KABARBURSA.COM - Industri sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) tengah berjuang untuk bangkit pasca pandemi COVID-19. Berbeda dengan sektor lainnya yang sudah move on.
Penurunan sektor tekstil disebabkan melemahnya permintaan pasar domestik dan ekspor, juga meningkatnya persaingan di pasar global yang semakin ketat.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) dari Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) Februari 2024, serapan tenaga kerja di sektor TPT menurun dari 3,98 juta pada 2023 menjadi 3,87 juta pada 2024.
Salah satu tantangan utama yang dihadapi industri TPT adalah lonjakan impor produk tekstil, terutama dari Tiongkok. Kondisi ini tidak hanya menekan daya saing industri dalam negeri, tetapi juga berdampak langsung pada penurunan jumlah tenaga kerja yang terserap.
Menyikapi itu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Febrio Kacaribu, mengatakan bahwa pemerintah terus memantau situasi dan memberikan solusi dan berupaya mendorong pemulihan kinerja fundamental TPT untuk jangka panjang.
“Pemerintah secara konsisten mendudukkan upaya solutif tersebut dengan tetap mempertimbangkan dampak terhadap perekonomian secara keseluruhan," kata Febrio Kacaribu, Sabtu 10 Agustus 2024.
Sebagai bagian dari upaya untuk menghadapi tantangan tersebut, Febrio menyebutkan bahwa pemerintah secara gencar mendorong transformasi industri tekstil nasional.
Langkah strategis lainnya yaitu memanfaatkan rantai pasok global dan meningkatkan nilai tambah serta daya saing industri tekstil dalam negeri.
Dukungan ini diwujudkan melalui berbagai kebijakan insentif fiskal, seperti Tax Holiday, Tax Allowance, Super Tax Deduction untuk vokasi dan penelitian dan pengembangan (R&D), serta insentif kawasan seperti Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kawasan Berikat.
Selain itu, kebijakan trade remedies seperti pengenaan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) juga diterapkan untuk melindungi industri dalam negeri dari praktik perdagangan yang merugikan.
Gelombang PHK Massal
Industri tekstil Indonesia saat ini dalam kondisi mengkhawatirkan, dengan pertumbuhan yang terkontraksi dan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) secara massal yang mengguncang sektor ini.
“Terkait dengan masalah pemutusan kerja yang tentunya ini menurut kami adalah alarm tanda bahaya,” kata Head of Center of Industry Trade and Investment INDEF, Andry Satrio Nugroho, dalam diskusi publik INDEF: Industri Tekstil menjerit, PHK melejit, Kamis 8 Agustus 2024.
Menurut dia, situasi seperti ini menunjukkan adanya ketidakberesan yang serius pada tahun ini. Dan, setelah dianalisis ternyata industri tekstil menjadi salah satu penyumbang terbesar dalam gelombang PHK.
Dia pun memaparkan, dalam rentang waktu Januari hingga Juli 2024 telah terjadi ribuan karyawan di sektor tekstil terkena PHK, dengan jumlahnya melonjak jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
“Wilayah PHK terbesar di pusat-pusat sentra industri, menandakan ada masalah serius yang perlu segera diatasi. Jakarta menjadi pemuncak terjadinya PHK,” tuturnya.
Berdasarkan data dari Kementerian Ketenaga Kerjaan (Kemnaker) tercatat 32.064 tenaga kerja di sektor tekstil terdampak PHK sepanjang Januari hingga Juni 2024. Dari jumlah tersebut, mayoritas atau 23,29 persen kasus PHK terjadi di Jakarta. Angka tersebut dipublikasikan dalam laporan Satu Data Kemnaker pada Kamis, 25 Julis 2024.
Lebih detailnya lagi, PHK di Jakarta mencapai 7.469 orang pada Januari hingga Juni 2024. Kemudian disusul Banten sebanyak 6.135 orang, dan Jawa Barat sebanyak 5.155 orang.
Selanjutnya, Jawa Tengah sebanyak 4.275 orang dan Sulawesi Tengah sebanyak 1.812 orang.
