Logo
>

Industri Tekstil dan Retail Butuh Tenaga Kerja Terampil

Ditulis oleh Dian Finka
Industri Tekstil dan Retail Butuh Tenaga Kerja Terampil

Poin Penting :

    KABARBURSA.COM - Peningkatan kualitas tenaga kerja pada industri padat karya sektor tekstil dan retail perlu dilakukan demi persaingan di pasar global.

    Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM Nurul Ichwan mengatakan, meskipun sektor-sektor ini sering dianggap memerlukan tenaga kerja dengan keterampilan rendah, kenyataannya perkembangan teknologi dalam produksi telah mengubah dinamika pasar tenaga kerja di sektor-sektor tersebut.

    "Industri tekstil sekarang ini tidak lagi hanya mengandalkan mesin-mesin konvensional seperti zaman dulu. Mereka sudah mengkombinasikan berbagai inovasi teknologi dalam proses produksi, sehingga pekerjanya pun harus menguasai teknologi meski dalam tingkat keterampilan yang tidak terlalu tinggi," jelas Ichwan kepada Kabarbursa.com di Jakarta, Rabu, 1 Januari 2025.

    Ichwan mengungkapkan bahwa industri tekstil yang berkembang saat ini sudah beralih dari metode produksi yang konvensional ke metode yang lebih berbasis teknologi. Oleh karena itu, tenaga kerja yang terlibat dalam sektor ini tidak hanya perlu memiliki keterampilan dasar, tetapi juga harus mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi yang diterapkan dalam produksi.

    Lebih lanjut, Ichwan menegaskan bahwa penciptaan lapangan pekerjaan bukanlah satu-satunya solusi. Pemerintah tidak bisa hanya mendorong pembukaan lapangan pekerjaan tanpa memperhatikan kualitas tenaga kerja yang dibutuhkan oleh industri.

    "Dalam konteks investasi dan penyerapan tenaga kerja, permintaan dan penawaran tidak bisa berjalan tanpa mempertimbangkan kualitas. Setiap sektor industri, termasuk tekstil, memiliki persyaratan yang jelas terhadap kualitas keterampilan tenaga kerja mereka," ungkap Ichwan.

    Ia juga menekankan pentingnya kualitas pendidikan dan pelatihan profesional bagi masyarakat Indonesia. Pelatihan yang terfokus pada kebutuhan industri akan sangat menentukan apakah Indonesia siap menerima investasi global yang berkualitas. Jika Indonesia ingin menarik lebih banyak investasi dan menciptakan lapangan kerja yang berkelanjutan, maka peningkatan kualitas tenaga kerja harus menjadi prioritas.

    Sektor retail, seperti Alfamart dan toko-toko fashion, juga menghadapi tantangan besar dalam beberapa tahun terakhir. Ichwan mencatat adanya penutupan toko yang masif di sektor ini, meskipun permintaan pasar tidak berkurang secara signifikan.

    "Isu geopolitik global dan faktor-faktor eksternal lainnya telah memengaruhi sektor retail. Hal ini memaksa banyak peretail untuk menyesuaikan strategi bisnis mereka," tambah Ichwan.

    Menurut Ichwan, penyesuaian terhadap tren pasar dan kebutuhan tenaga kerja yang lebih terampil akan menjadi kunci bagi Indonesia untuk tetap kompetitif dalam menarik investasi global.

    Dengan memperkuat pelatihan keterampilan dan pendidikan vokasi, Indonesia dapat memastikan bahwa sektor industri padat karya dan retail siap menghadapi tantangan masa depan.

    Industri Tekstil pada 2025

    Ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap karyawan yang bekerja di sektor industri tekstil dan garmen semakin nyata. Kekhawatiran ini dipicu oleh kebijakan pemerintah yang menaikkan upah minimum provinsi (UMP) sebesar 6,5 persen dan penerapan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai Januari 2025.

    Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Widjaja Kamdani mengatakan, ancaman PHK menjadi tantangan serius, terutama bagi industri padat karya.

    “Potensi PHK menjadi salah satu masalah utama yang perlu mendapat perhatian serius,” kata Shinta dalam konferensi pers Outlook Perekonomian Apindo 2025 di Jakarta, Kamis, 19 Desember 2024.

    Shinta juga menyoroti penurunan signifikan jumlah kelas menengah di Indonesia. Data menunjukkan, populasi kelas menengah pada 2019 mencapai 57,33 juta orang, namun angka tersebut merosot menjadi 47,85 juta orang pada 2024. Menurutnya, kelas menengah memiliki peran strategis sebagai penggerak utama konsumsi domestik.

    Selain itu, kebijakan tarif PPN 12 persen dinilai Shinta dapat memperburuk situasi ekonomi. Ia juga mengkritik inkonsistensi regulasi ketenagakerjaan, termasuk kenaikan UMP 6,5 persen, yang dianggap kurang transparan dalam proses penetapannya.

    “Industri padat karya, terutama tekstil dan garmen, paling terdampak. Banyak PHK terjadi akibat kondisi sektor ini yang sudah melemah,” ujarnya.

    Untuk meringankan beban pengusaha, Shinta mengusulkan sejumlah insentif, seperti pembebasan Pajak Penghasilan (PPh) badan untuk industri padat karya, serta subsidi iuran BPJS Ketenagakerjaan.

    “Kami telah mengajukan usulan insentif ini karena memahami sulitnya pemerintah mengubah kebijakan yang telah ditetapkan,” jelas Shinta.

    Meski begitu, Apindo memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2025 akan berada di kisaran 4,9 persen hingga 5,2 persen (yoy). Proyeksi ini mempertimbangkan kondisi global yang belum stabil, tingginya inflasi dunia, serta tantangan domestik, seperti ancaman PHK, tekanan kenaikan PPN, dan meredupnya performa komoditas unggulan, seperti minyak kelapa sawit (CPO) dan batu bara. (*)

    Dapatkan Sinyal Pasar Saat Ini

    Ikuti kami di WhatsApp Channel dan dapatkan informasi terbaru langsung di ponsel Anda.

    Gabung Sekarang

    Jurnalis

    Dian Finka

    Bergabung di Kabar Bursa sejak 2024, sering menulis pemberitaan mengenai isu-isu ekonomi.