KABARBURSA.COM - Pelaku industri tekstil menyambut antusias kehadiran Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan Barang Impor Ilegal. Langkah ini dinilai bisa memberikan efek positif bagi industri tekstil dalam negeri.
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), David Leonardi, mengakui bahwa adanya Satgas Barang Impor Ilegal memberikan angin segar bagi industri tekstil.
David mengatakan bahwa pihaknya dan para pelaku usaha tekstil akan menjalin kolaborasi guna meregulasi barang impor yang masuk ke Indonesia.
“Tentu ini menjadi angin segar bagi industri tekstil di Tanah Air. Asosiasi dan para pelaku usaha akan bekerja sama dengan Satgas tersebut untuk meregulasi impor yang masuk,” kata David kepada Kabar Bursa, Kamis, 18 Juli 2024.
Selain itu, David menyampaikan bahwa para pelaku usaha tekstil juga akan mendukung kinerja Satgas dengan melakukan upaya restrukturisasi untuk meningkatkan efektivitas dan aktivitas produksi.
“Selain meningkatkan daya saing, daya serap tenaga kerja akan meningkat juga,” ujarnya.
Pasca adanya Satgas Barang Impor Ilegal, industri tekstil juga menyatakan siap bersaing. Salah satu langkah yang dilakukan API adalah upaya restrukturisasi baik dari segi inovasi maupun mesin.
“Merupakan upaya yang akan dilakukan oleh industri seiring dengan adanya kebijakan atau peraturan pengamanan pasar dalam negeri,” kata David.
Lebih lanjut, David menyatakan bahwa upaya tersebut dilakukan agar daya saing secara kualitas meningkat, baik di pasar dalam negeri maupun luar negeri. Namun, jika industri tekstil dan produk tekstil (TPT) Indonesia secara menyeluruh akan dibenahi, diperlukan upaya yang lebih besar di luar inovasi produk.
“Seperti misalnya, pemasangan pipa gas untuk sentra industri tekstil di Bandung Raya dan Solo Raya, serta pembenahan peraturan untuk industri tekstil yang tumpang tindih antara peraturan kementerian yang satu dengan yang lainnya," ungkapnya.
Kementerian Perdagangan (Kemendag) akan segera membentuk Satuan Tugas (Satgas) Pengawasan Barang Impor Ilegal untuk mengawasi peredaran barang impor ilegal.
Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan menjelaskan bahwa pembentukan satgas ini merupakan respons terhadap meningkatnya kekhawatiran mengenai masuknya barang-barang yang tidak sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia.
“Saya sudah bertemu dengan Jaksa Agung. Mungkin Jumat besok Satgas sudah terbentuk. Hati-hati bagi yang ilegal, yang dagang barang impor tidak jelas. Dalam minggu-minggu ini, kami akan terjang semua,” ungkap Zulkifli Hasan di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Rabu, 17 Juli 2024.
Pembentukan Satgas Pengawasan Barang Impor Ilegal berlandaskan banyaknya laporan dari asosiasi, termasuk Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo).
Zulkifli menjelaskan bahwa dalam praktiknya nanti, Satgas ini akan melibatkan aparat penegak hukum, seperti polisi dan Kejaksaan Agung, untuk menindak tegas oknum-oknum yang melanggar.
“Kami akan melibatkan aparat terkait, seperti polisi dan Jaksa Agung untuk melakukan penyidikan dan penegakan hukum,” ujarnya.
Mendag Zulkifli Hasan mengatakan bahwa ada tujuh ruang lingkup jenis barang tertentu yang diberlakukan tata niaga impor dan dilakukan pengawasan oleh Satgas Pengawasan Barang Impor Ilegal ini. Ketujuh ruang lingkup tersebut adalah tekstil dan produk tekstil, pakaian jadi dan aksesori pakaian jadi, keramik, elektronik, alas kaki, kosmetik, dan barang tekstil lainnya.
