KABARBURSA.COM - Produsen mobil di Eropa mulai menaikkan harga mobil berbahan bakar bensin sambil bersiap menawarkan diskon besar untuk kendaraan listrik atau Electric Vehicle (EV). Langkah ini diambil sebagai respons terhadap aturan emisi karbon baru di Uni Eropa yang akan berlaku mulai 1 Januari 2025. Aturan ini mewajibkan setidaknya 20 persen penjualan mobil setiap produsen harus berasal dari kendaraan listrik, jika tidak ingin terkena denda besar.
Namun, hingga saat ini, angka penjualan EV di Eropa masih jauh dari target. Data dari Asosiasi Produsen Mobil Eropa (ACEA) menunjukkan sepanjang tahun ini, hanya 13 persen dari total kendaraan yang terjual di wilayah tersebut adalah mobil listrik.
“Kesenjangannya benar-benar besar,” ujar Direktur kelompok lobi industri otomotif Prancis, PFA, Marc Mortureux, dilansir dari Reuters di Jakarta, Selasa, 17 Desember 2024,
Aturan emisi yang lebih ketat datang di tengah banyaknya tantangan yang sudah membebani industri otomotif Eropa. Penjualan yang lesu, kapasitas produksi berlebih, dan persaingan sengit dari produsen mobil China membuat beberapa perusahaan seperti Volkswagen dan Stellantis mengeluarkan peringatan laba dalam beberapa bulan terakhir.
Kini, produsen mobil dipaksa menjual lebih banyak EV—yang biaya produksinya lebih tinggi dibandingkan mobil konvensional—di tengah ketidakpastian politik, ekonomi, dan berkurangnya subsidi untuk pembelian kendaraan listrik. Ketegangan ini bahkan menyebabkan Carlos Tavares, CEO Stellantis, tiba-tiba mengundurkan diri bulan ini karena perbedaan pendapat dengan dewan direksi soal bagaimana menangani tantangan emisi tersebut.
Antisipasi Kenaikan Denda
Dengan waktu yang semakin sempit, para pemimpin politik di Eropa mendesak Brussels untuk meninjau kembali target emisi ini. Namun, produsen mobil tak tinggal diam. Menurut Ketua ACEA, Luca de Meo, mereka berlomba menghindari denda yang diperkirakan bisa mencapai 15 miliar euro (sekitar USD15,76 miliar atau setara Rp252,16 triliun) jika target emisi tidak terpenuhi,
Untuk mendorong penjualan EV dan mengurangi konsumsi mobil berbahan bakar bensin, perusahaan seperti Volkswagen, Stellantis, dan Renault telah menaikkan harga mobil bensin hingga ratusan euro dalam dua bulan terakhir. Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk menekan permintaan kendaraan dengan emisi tinggi sambil membuat mobil listrik yang lebih mahal terlihat lebih menarik di mata konsumen.
Dengan aturan baru yang tinggal hitungan minggu, industri otomotif Eropa kini menghadapi ujian besar: bagaimana menjembatani kesenjangan penjualan EV di tengah persaingan ketat dan tekanan ekonomi.
[caption id="attachment_106967" align="alignnone" width="1420"] Perusahaan yang paling terdampak telah memangkas harga EV dan berencana untuk menggabungkan emisi guna menghindari sanksi.[/caption]
Naikkan Harga Mobil Bensin, Diskon EV Jadi Strategi Andalan
Produsen mobil di Eropa mulai mengatur ulang strategi harga untuk mendorong penjualan kendaraan listrik atau EV demi memenuhi target emisi karbon baru yang ditetapkan Uni Eropa. Dengan tenggat waktu semakin dekat, mereka berupaya menghindari denda besar dengan mendorong konsumen beralih ke EV melalui kenaikan harga mobil bensin dan diskon untuk EV.
“Produsen mobil telah memulai strategi harga mereka untuk mengarahkan permintaan ke mobil listrik berbasis baterai agar bisa mencapai target CO2 dan menghindari potensi denda,” ujar Beatrix Keim dari Center for Automotive Research.
Bulan lalu, Peugeot dari grup Stellantis menaikkan harga semua modelnya di Prancis, kecuali mobil listrik murni, hingga 500 euro (Rp8,75 juta dengan kurs Rp17.500). Sementara itu, Renault Group menambahkan 300 euro (Rp5,25 juta) atau 1,6 persen pada harga Clio SCE 65 versi bensin murni, tetapi harga untuk versi hybrid tetap tidak berubah. Peugeot menyebut kenaikan ini sebagai penyesuaian ekonomi, sementara Renault menyatakan kenaikan harga adalah hal yang normal seiring siklus hidup mobil.
