktif dalam diskusi komunitas saham Mikirduit. Selain itu, ia juga merupakan alumni Jurnalisme Sastrawi Yayasan Pantau (2022).