Selain itu, Kementerian Perdagangan juga melakukan pengawasan melalui mekanisme Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) dan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP).
Staf Khusus Menteri Perdagangan Bidang Perjanjian Perdagangan Internasional, Bara Hasibuan, menjelaskan bahwa penyelidikan serta penerapan BMAD dan BMTP terkait dengan produk-produk impor yang berkaitan langsung dengan bahan baku industri dalam negeri.
“Produk-produk yang dimaksud antara lain pakaian dan aksesori, kain, tirai, karpet, benang, ubin keramik, serta berbagai barang lainnya yang penting untuk industri lokal,” ungkap Bara, Senin, 15 Juli 2024.
Perlu dicatat bahwa BMAD dan BMTP diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 34 Tahun 2011 tentang Tindakan Anti Dumping dan Tindakan Pengamanan Perdagangan. Perbedaan utama antara kedua instrumen ini terletak pada subjek pengenaannya, di mana tindakan antidumping lebih berfokus pada praktik dumping yang merugikan industri dalam negeri.
Dikhawatirkan BMAD tak Mampu Bendung Impor China
Kementerian Perindustrian (Kemenperin) khawatir kebijakan BMAD bernasib sama seperti BMTP yang diberlakukan melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 119 tahun 2018 lalu.
Adapun hal itu dia ungkap menyusul rekomendari Komite Anti Dumping Indonesia (KADI). Rekomendasi itu juga lahir dari temuan dumping barang impor keramik yang diduga berasal dari perusahaan asal China.
Ketua Tim Kerja Pembinaan Indusri Keramik dan Kaca Kemenperin Ashady Hanafie menuturkan, kebijakan BMTP atau safeguard sebelumnya telah diberlakukan selama tiga tahun, terhitung sejak 2018 hingga 2021.
Awalnya, kata Ashady, kebijakan safeguard terbukti mampu menekan impor keramik dan ubi asal China dengan pengenaan BMTP sebesar 23 persen pada tahun pertama, 21 persen pada tahun kedua, dan 19 persen di tahun ketiga.
“Pertama dari awal, nilainya 23 persen saja dikenakan safeguard-nya itu di awal. Ternyata, kita kan awalnya kita mengenakan safeguard itu ke negara China, pada tahap saat awal diberlakukan turun impor, setelah beberapa saat kembali naik lagi,” kata Ashady dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan Senior Institute For Develompment of Economics and Finance (INDEF) di Jakarta, Selasa, 16 Juli 2024.
Akan tetapi, kata Ashady, impor keramik dan ubin kembali mengalami lonjakan. Hal itu terjadi kerena China mengimpor komoditasnya melalui India dan Vietnam. Sementara kedua negara tersebut, lepas dari kebijakan safeguard.
“Jadi pengiriman barang itu tidak dilakukan melalui China, tetapi malaui india dan Vietnam. Makanya pada akhirnya, kami meminta safeguard ini diberlakukan juga kepada India dan Vietnam,” katanya.
Ashady khawatir, kebijakan BMAD juga akan bernasib serupa safeguard. Karenanya, Kemenperin juga hendak melihat perkembangan dari implementasi BMAD seandainya diterapkan. Diketahui, berdasarkan rekomendasi KADI, BMAD yang hendak dikenakan sekitar 100,12 persen hingga 199,88 persen. BMAD ditetapkan dengan harapan mampu meredam angka impor keramik dan ubin.
Meski begitu, untuk mengurangi potensi terjadinya hal serupa safeguard, Ashady berharap BMAD juga diberlakukan terhadap semua negara.
“Pengenaan BMAD ini kan berjenjang, jadi beberapa perusahaan itu kan diberikan preferensi, presentase masing-masing jadi ada yang terkecil 100 sampai 199 ibaratnya kalau diberikan begitu nanti pengiriman ke Indonesia pun bisa lewat yang paling kecil,” jelasnya. (yog/*)