“Kami melihat ada yang tidak beres di tahun ini, dan banyak wilayah PHK terbesar tentunya berada di pusat-pusat sentra industri. Industri tekstil menyumbang angka yang cukup besar dalam hal ini,” ujar Andry.
Padahal menurut Andry di masa lalu, industri tekstil dan produk turunannya, termasuk pakaian jadi, menjadi sektor yang strategis dan padat karya. Namun kini, sektor yang dahulu dibanggakan tersebut justru berada dalam tekanan besar.
“Di masa lalu kita terlalu percaya diri ketika berbicara mengenai industri tekstil dan produk dari tekstil, serta pakaian jadi,” imbuhnya.
“Kenapa hari ini sektor yang sebelumnya menjadi sektor strategis dan padat karya justru sedang mendapat tekanan besar. Ini menjadi pertanyaan besar bagi saya,” pungkas Andry.
Emiten Tekstil Kena Suspen BEI
PT Century TExtile Industry Tbk yang berkode CNTX dan CNTB terhitung sejak Sesi I Perdagangan, Rabu, 7 Agustus 2024, di-suspen alias dihentikan penjualannya oleh Bursa Efek Indonesia (BEI).
Alasan BEI menghentikan sementara penjualam saham CNTX dan CNTB karena harga terus drop. Karena itu, mau tidak mau perusahaan tersebut mengajukan rencana voluntary delisting dari BEI dan go private.
“Menunjuk surat PT Century Textile Industry Tbk Nomor 045/CT/TN/VIII/2024 pada tanggal 5 Agustus 2024 perihal pemberitahuan rencana delisting dan permohonan suspensi perdagangan saham PT Century Textile Industry Tbk, perseroan menyampaikan rencana untuk voluntary delisting dari Bursa Efek Indonesia dan go private,” bunyi pengumuman BEI yang dikutip Kamis, 8 Agustus 2024.
Selanjutnya, BEI memutuskan untuk melakukan penghentian sementara (suspensi) perdagangan efek perseroan CNTX dan CNTB di semua pasar, mulai Sesi I perdagangan efek tanggal 7 Agustus 2024.
“Bursa meminta kepada pihak-pihak terkait untuk selalu memperhatikan keterbukaan informasi yang disampaikan oleh perseroan,” bunyi pengumuman BEI lagi.
Saat disuspensi saham CNTX ada di posisi Rp142. Sedangkan CNTB merupakan kode saham seri B dari Century Textile.
Asal tahu saja, PT Century Textile Industry yang core business-nya adalah memroduksi kain tenun polos dan dobby. Sedangkan aktivitas regulernya adalah mengekspor kain kemeja dan seragam ke seluruh dunia.
Berdasarkan laporan keuangan perseroan per 3 bulan yang berakhir 30 Juni 2024, perseroan membukukan omzet USD1,4 juta. Dengan asumsi kurs Rp16.000 per dolar AS, angka itu setara Rp22,4 miliar. Capaian itu naik ketimbang periode dama di tahun lalu sebesar USD1,08 juta atau Rp17,28 miliar.
Per 31 Desember 2023, perseroan mencatatkan rugi USD4,04 juta atau setara Rp64,6 miliar. Melonjak dari tahun sebelumnya yang hanya USD1,55 juta atau setara Rp24,8 miliar. Jumlah pemegang sahamnya per 31 Juli 2024 sebesar 499 pihak. (*)
Berita atau informasi yang Anda baca membahas emiten atau saham tertentu berdasarkan data yang tersedia dari keterbukaan informasi PT Bursa Efek Indonesia dan sumber lain yang dapat dipercaya. Konten ini tidak dimaksudkan sebagai ajakan untuk membeli atau menjual saham tertentu. Selalu lakukan riset mandiri dan konsultasikan keputusan investasi Anda dengan penasihat keuangan profesional. Pastikan Anda memahami risiko dari setiap keputusan investasi yang diambil.