KABARBURSA.COM - Komisi Tetap Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT) Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mengungkapkan bahwa industri petrokimia nasional saat ini tengah menghadapi tekanan besar akibat meningkatnya produk impor.
Produk impor yang lebih murah membuat harga produk lokal sulit dapat bersaing, yang berdampak pada kesulitan bagi industri dalam negeri untuk tetap kompetitif.
“Di Asia Tenggara, salah satu pabrik petrokimia di Thailand terpaksa tutup karena kalah bersaing dengan produk impor dari China. Hal ini terjadi karena ketidakmampuan untuk bersaing dengan harga yang lebih rendah dari China. Oleh karena itu, kami sangat berharap adanya keperpihakan dari pemerintah untuk mendukung industri dalam negeri agar tidak tersingkirkan,” ujar Ketua Komisi Tetap IKFT Kadin Indonesia Hari Supriyadi dalam siaran pers, Rabu, 11 Desember 2024.
Contoh lain yang serupa juga terjadi di Korea Selatan (Korsel), di mana industri petrokimia negara tersebut tengah menghadapi tekanan akibat kelebihan produksi plastik serbaguna dari China, yang mengganggu pasar domestik.
Lotte Chemical, misalnya, mulai mengurangi produksi dan merencanakan pembongkaran serta penjualan fasilitas pabrik. Selain itu, LG Chem Ltd. terpaksa menghentikan operasional pabrik stirena monomer, dan Hanwha Solutions Corp. menerbitkan obligasi untuk memperkuat kondisi keuangannya.
Di Indonesia, Asosiasi Industri Olefin, Aromatik, dan Plastik Indonesia (Inaplas) memperkirakan bahwa tingkat utilisasi pabrik di sektor petrokimia dalam negeri akan turun hingga 50 persen. Potensi investasi senilai Rp437 triliun di sektor petrokimia juga terancam terhambat akibat ketidakstabilan pasar domestik, yang semakin menambah tantangan bagi pemulihan ekonomi nasional.
Selain penetrasi barang impor, industri hulu petrokimia juga menghadapi kendala dalam merealisasikan investasi karena ketidakpastian kebijakan. Beberapa kebijakan yang diharapkan dapat mendukung kinerja industri antara lain insentif harga gas bumi dan kepastian insentif fiskal, seperti tax holiday, yang belakangan ini belum disahkan secara resmi.
Sementara itu, Direktur Industri Kimia Hulu Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Wiwik Pudjiastuti menyatakan bahwa pemerintah terus berupaya untuk menciptakan strategi guna menciptakan iklim yang lebih kondusif bagi industri petrokimia. Salah satu langkah yang sedang dipersiapkan adalah penguatan instrumen neraca komoditas untuk memantau produk impor.
“Dengan neraca komoditas, kita dapat memantau secara lebih akurat data supply dan demand. Jika supply rendah dan demand juga lebih rendah, berarti masih ada potensi untuk impor,” jelas Wiwik.
Sistem ini diperlukan karena produk petrokimia dan turunannya masih didominasi oleh impor, meskipun industri petrokimia dalam negeri tengah berupaya memperkuat rantai pasok produksinya.
Berdasarkan catatan Kementerian Perindustrian (Kemenperin), kapasitas produksi petrokimia nasional meliputi produk olefin yang mencapai 9,72 juta ton, produk aromatik 4,61 juta ton, dan produk C1 metanol serta turunannya sebesar 980.000 ton.
“Untuk memperkuat struktur industri, langkah yang diperlukan antara lain adalah melakukan integrasi antara industri hulu dan hilir,” ujar Wiwik.
Proyek Petrokimia Senilai 59,37 Triliun Beroperasi Maret 2025
Investasi besar-besaran di sektor petrokimia terus berlanjut di Indonesia. Salah satu proyek yang paling dinanti adalah pembangunan pabrik petrokimia PT Lotte Chemical Indonesia (PT LCI), dengan nilai investasi mencapai Rp59,37 triliun. Pabrik yang berlokasi di Cilegon, Banten ini diproyeksikan akan mulai beroperasi pada Maret 2025.
Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Rosan Roeslani mengatakan pembangunan fasilitas petrokimia ini telah mencapai 98,7 persen dan hampir selesai.
“Maret 2025 nanti sudah mulai produksi dan bulan Mei sudah mulai ekspor. Saya optimistis produksi bisa sesuai target,” kata Rosan, Kamis, 12 September 2024,
Pabrik PT LCI ini merupakan salah satu proyek yang difasilitasi oleh pemerintah melalui Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Investasi, yang dibentuk Presiden RI terdahulu, Joko Widodo (Jokowi) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2021. Setelah sempat terhenti selama enam tahun akibat berbagai kendala, termasuk masalah perizinan dan sengketa lahan, konstruksi akhirnya dilanjutkan pada April 2022.
Proyek ini menjadi salah satu investasi terbesar di sektor petrokimia, mencakup fasilitas untuk memproduksi berbagai produk seperti polypropylene, butadiene, dan BTX (benzene, toluene, xylene). Produk-produk ini menjadi bahan baku penting bagi berbagai industri, mulai dari pembuatan botol, ban, cat, hingga peralatan medis dan pengusir serangga.
Keberadaan industri petrokimia seperti PT LCI juga menjadi bagian penting dalam hilirisasi industri di Indonesia. Selain mendukung industri terkait, pabrik ini juga menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar.
Menurut Rosan, selama proses konstruksi saja, sekitar 14.000 tenaga kerja telah dilibatkan, dengan mayoritas berasal dari Indonesia.
“Hanya 4 persen tenaga kerja dari Korea, dari segi penyerapan tenaga kerja, teknologi, industrialisasi, dan ekspor, ini memberi dampak positif bagi Indonesia, terutama di daerah Cilegon,” jelas Rosan.
Setelah beroperasi penuh, pabrik ini diharapkan dapat menciptakan sekitar 1.300 lapangan kerja baru, termasuk 900 posisi permanen.
Selain itu, Rosan juga menekankan adanya dampak positif dalam hal teknologi dan industrialisasi, di mana transfer pengetahuan dari tenaga kerja asing ke tenaga kerja lokal diharapkan dapat memperkuat sektor petrokimia domestik.
Pemerintah juga memberikan insentif berupa super tax deduction hingga 200 persen bagi perusahaan yang berkontribusi dalam pengembangan pendidikan vokasi. Langkah ini diambil untuk memastikan tidak hanya perusahaan yang berkembang, tetapi juga kualitas sumber daya manusia Indonesia yang terus meningkat.
“Ini adalah bagian dari upaya pemerintah untuk memastikan bahwa pertumbuhan perusahaan sejalan dengan pengembangan SDM lokal,” jelas Rosan.
Investasi Asing dan Dukungan Pemerintah
Tidak hanya dari sisi domestik, proyek PT LCI juga mendapat dukungan dari investor asing. Berdasarkan data dari Kementerian Investasi/BKPM, PT LCI tercatat sebagai penanaman modal asing (PMA) dari Malaysia, dengan 51 persen sahamnya dimiliki oleh Lotte Chemical Titan Holding Bhd yang berbasis di Malaysia.
Dalam 10 tahun terakhir, Malaysia menjadi salah satu investor terbesar di Indonesia, menempati peringkat kelima dengan total investasi mencapai USD21,86 miliar.
Sementara itu, Korea Selatan, sebagai pemegang saham minoritas di PT LCI, berada di peringkat ketujuh dengan total investasi sebesar USD18,20 miliar. Kehadiran kedua negara ini dalam proyek strategis petrokimia menunjukkan kepercayaan investor asing terhadap potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia.
President Director PT LCI, Yim Dong Hee menyampaikan apresiasinya atas kunjungan Menteri Investasi ke fasilitas produksi PT LCI. Menurutnya, perhatian pemerintah terhadap perkembangan investasi sangat penting dalam mendorong pertumbuhan industri.
“Kami siap untuk memulai produksi tahun depan dan berharap dapat mengundang pemerintah kembali ke sini,” ungkap Yim. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.