Namun, strategi ini bisa menjadi bumerang. Seorang sumber dari salah satu produsen otomotif besar di Eropa mengatakan, menaikkan harga mobil berbahan bakar bensin mungkin membantu mendekatkan selisih harga dengan EV, tetapi pertumbuhan pasar yang lemah bisa membuat penjualan EV tetap tidak optimal.
“Kenaikan harga mobil berbahan bakar bensin pada akhirnya berarti pemangkasan produksi, dan ini akan berdampak buruk pada seluruh rantai pasok serta pemasok,” kata sumber tersebut.
Saat ini, penjualan mobil di kawasan Eropa masih sekitar 20 persen di bawah level pra-pandemi COVID-19.
[caption id="attachment_106968" align="alignnone" width="1420"] Perusahaan berencana meluncurkan beberapa EV terjangkau baru tahun depan untuk membantu mencapai target mereka.[/caption]
Diskon EV dan Skema Pooling
Menurut analis otomotif di S&P Global, Denis Schemoul, kenaikan harga mobil bensin diharapkan membantu mendanai diskon untuk EV. Strategi ini bertindak seperti subsidi tidak langsung dari konsumen mobil bensin untuk pembeli EV, meski hal ini akan memukul margin keuntungan industri.
Volkswagen (VW), yang diperkirakan paling terdampak oleh target emisi karena volume penjualannya yang besar, sudah lebih dulu menurunkan harga model ID3–mobil listrik kompaknya di beberapa pasar. Di Jerman, harganya kini berada di bawah 30.000 euro (Rp525 juta).
“Inilah yang mungkin akan terjadi tahun depan,” ujar Kepala Perkiraan Powertrain di GlobalData, Alastair Bedwell, yang memprediksi penjualan EV di Eropa—termasuk Inggris, Islandia, Liechtenstein, Norwegia, dan Swiss—akan melonjak 41 persen menjadi 3,1 juta unit pada 2025.
Meski begitu, strategi diskon untuk meningkatkan penjualan tidaklah murah. Di Inggris, industri otomotif memperkirakan target EV akan membebani produsen sebesar 6 miliar pound atau sekitar USD7,6 miliar (Rp121,6 triliun) tahun ini, termasuk 4 miliar pound untuk diskon.
Solusi lain yang lebih murah adalah pooling emisi. Dengan skema ini, produsen mobil bisa membeli kredit emisi dari perusahaan yang memiliki pangsa pasar EV besar. Analis dari Barclays menilai pooling bisa menjadi opsi yang lebih efisien dibandingkan harus membayar denda besar.
Sebagai contoh, Suzuki dari Jepang setuju untuk melakukan pooling dengan Volvo—yang dimiliki oleh Geely—pada 2025. Menurut Manajer Data di Rho Motion, Charles Lester, skema ini akan menghilangkan hampir semua ancaman denda bagi Suzuki, berkat banyaknya model EV yang dimiliki Volvo.
[caption id="attachment_106971" align="alignnone" width="1420"] Berdasarkan estimasi tahun 2024, hanya SAIC, Volvo, dan Tesla yang telah mencapai target emisi Uni Eropa 2025 sebesar 93,6 gCO₂/km.[/caption]
Industri Menyerukan Keringanan Target
Meski berbagai opsi telah diambil, semua strategi ini tetap memukul keuntungan tipis yang dimiliki industri otomotif. Para pemimpin industri pun masih berharap Uni Eropa akan melonggarkan target emisi tersebut.
“Pada titik tertentu, ini sudah keterlaluan. Saya tidak bisa menjual cukup banyak mobil listrik, tapi mobil bensin saya justru kena penalti. Apa mereka ingin saya membuat kereta kuda?,” ujar, Presiden PFA, Luc Chatel, dalam konferensi pers menjelang Paris Auto Show Oktober 2024 lalu.
Dengan tenggat yang semakin dekat, industri otomotif Eropa kini berada dalam posisi yang sulit, yakni mencari keseimbangan antara memenuhi target emisi, menjaga permintaan pasar, dan mempertahankan profitabilitas di tengah tekanan ekonomi.(*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.